Oleh Budi Brahmantyo
(dimuat di Majalah Ilmiah Populer: EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2010 NUSA TENGGARA BARAT – BAKOSURTANAL)
Apakah letusan dahsyat Tambora menjadi penyebab kekalahan Napoleon di Waterloo? Memang terlalu gegabah menyimpulkan hal itu. Namun marilah kita ikuti peristiwa-peristiwa bersejarah di sekitar 1815, tahun berakhirnya Perang Napoleon dan meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa.
Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis yang baru saja kabur dari pengasingannya di Pulau Elba dan merebut kembali tampuk kekuasaannya dari Louis XVIII, harus menghadapi kondisi cuaca yang tidak mendukung dalam medan pertempuran Waterloo di Belgia. Saat itu tanggal 18 Juni 1815. Sial baginya, hujan deras yang mengguyur Belgia semalaman penuh menimbulkan banjir dan tanah menjadi becek sehingga tidak layak untuk dilalui meriam-meriam berat. Padahal untuk merebut kemenangan yang harus diraihnya dalam perang seratus hari setelah kebebasannya, pasukan Napoleon harus segera menggempur pasukan koalisi Inggris dikomandani Laksamana Wellington yang bertahan di Waterloo.
Sang Kaisar akhirnya mengundurkan waktu penyerbuan, menunggu tanah mengering. Seiring dengan itu, konsolidasi pasukan musuh akhirnya menjadi kuat ditambah datangnya pasukan Prusia. Lalu sejarah mencatat bahwa kegemilangan strategi perang Napoleon kandas di Waterloo dan Napoleon pulang ke Paris hanya untuk menandatangi pakta kekalahan dan pengasingan dirinya kembali. Ia dibuang ke pulau terpencil di Samudera Atlantik, St. Helena, hingga meninggalnya pada 5 Mei 1821. Berakhirlah perang panjang 1799 – 1815 yang melanda seluruh Eropa yang dimulai ketika Napoleon Bonaparte merebut kekuasaan di Perancis. .
Jauh di belahan dunia yang lain, di kepulauan yang saat itu masih bernama Hindia Timur Belanda (Netherlands East Indies), seiring berkuasanya Napoleon, ia menempatkan orang-orang pilihannya untuk menduduki tempat-tempat yang bahkan tidak terkena hiruk pikuk perang di Eropa. Diangkatlah Marcshalk Herman Willem Daendels pada tahun 1908 menjadi Gubernur Jenderal baru di Hindia Timur sebagai representasi kekuasaan Perancis terhadap Negeri Belanda.
Kekuasaannya tidak lama karena dipanggil untuk membantu pasukan Perancis melawan Rusia pada tahun 1910. Ia digantikan Jan Willem Janssens. Namun Daendels telah mencatatkan sejarah pahit bagi bangsa yang dijajahnya yang setelah merdeka disebut Indonesia itu. Jalan ribuan kilometer antara Anyer – Panarukan berhasil dibangun dengan darah rakyat yang dilaluinya. Sebenarnya Daendels tidak membuat jalan baru. Kebanyakan ia hanya memperlebar dan atau memperkuat jalan lama atau jalan setapak sehingga bisa dilalui pedati. Semuanya untuk melancarkan arus kekuasaan militerismenya dan kelancaran transportasi komoditas kekayaan bumi Pulau Jawa yang tidak lain untuk biaya dan kepentingan Perang Napoleon juga.
Neraka Tambora 1815
Setelah Napoleon takluk di tangan Inggris dan ditawan di Pulau Elba, Gubernur Jenderal baru di Hindia Timur adalah seorang bangsawan Inggris yang selain menjadi penguasa tampuk pemerintahan tertinggi, namun juga punya kepedulian terhadap ilmu pengetahuan. Dialah Sir Thomas Stamford Bingley Raffles yang kemudian menjadi seorang gubernur jenderal di Nusantara yang mempunyai perhatian akan peristiwa letusan gunungapi paling dahsyat di dalam sejarah umat manusia: letusan Gunung Tambora 10 April 1815.
Ialah yang kemudian memerintahkan bawahannya Letnan Phillips untuk langsung menuju lokasi bencana. Sang letnan mencatat apa yang dilihatnya ketika tiba di Dompu kira-kira sebagai berikut:
“Dalam perjalananku, aku melewati hampir seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran melanda penduduk. Bencana telah memberikan pukulan hebat. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda-tanda banyak lainnya telah terkubur. Desa-desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh. Penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan. Diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga mati dalam jumlah yang besar…”
Raffles sendiri kemudian memberi catatan tentang letusan Tambora itu di bukunya yang terkenal “The History of Java.” Buku tebal dengan beberapa jilid itu diterbitkan pada tahun 1817 setelah ia dipanggil pulang ke Inggeris akibat dinilai salah manajemen dalam mengurus tanah jajahan di Nusantara.
Lalu bagaimana hubungan kekalahan Napoleon di Waterloo dengan letusan Tambora?
