Thursday, May 31, 2012

Temuan Baru, Luas Gunung Padang 25 Hektar?




Gunung Padang, Cianjur (VIVAnews/ Muhamad Solihin)

Penelitian yang dilakukan tim arkeologi menemukan struktur batu teratur di sisi timur.
Penelitian yang dilakukan di situs megalitik Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, kembali melibatkan arkeolog. Arkeolog dari Universitas Indonesia memimpin penelitian, dengan melakukan ekskavasi di Gunung Padang, sejak 15 Mei hingga 30 Juni mendatang.

Sebelumnya, penelitian di situs ini kembali mengemuka setelah Tim Peneliti Katastropik Purba yang difasilitasi Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam, Andi Arief, melakukan penelitian yang disertai pengeboran. Hasilnya, berdasarkan carbon dating, situs dengan konstruksi buatan manusia ini diduga berasal dari 10.000 SM.

Meski begitu, Ali Akbar melakukan penelitian dengan metode arkeologi, dan tidak ingin bercampur dengan metode yang sebelumnya dilakukan ahli geologi.

Awalnya, Ali Akbar melakukan survei permukaan di Gunung Padang, sebelum dilakukan ekskavasi. Dari hasil survei ini, tim arkeologi menemukan ada struktur baru di sisi timur Gunung Padang.

Ali Akbar menduga struktur batu yang ditemukan teratur itu merupakan penyangga bangunan utama punden berundak. Dugaannya, bentuk penyangga itu sama seperti struktur penyangga bangunan di situs Machu Picchu di Peru.

"Ada undakan batu yang disusun, kemudian ada permukaan tanah. Sepertinya untuk menopang agar bangunan tidak longgar," ucap Ali Akbar, saat ditemui VIVAnews, 29 Mei 2012.

Ali juga menduga struktur yang sama ada di sisi barat. Namun, struktur di sisi barat sudah sulit untuk ditemukan, karena banyak yang kini berubah menjadi permukiman penduduk.

Dengan temuan struktur baru di sisi timur ini, Ali Akbar menduga luas bangunan Gunung Padang terbilang istimewa. "Bisa sampai 25 hektar kalau sampai bawah bukit. Tapi mungkin juga bisa hingga 75 hektar kalau sampai lembah," tuturnya.

Temuan Gerabah

Selain menemukan struktur, dari ekskavasi yang dilakukan di teras 4, tim arkeologi menemukan pecahan gerabah. Temuan ini dianggap penting untuk mengungkap fungsi punden berundak Gunung Padang.

"Selama ini dibilang fungsinya untuk pemujaan. Namun tentu harus disertai temuan pendukung," ucapnya.

Menurut Ali, serpihan yang ditemukan itu juga memperlihatkan jejak buat, berupa bekas tekanan jari. "Gerabah ini dibuat dengan menggunakan pinching, masih dengan jari dan belum menggunakan roda putar," tuturnya.

Meski begitu, Ali Akbar tidak mau gegabah untuk menyebutkan fungsi gerabah, dan kaitannya dengan konteks temuan di teras 4. "Fungsinya masih diselidiki," ucapnya.

Sedangkan mengenai usia bangunan, Ali Akbar mengaku belum sepakat dengan hasil penanggalan carbon dating yang dilakukan Tim Peneliti Katastropik Purba, yang menyebut situs Gunung Padang berasal dari 10.000 SM. "Dugaan arkeolog masih dari 2.500 SM," kata dia. Untuk mendukung ini, tim arkeologi pun akan melakukan penelitian carbon dating secara terpisah.