Bulan April 1815, rakyat di sekitar Semenanjung Sanggar, tempat beberapa kota ramai di bawah Kekuasaan Kerajaan Bima, gelisah dengan aktivitas Gunung Tambora. Gempa-gempa kecil terasa terus-menerus dan erupsi-erupsi permulaan terjadi dari kawah di puncak gunung yang saat itu diperkirakan mencapai ketinggian 4.000 m di atas muka laut. Buku Data Dasar Gunungapi Indonesia (Kusumadinata, 1979) mencatat aktifitas permulaan itu terjadi pada 5 April 1815 dengan suara gemuruh yang terdengar hingga Batavia (Jakarta sekarang, sejauh 1.250 km) dan Ternate (1.400 km).
Aktifitas volkanik semakin meningkat hingga mencapai puncaknya dengan suatu letusan paraksismal maha dahsyat pada tanggal 10 April 1815. Letusan itu menghasilkan suara ledakan yang terdengar hingga Jawa dan Sumatera walaupun hanya dikira sebagai letusan meriam. Namun bagi rakyat Bima di Semenanjung Sanggar, ledakan itu tidak hanya sangat memekakkan telinga, tetapi segera disusul bencana maut. Hujan abu dan batu segera menghunjam mereka. Suatu aliran surge piroklastik awan panas yang cepat dan bersuhu di atas 500oC segera menerjang dan mengubur permukiman-permukiman yang berada di kaki-kaki gunung di sekeliling kawah Tambora.
Tidak pelak lagi, letusan-letusan dahsyat yang baru mulai reda pada 12 April 1815, mengubur seluruh lereng-lereng Tambora. Letusan itu jika mengacu kepada Indeks Eksplosivitas Volkanik (VEI: Volcanic Explosivity Index; Newhall dan Self, 1982) berada pada skala >7, skala letusan tertinggi di masa sejarah umat manusia. Volume batu yang dikeluarkan mencapai lebih dari 150 km-kubik, hampir sepuluh kali lipat dari letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883. Ketika letusan itu terjadi, abunya mengarah ke barat laut menyebabkan Sumbawa, Lombok, Bali, Madura dan sebagian Jawa Timur gelap gulita selama tiga hari.
Korban yang berjatuhan langsung diperkirakan mencapai 10.000 orang. Dampak ikutannya berupa bencana penyakit dan kelaparan mencapai 38.000 di Sumbawa dan 44.000 di Lombok, sehingga diduga korban akibat letusan ini mencapai angka 92.000 korban meninggal.
Menurut buku Data Dasar Gunungapi Indonesia (Kusumadinata, 1979), Tambora masih bergelora walaupun aktivitasnya makin menurun hingga 15 Juli 1815. Namun Agustus 1819 masih terdengar suara gemuruh yang kuat disertai gempa bumi dan terlihatnya bara api dari kalderanya.
Letusan bertipe Plinian yang membentuk cerobong abu ke angkasa dan membentuk payung cendawan di atasnya, diperkirakan mencapai ketinggian lebih dari 25 km. Abunya di angkasa beredar terbawa angin stratosfer ke seluruh dunia, dan iklim dunia pun terpengaruh. Apakah abu Tambora yang beberapa minggu kemudian menyumblim di atas Eropa dan menghasilkan hujan deras di atas Waterloo? Sulit untuk mengaitkannya. Namun demikian, walaupun bulan Juni biasa terjadi hujan mengawali musim panas di Eropa, namun intensitas curah hujan tinggi tidak biasa yang luput dari perkiraan Napoleon, mungkin saja disebabkan pengaruh abu dari letusan Tambora itu.
Satu hal yang tidak terbantahkan di kalangan ilmuwan adalah perubahan iklim belahan bumi utara yang terjadi setahun kemudian pada 1816. Setelah Eropa reda dari kekacauan akibat Perang Napoleon, pemulihan kondisi ekonomi semakin terancam akibat perubahan cuaca. Gagal panen terjadi dimana-mana. Kelaparan dan wabah penyakit tak terhindarkan. Bahkan pada waktu yang seharusnya tengah-tengah musim panas pada Juli – Agustus 1816, salju turun di beberapa tempat di belahan Bumi utara. Tahun 1816 kemudian tercatat dalam sejarah sebagai “the year without summer.” Begitulah bagaimana abu letusan Tambora mungkin menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan pasukan Napoleon di Waterloo, dan benar-benar mempengaruhi iklim dunia serta tercatat menurunkan suhu Bumi sebesar 0,5oC.
Saat kami mendaki Tambora dan mencapai bibir kalderanya di pagi hari yang cerah, kami terpesona dengan kaldera luas dan dalam yang terbentang di bawah kaki kami. Dengan diameter kaldera mencapai hampir 7 km dan kedalaman hingga dasar mencapai hampir 1 km, kami hanyalah sekumpulan titik yang tidak berarti di lingkungan yang luar biasa itu. Tebing curam 70 – 90o di bawah kaki kami membuat kami ekstra hati-hati. Terpeleset sedikit tidak akan ada yang sanggup untuk selamat berguling-guling ke dasar kaldera yang sangat dalam itu.
Di dasar kaldera masih terlihat asap-asap solfatar dari kawah-kawah penghasil belerang. Gunungapi sekunder Doro Afitoi (secara harfiah dalam bahasa Bima berarti gunung api kecil) tidak kelihatan dari dinding barat daya, tetapi itulah gunung baru yang muncul setelah letusan pembentuk kaldera 10 April 1815 itu. Selain itu pemandangan ke arah dinding barat yang waktu itu tersorot matahari pagi memperlihatkan lapisan-lapisan selang-seling antara lava dan piroklastik yang teratur rapi membentuk garis-garis lurus. Itulah lapisan-lapisan batuan yang lebih tua yang diperkirakan berumur 500 – 1000 tahun yang lalu (Heryadi dan Mujitahid, 2003).
Dalam perjalanan pulang menuruni lereng, endapan-endapan lava yang memanjang menuruni lereng dan punggungan pasir-pasir volkanik harus kami loncati, sesuatu yang tidak kami sadari saat perjalanan naik karena tidak terlihat saat hari masih gelap. Lembah-lembah dan punggungan-punggungan itu pastilah terbentuk setelah letusan dahsyat itu. Sambil berhati-hati menuruni lereng, di hadapan kami terbentang kaki gunung yang kerontang yang langsung berbatasan dengan Teluk Saleh yang tampak membiru dilatari langit yang juga membiru. Merekalah saksi kedahsyatan letusan 10 April 1815, dan bukti kesaksian itu didapatkan dari gundukan-gundukan yang tersebar luas di kaki gunung.
Batuapung di Mana-mana
Sambil terbayang sejarah sekitar tahun 1815 itu, dalam perjalanan kembali ke arah Dompu untuk menuju Sumbawabesar, tim EGI berhenti sejenak untuk mengambil foto kuda-kuda dan kerbau-kerbau yang dibiarkan bebas berkeliaran di kaki Tambora yang gersang. Saat itulah saya tertarik pada gundukan-gundukan kecil yang banyak tersebar di padang rumput itu. Gundukan-gundukan itu tampak tidak menarik perhatian tadinya, dan tidak begitu menonjol di atas permukaan tanah. Wah gundukan-gundukan apa ini?
Setelah dicongkel dengan palu geologi, ternyata gundukan-gundukan tersebut berisi kumpulan kerikil batu apung. Setelah mengamati secara lebih seksama padang rumput di kaki Tambora itu, rupanya gundukan-gundukan tersebut tersebar sangat luas dan ada di mana-mana.
Nah inilah bukti lain letusan paroksismal 10 April 1815 itu. Batu apung yang umumnya bersifat magmatis asam dengan kandungan silika tinggi, selalu berasosiasi dengan letusan gunung api bertipe Plinian pembentuk kaldera. Magma yang diletuskan oleh kekuatan dahsyat akan tersembur ke angkasa kemudian jatuh di sekeliling pusat letusan. Saat melayang jatuh butiran-butiran magma segera mendingin sambil melepaskan gas-gas yang terkandungnya. Begitulah bagaimana kemudian batu apung terbentuk dengan sifat seperti spons yang berpori dan ringan.
Gundukan-gundukan yang terjadi mempunyai bentuk yang menarik. Tingginya tidak lebih dari 30 cm dengan diameter rata-rata 100 cm. Morfologinya melandai dari arah gunung dan mempunyai lereng curam di sisi yang lain. Dengan isi gundungan terdiri dari batu apung dapat diperkirakan bahwa gundukan-gundukan ini merupakan aliran surge awan panas yang meluncur menuruni lereng gunung setelah awan batu yang diletuskan kolaps akibat gravitasi. Saat awan bebatuan ini jatuh meluncur menuruni lereng, ia akan bergulung-gulung di atas permukaan untuk kemudian teronggokkan sebagai gundukan-gundukan itu.
Tidak dapat terbayangkan bagaimana proses ini terjadi melanda kaki gunung yang mungkin dihuni oleh perkampungan. Semuanya akan digulung dan dilumat habis oleh awan bebatuan yang suhunya diperkirakan masih sangat panas. Kondisi itulah yang kemudian terlihat pada situs-situs arkeologis yang tergali di kaki Tambora.
Pompeii di Sumbawa
Kita kembali dulu ke tahun 79. Tempatnya jauh di Italia, di Teluk Napoli. Tanggal 24 Agustus 79 terjadilah letusan tipe Plinian yang sebenarnya tidak sedahsyat Tambora tetapi tetap mematikan: letusan Gunung Vesuvius. Dua buah kota yang berada di pesisir Teluk Napoli, Herculanum dan Pompeii terkubur abu, pasir dan bebatuan dari letusan itu. Namun bencana maut yang kemudian datang ke kedua kota itu adalah aliran piroklastik awan panas yang mematikan warga dua kota yang masih selamat dari gempuran bebatuan.
Berribu tahun kemudian ketika tim ekskavasi arkeologis bekerja menggali endapan gunung api yang mengubur Pompeii pada tahun 1960an, mereka heran mendapati ruang-ruang kosong di dalam batuan. Mereka kemudian mencoba mengisi dengan cor-coran gips pada ruang-ruang kosong itu. Apa yang terjadi ketika cor-coran itu dikelupas? Tampaklah cetakan-cetakan berbentuk manusia dengan berbagai posisi yang mengenaskan. Merekalah warga Pompeii korban letusan 24 Agustus 79 yang sekarang menjadi saksi kedahsyatan letusan G. Vesuvius.
Itulah bayangan yang berkecamuk di dalam pikiran ketika melaju terguncang-guncang di atas ojek dari Dusun Pancasila, Kedindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Bima.
Keterampilan pengemudi ojek melalui jalan-jalan setapak di antara kebun kopi di lereng barat laut Tambora itu membawa kami menuju lokasi situs ekskavasi arkeologi yang sedang dikerjakan oleh Balai Arkeologi Denpasar. Sayang, ketika sampai di lokasi, kegiatan ekskavasi baru saja dihentikan dan menjadi hari terakhir setelah dua minggu berjalan. Padahal inilah situs arkeologis yang akan menjadikannya seperti di Pompeii.
Hasil ekskavasi pada tahun-tahun sebelumnya, tim Geologi dan Arkeologi menemukan sisa-sisa perkampungan yang terkubur dengan berbagai peralatan sehari-hari seperti pecahan-pecahan keramik cina, tombak, dan lain sebagainya. Tergali juga sisa-sisa beras yang sudah hitam mengarang, dan yang lebih spektakuler lagi adalah temuan kerangka-kerangka manusia korban letusan 10 April 1815 itu. Jika ekskavasi selesai sepenuhnya, maka situs ini bukan tidak mungkin akan menjadi Pompeii di Timur.
Jika kita mengamati lapisan-lapisan yang menutupi galian situs itu, kita akan dapati kembali lapisan-lapisan piroklastik yang terdiri dari batuapung. Batuapung yang sama seperti dicongkel dari gundukan-gundukan di kaki barat daya. Batuapung yang sama pula ketika penduduk Doropeti membawa kami pada temuan fondasi rumah dan kuburan yang secara tidak sengaja tergali di sebuah ladang. Memang bencana yang tak terperikan yang melanda seluruh lereng di seputar Gunung Tambora di Semenanjung Sanggar!
Dari pengemudi ojek dan beberapa tokoh masyarakat di sekitar Kecamatan Pekat, telah beredar luas sebuah legenda asal-usul nama Tambora, yang berasal dari kata bahasa Bima: ta’bora, yang artinya “menghilang.” Legenda itu bercerita tentang seorang ulama yang mencoba mengislamkan masyarakat animisme yang masih hidup di daerah itu. Tetapi sang ulama ditipu dengan sajian daging enak yang ternyata adalah daging anjing yang tentu saja haram untuk dimakan. Sang ulama yang marah segera berteriak “ta’ bora!” lalu menghilang seiring dengan meletusnya gunung dengan dahsyat. Begitulah asal-usul nama Tambora.
Namun kita harus kritis dengan asal-usul nama Tambora ini, jika itu mengacu kepada letusan 1815. Sudah pasti nama gunung sudah bernama Tambora sejak lama. Pada laporan berbahasa Belanda pada tahun 1815 setelah letusan itu, nama Tambora sudah digunakan untuk nama gunung ini. Laporan itu adalah “berichten over de eruptive van den Tambora op Sumbawa, van 5 – 12 April 1815, O.a. door den gezagvoerder van eep schip, dat zich toen Makassar bevond, en 19 den April op de roede van Bima aankwan, Java Government Gazette, May 20, n. 169, May 27, n. 170 1815” (dalam Kusumadinata, 1979). Jadi ada kemungkinan nama Tambora dan legenda yang mengacu pada namanya telah berlangsung sejak lama, tetapi kemudian berubah seiring perkembangan budaya manusia penuturnya.
Bagaimanapun, letusan paroksismal G. Tambora 10 April 1815 adalah catatan sejarah gunungapi dunia yang tiada taranya selama jaman sejarah umat manusia. Itulah letusan terbesar di dunia yang mungkin ikut menyebabkan kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo, dan yang pasti mengakibatkan perubahan iklim global yang membuat tahun 1816, setahun setelah letusan, menjadi tahun tanpa musim panas. ***
Daftar Pustaka
Heryadi dan Mujitahid (2003), Gunungapi Nusa Tenggara Barat, Publikasi Khusus No. 01 Okt 2003, IAGI Pengda Nusa Tenggara.
Kusumadinata, K., (1979), Data Dasar Gunungapi Indonesia, Penerbit Direktorat Vulkanologi, Bandung.
Newhall, C.G. and Self, S. (1982). The volcanic explosivity index (VEI): An estimate of explosive magnitude for historical volcanism, Journal of Geophysical Research 87 (C2): 1231–1238. http://www.agu.org/pubs/crossref/1982/JC087iC02p01231.shtml.
Smithsonian Institution (2010), Global Volcanism Program. Diakses pada 12 Agustus.
Wikipedia (2010), Perang Napoleon; Daendels; Raffles; Tambora. Diakses pada 9 Agustus.
(dimuat di Majalah Ilmiah Populer: EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2010 NUSA TENGGARA BARAT – BAKOSURTANAL)
Apakah letusan dahsyat Tambora menjadi penyebab kekalahan Napoleon di Waterloo? Memang terlalu gegabah menyimpulkan hal itu. Namun marilah kita ikuti peristiwa-peristiwa bersejarah di sekitar 1815, tahun berakhirnya Perang Napoleon dan meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa.
Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis yang baru saja kabur dari pengasingannya di Pulau Elba dan merebut kembali tampuk kekuasaannya dari Louis XVIII, harus menghadapi kondisi cuaca yang tidak mendukung dalam medan pertempuran Waterloo di Belgia. Saat itu tanggal 18 Juni 1815. Sial baginya, hujan deras yang mengguyur Belgia semalaman penuh menimbulkan banjir dan tanah menjadi becek sehingga tidak layak untuk dilalui meriam-meriam berat. Padahal untuk merebut kemenangan yang harus diraihnya dalam perang seratus hari setelah kebebasannya, pasukan Napoleon harus segera menggempur pasukan koalisi Inggris dikomandani Laksamana Wellington yang bertahan di Waterloo.
Sang Kaisar akhirnya mengundurkan waktu penyerbuan, menunggu tanah mengering. Seiring dengan itu, konsolidasi pasukan musuh akhirnya menjadi kuat ditambah datangnya pasukan Prusia. Lalu sejarah mencatat bahwa kegemilangan strategi perang Napoleon kandas di Waterloo dan Napoleon pulang ke Paris hanya untuk menandatangi pakta kekalahan dan pengasingan dirinya kembali. Ia dibuang ke pulau terpencil di Samudera Atlantik, St. Helena, hingga meninggalnya pada 5 Mei 1821. Berakhirlah perang panjang 1799 – 1815 yang melanda seluruh Eropa yang dimulai ketika Napoleon Bonaparte merebut kekuasaan di Perancis. .
Jauh di belahan dunia yang lain, di kepulauan yang saat itu masih bernama Hindia Timur Belanda (Netherlands East Indies), seiring berkuasanya Napoleon, ia menempatkan orang-orang pilihannya untuk menduduki tempat-tempat yang bahkan tidak terkena hiruk pikuk perang di Eropa. Diangkatlah Marcshalk Herman Willem Daendels pada tahun 1908 menjadi Gubernur Jenderal baru di Hindia Timur sebagai representasi kekuasaan Perancis terhadap Negeri Belanda.
Kekuasaannya tidak lama karena dipanggil untuk membantu pasukan Perancis melawan Rusia pada tahun 1910. Ia digantikan Jan Willem Janssens. Namun Daendels telah mencatatkan sejarah pahit bagi bangsa yang dijajahnya yang setelah merdeka disebut Indonesia itu. Jalan ribuan kilometer antara Anyer – Panarukan berhasil dibangun dengan darah rakyat yang dilaluinya. Sebenarnya Daendels tidak membuat jalan baru. Kebanyakan ia hanya memperlebar dan atau memperkuat jalan lama atau jalan setapak sehingga bisa dilalui pedati. Semuanya untuk melancarkan arus kekuasaan militerismenya dan kelancaran transportasi komoditas kekayaan bumi Pulau Jawa yang tidak lain untuk biaya dan kepentingan Perang Napoleon juga.
Neraka Tambora 1815
Setelah Napoleon takluk di tangan Inggris dan ditawan di Pulau Elba, Gubernur Jenderal baru di Hindia Timur adalah seorang bangsawan Inggris yang selain menjadi penguasa tampuk pemerintahan tertinggi, namun juga punya kepedulian terhadap ilmu pengetahuan. Dialah Sir Thomas Stamford Bingley Raffles yang kemudian menjadi seorang gubernur jenderal di Nusantara yang mempunyai perhatian akan peristiwa letusan gunungapi paling dahsyat di dalam sejarah umat manusia: letusan Gunung Tambora 10 April 1815.
Ialah yang kemudian memerintahkan bawahannya Letnan Phillips untuk langsung menuju lokasi bencana. Sang letnan mencatat apa yang dilihatnya ketika tiba di Dompu kira-kira sebagai berikut:
“Dalam perjalananku, aku melewati hampir seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran melanda penduduk. Bencana telah memberikan pukulan hebat. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda-tanda banyak lainnya telah terkubur. Desa-desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh. Penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan. Diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga mati dalam jumlah yang besar…”
Raffles sendiri kemudian memberi catatan tentang letusan Tambora itu di bukunya yang terkenal “The History of Java.” Buku tebal dengan beberapa jilid itu diterbitkan pada tahun 1817 setelah ia dipanggil pulang ke Inggeris akibat dinilai salah manajemen dalam mengurus tanah jajahan di Nusantara.
Lalu bagaimana hubungan kekalahan Napoleon di Waterloo dengan letusan Tambora?
Bulan April 1815, rakyat di sekitar Semenanjung Sanggar, tempat beberapa kota ramai di bawah Kekuasaan Kerajaan Bima, gelisah dengan aktivitas Gunung Tambora. Gempa-gempa kecil terasa terus-menerus dan erupsi-erupsi permulaan terjadi dari kawah di puncak gunung yang saat itu diperkirakan mencapai ketinggian 4.000 m di atas muka laut. Buku Data Dasar Gunungapi Indonesia (Kusumadinata, 1979) mencatat aktifitas permulaan itu terjadi pada 5 April 1815 dengan suara gemuruh yang terdengar hingga Batavia (Jakarta sekarang, sejauh 1.250 km) dan Ternate (1.400 km).
Aktifitas volkanik semakin meningkat hingga mencapai puncaknya dengan suatu letusan paraksismal maha dahsyat pada tanggal 10 April 1815. Letusan itu menghasilkan suara ledakan yang terdengar hingga Jawa dan Sumatera walaupun hanya dikira sebagai letusan meriam. Namun bagi rakyat Bima di Semenanjung Sanggar, ledakan itu tidak hanya sangat memekakkan telinga, tetapi segera disusul bencana maut. Hujan abu dan batu segera menghunjam mereka. Suatu aliran surge piroklastik awan panas yang cepat dan bersuhu di atas 500oC segera menerjang dan mengubur permukiman-permukiman yang berada di kaki-kaki gunung di sekeliling kawah Tambora.
Tidak pelak lagi, letusan-letusan dahsyat yang baru mulai reda pada 12 April 1815, mengubur seluruh lereng-lereng Tambora. Letusan itu jika mengacu kepada Indeks Eksplosivitas Volkanik (VEI: Volcanic Explosivity Index; Newhall dan Self, 1982) berada pada skala >7, skala letusan tertinggi di masa sejarah umat manusia. Volume batu yang dikeluarkan mencapai lebih dari 150 km-kubik, hampir sepuluh kali lipat dari letusan Krakatau pada 27 Agustus 1883. Ketika letusan itu terjadi, abunya mengarah ke barat laut menyebabkan Sumbawa, Lombok, Bali, Madura dan sebagian Jawa Timur gelap gulita selama tiga hari.
Korban yang berjatuhan langsung diperkirakan mencapai 10.000 orang. Dampak ikutannya berupa bencana penyakit dan kelaparan mencapai 38.000 di Sumbawa dan 44.000 di Lombok, sehingga diduga korban akibat letusan ini mencapai angka 92.000 korban meninggal.
Menurut buku Data Dasar Gunungapi Indonesia (Kusumadinata, 1979), Tambora masih bergelora walaupun aktivitasnya makin menurun hingga 15 Juli 1815. Namun Agustus 1819 masih terdengar suara gemuruh yang kuat disertai gempa bumi dan terlihatnya bara api dari kalderanya.
Letusan bertipe Plinian yang membentuk cerobong abu ke angkasa dan membentuk payung cendawan di atasnya, diperkirakan mencapai ketinggian lebih dari 25 km. Abunya di angkasa beredar terbawa angin stratosfer ke seluruh dunia, dan iklim dunia pun terpengaruh. Apakah abu Tambora yang beberapa minggu kemudian menyumblim di atas Eropa dan menghasilkan hujan deras di atas Waterloo? Sulit untuk mengaitkannya. Namun demikian, walaupun bulan Juni biasa terjadi hujan mengawali musim panas di Eropa, namun intensitas curah hujan tinggi tidak biasa yang luput dari perkiraan Napoleon, mungkin saja disebabkan pengaruh abu dari letusan Tambora itu.
Satu hal yang tidak terbantahkan di kalangan ilmuwan adalah perubahan iklim belahan bumi utara yang terjadi setahun kemudian pada 1816. Setelah Eropa reda dari kekacauan akibat Perang Napoleon, pemulihan kondisi ekonomi semakin terancam akibat perubahan cuaca. Gagal panen terjadi dimana-mana. Kelaparan dan wabah penyakit tak terhindarkan. Bahkan pada waktu yang seharusnya tengah-tengah musim panas pada Juli – Agustus 1816, salju turun di beberapa tempat di belahan Bumi utara. Tahun 1816 kemudian tercatat dalam sejarah sebagai “the year without summer.” Begitulah bagaimana abu letusan Tambora mungkin menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan pasukan Napoleon di Waterloo, dan benar-benar mempengaruhi iklim dunia serta tercatat menurunkan suhu Bumi sebesar 0,5oC.
Saat kami mendaki Tambora dan mencapai bibir kalderanya di pagi hari yang cerah, kami terpesona dengan kaldera luas dan dalam yang terbentang di bawah kaki kami. Dengan diameter kaldera mencapai hampir 7 km dan kedalaman hingga dasar mencapai hampir 1 km, kami hanyalah sekumpulan titik yang tidak berarti di lingkungan yang luar biasa itu. Tebing curam 70 – 90o di bawah kaki kami membuat kami ekstra hati-hati. Terpeleset sedikit tidak akan ada yang sanggup untuk selamat berguling-guling ke dasar kaldera yang sangat dalam itu.
Di dasar kaldera masih terlihat asap-asap solfatar dari kawah-kawah penghasil belerang. Gunungapi sekunder Doro Afitoi (secara harfiah dalam bahasa Bima berarti gunung api kecil) tidak kelihatan dari dinding barat daya, tetapi itulah gunung baru yang muncul setelah letusan pembentuk kaldera 10 April 1815 itu. Selain itu pemandangan ke arah dinding barat yang waktu itu tersorot matahari pagi memperlihatkan lapisan-lapisan selang-seling antara lava dan piroklastik yang teratur rapi membentuk garis-garis lurus. Itulah lapisan-lapisan batuan yang lebih tua yang diperkirakan berumur 500 – 1000 tahun yang lalu (Heryadi dan Mujitahid, 2003).
Dalam perjalanan pulang menuruni lereng, endapan-endapan lava yang memanjang menuruni lereng dan punggungan pasir-pasir volkanik harus kami loncati, sesuatu yang tidak kami sadari saat perjalanan naik karena tidak terlihat saat hari masih gelap. Lembah-lembah dan punggungan-punggungan itu pastilah terbentuk setelah letusan dahsyat itu. Sambil berhati-hati menuruni lereng, di hadapan kami terbentang kaki gunung yang kerontang yang langsung berbatasan dengan Teluk Saleh yang tampak membiru dilatari langit yang juga membiru. Merekalah saksi kedahsyatan letusan 10 April 1815, dan bukti kesaksian itu didapatkan dari gundukan-gundukan yang tersebar luas di kaki gunung.
Batuapung di Mana-mana
Sambil terbayang sejarah sekitar tahun 1815 itu, dalam perjalanan kembali ke arah Dompu untuk menuju Sumbawabesar, tim EGI berhenti sejenak untuk mengambil foto kuda-kuda dan kerbau-kerbau yang dibiarkan bebas berkeliaran di kaki Tambora yang gersang. Saat itulah saya tertarik pada gundukan-gundukan kecil yang banyak tersebar di padang rumput itu. Gundukan-gundukan itu tampak tidak menarik perhatian tadinya, dan tidak begitu menonjol di atas permukaan tanah. Wah gundukan-gundukan apa ini?
Setelah dicongkel dengan palu geologi, ternyata gundukan-gundukan tersebut berisi kumpulan kerikil batu apung. Setelah mengamati secara lebih seksama padang rumput di kaki Tambora itu, rupanya gundukan-gundukan tersebut tersebar sangat luas dan ada di mana-mana.
Nah inilah bukti lain letusan paroksismal 10 April 1815 itu. Batu apung yang umumnya bersifat magmatis asam dengan kandungan silika tinggi, selalu berasosiasi dengan letusan gunung api bertipe Plinian pembentuk kaldera. Magma yang diletuskan oleh kekuatan dahsyat akan tersembur ke angkasa kemudian jatuh di sekeliling pusat letusan. Saat melayang jatuh butiran-butiran magma segera mendingin sambil melepaskan gas-gas yang terkandungnya. Begitulah bagaimana kemudian batu apung terbentuk dengan sifat seperti spons yang berpori dan ringan.
Gundukan-gundukan yang terjadi mempunyai bentuk yang menarik. Tingginya tidak lebih dari 30 cm dengan diameter rata-rata 100 cm. Morfologinya melandai dari arah gunung dan mempunyai lereng curam di sisi yang lain. Dengan isi gundungan terdiri dari batu apung dapat diperkirakan bahwa gundukan-gundukan ini merupakan aliran surge awan panas yang meluncur menuruni lereng gunung setelah awan batu yang diletuskan kolaps akibat gravitasi. Saat awan bebatuan ini jatuh meluncur menuruni lereng, ia akan bergulung-gulung di atas permukaan untuk kemudian teronggokkan sebagai gundukan-gundukan itu.
Tidak dapat terbayangkan bagaimana proses ini terjadi melanda kaki gunung yang mungkin dihuni oleh perkampungan. Semuanya akan digulung dan dilumat habis oleh awan bebatuan yang suhunya diperkirakan masih sangat panas. Kondisi itulah yang kemudian terlihat pada situs-situs arkeologis yang tergali di kaki Tambora.
Pompeii di Sumbawa
Kita kembali dulu ke tahun 79. Tempatnya jauh di Italia, di Teluk Napoli. Tanggal 24 Agustus 79 terjadilah letusan tipe Plinian yang sebenarnya tidak sedahsyat Tambora tetapi tetap mematikan: letusan Gunung Vesuvius. Dua buah kota yang berada di pesisir Teluk Napoli, Herculanum dan Pompeii terkubur abu, pasir dan bebatuan dari letusan itu. Namun bencana maut yang kemudian datang ke kedua kota itu adalah aliran piroklastik awan panas yang mematikan warga dua kota yang masih selamat dari gempuran bebatuan.
Berribu tahun kemudian ketika tim ekskavasi arkeologis bekerja menggali endapan gunung api yang mengubur Pompeii pada tahun 1960an, mereka heran mendapati ruang-ruang kosong di dalam batuan. Mereka kemudian mencoba mengisi dengan cor-coran gips pada ruang-ruang kosong itu. Apa yang terjadi ketika cor-coran itu dikelupas? Tampaklah cetakan-cetakan berbentuk manusia dengan berbagai posisi yang mengenaskan. Merekalah warga Pompeii korban letusan 24 Agustus 79 yang sekarang menjadi saksi kedahsyatan letusan G. Vesuvius.
Itulah bayangan yang berkecamuk di dalam pikiran ketika melaju terguncang-guncang di atas ojek dari Dusun Pancasila, Kedindi, Kecamatan Pekat, Kabupaten Bima.
Keterampilan pengemudi ojek melalui jalan-jalan setapak di antara kebun kopi di lereng barat laut Tambora itu membawa kami menuju lokasi situs ekskavasi arkeologi yang sedang dikerjakan oleh Balai Arkeologi Denpasar. Sayang, ketika sampai di lokasi, kegiatan ekskavasi baru saja dihentikan dan menjadi hari terakhir setelah dua minggu berjalan. Padahal inilah situs arkeologis yang akan menjadikannya seperti di Pompeii.
Hasil ekskavasi pada tahun-tahun sebelumnya, tim Geologi dan Arkeologi menemukan sisa-sisa perkampungan yang terkubur dengan berbagai peralatan sehari-hari seperti pecahan-pecahan keramik cina, tombak, dan lain sebagainya. Tergali juga sisa-sisa beras yang sudah hitam mengarang, dan yang lebih spektakuler lagi adalah temuan kerangka-kerangka manusia korban letusan 10 April 1815 itu. Jika ekskavasi selesai sepenuhnya, maka situs ini bukan tidak mungkin akan menjadi Pompeii di Timur.
Jika kita mengamati lapisan-lapisan yang menutupi galian situs itu, kita akan dapati kembali lapisan-lapisan piroklastik yang terdiri dari batuapung. Batuapung yang sama seperti dicongkel dari gundukan-gundukan di kaki barat daya. Batuapung yang sama pula ketika penduduk Doropeti membawa kami pada temuan fondasi rumah dan kuburan yang secara tidak sengaja tergali di sebuah ladang. Memang bencana yang tak terperikan yang melanda seluruh lereng di seputar Gunung Tambora di Semenanjung Sanggar!
Dari pengemudi ojek dan beberapa tokoh masyarakat di sekitar Kecamatan Pekat, telah beredar luas sebuah legenda asal-usul nama Tambora, yang berasal dari kata bahasa Bima: ta’bora, yang artinya “menghilang.” Legenda itu bercerita tentang seorang ulama yang mencoba mengislamkan masyarakat animisme yang masih hidup di daerah itu. Tetapi sang ulama ditipu dengan sajian daging enak yang ternyata adalah daging anjing yang tentu saja haram untuk dimakan. Sang ulama yang marah segera berteriak “ta’ bora!” lalu menghilang seiring dengan meletusnya gunung dengan dahsyat. Begitulah asal-usul nama Tambora.
Namun kita harus kritis dengan asal-usul nama Tambora ini, jika itu mengacu kepada letusan 1815. Sudah pasti nama gunung sudah bernama Tambora sejak lama. Pada laporan berbahasa Belanda pada tahun 1815 setelah letusan itu, nama Tambora sudah digunakan untuk nama gunung ini. Laporan itu adalah “berichten over de eruptive van den Tambora op Sumbawa, van 5 – 12 April 1815, O.a. door den gezagvoerder van eep schip, dat zich toen Makassar bevond, en 19 den April op de roede van Bima aankwan, Java Government Gazette, May 20, n. 169, May 27, n. 170 1815” (dalam Kusumadinata, 1979). Jadi ada kemungkinan nama Tambora dan legenda yang mengacu pada namanya telah berlangsung sejak lama, tetapi kemudian berubah seiring perkembangan budaya manusia penuturnya.
Bagaimanapun, letusan paroksismal G. Tambora 10 April 1815 adalah catatan sejarah gunungapi dunia yang tiada taranya selama jaman sejarah umat manusia. Itulah letusan terbesar di dunia yang mungkin ikut menyebabkan kekalahan Napoleon Bonaparte di Waterloo, dan yang pasti mengakibatkan perubahan iklim global yang membuat tahun 1816, setahun setelah letusan, menjadi tahun tanpa musim panas. ***
Daftar Pustaka
Heryadi dan Mujitahid (2003), Gunungapi Nusa Tenggara Barat, Publikasi Khusus No. 01 Okt 2003, IAGI Pengda Nusa Tenggara.
Kusumadinata, K., (1979), Data Dasar Gunungapi Indonesia, Penerbit Direktorat Vulkanologi, Bandung.
Newhall, C.G. and Self, S. (1982). The volcanic explosivity index (VEI): An estimate of explosive magnitude for historical volcanism, Journal of Geophysical Research 87 (C2): 1231–1238. http://www.agu.org/pubs/crossref/1982/JC087iC02p01231.shtml.
Smithsonian Institution (2010), Global Volcanism Program. Diakses pada 12 Agustus.
Wikipedia (2010), Perang Napoleon; Daendels; Raffles; Tambora. Diakses pada 9 Agustus.
No comments:
Post a Comment