Bahasa Nusantara : Induk Dari Bahasa Sansekerta


Yok’s Kalachakra

Bahasa Nusantara : Induk Dari Bahasa Sansekerta
Tuesday, 21 April 2009 11:42 AM |
Oleh : Ki Denggleng Pagelaran

Shyama Rao (1999) menulis buku-elektronik berjudul “The Anti-Sanskrit Scripture” dan dipajang di perpustakaan maya Ambedkar (http://www.ambedkar/ .com) – yang sekarang sudah dihapus. Rao mengkritisi anggapan akademis bahwa bahasa Sansekertaadalah induk semua bahasa di Asia Selatan bahkan sampai Eropa Barat, demikian juga aksara Deva Nagari yang diakukan berasal dari negeri para dewa.


Rao menjelaskan banyak kelemahan bahasa Sansekerta dan aksara Deva Nagari. Bahasa Sansekrta yang sejak jaman kuno dipropagandakan oleh bangsa Aryan sebagai bahasa suci dan Bahasa Dewata serta induk bahasa-bahasa di Hindustan, bahasa Persia, Inggris dan Jerman itu mengandung kerumitan tatabahasa dan memiliki terlalu banyak karakter (alphabets). Rao membuat daftar perbandingan jumlah karakter bahasa-bahasa primitif (Sansekrta digolongkan primitif), sebagai berikut: Cina-Ming 40,545, Cina-Sung 26,194, Cina-Han 9,353, Sumeria 1,200, Sansekrta 509, dan Heroglif Mesir 70 karakter.

Memang jauh lebih banyak jumlah karakter Cina atau Sumeria, namun di bahasa-bahasa itu setiap karakter mewakili satu makna grammatical suatu kata atau morpheme. Sedang dalam bahasa Sansekrta satu aksara Deva Nagari hanya melambangkan bunyi, cara baca, perubahan bentuk kata dan lain-lain aturan grammatical yang sangat rumit. Agak mirip dengan huruf-huruf Timur-Tengah seperti Hibrani dan Arab tetapi jauh lebih rumit. Belum lagi tatabahasanya yang tidak konsisten sebagai kelompok bahasa daratan Asia Selatan ke Barat. Bahasa Sansekrta tidak membedakan jenis kelamin, tidak mengenal “tenses”, tidak ada konsep “tunggal dan jamak”, serta tidak ada partikel, tetapi banyak sinonim dan homonim yang mirip dengan kelompok bahasa Nusantara. Anehnya kosa-kata bahasa Sansekreta banyak yang mirip bahasa-bahasa Asia Selatan, Asia Barat hingga Eropa Barat.

Kesimpulannya, bahasa Sansekrta dan aksara Deva Nagari adalah “rakitan” dari berbagai bahasa. Dia dirakit dengan menyampur atau menyomoti kosa-kata dan cara tulis berbagai bahasa yang ada di Daratan Hindustan ditambah dengan bahasa-bahasa pendatang dengan logat bangsa Aryan. Ini juga dibuktikan bahwa penutur aktif bahasa Sansekrta pada tahun 1921 tinggal sekitar 356 orang di seluruh India, Pakistan dan Bangladesh (sekarang), dan pada sensus tahun 1951 hanya ada 555 orang penutur Sansekreta dari 362 juta penduduk India.

Bahasa Jawa, Sunda, Bali dan Indonesia justru mengandung sekitar 50% kosa kata Sansekrta. Jangan-jangan justru orang Aryan menyomot sebagian bahasanya dari Bahasa Nusantara sebagai bagian bahasa rakitannya. Karena secara praktis, justru penutur Sansekreta itu jauh lebih banyak di Nusantara dibanding penutur di India. Apalagi orang Aryan sendiri justru memakai bahasa Hindi. Bukti paling telak adalah bahwa belum diketemukan satupun naskah kuno berbahasa Sansekrta dengan aksara Deva Nagari di India sebelum tahun 500 Masehi!

Bahasa yang dianggap dan dipropagandakan sebagai bahasa dewata, terbukti sebagai bahasa rakitan minoritas “penguasa” Hindustan. Sayangnya, propaganda Sansekrta sebagai induk bahasa-bahasa terlanjur mendarah daging bersamaan dengan banjir bandang imperialisme dan kolonialisme sebagai sumber anthropologi. Teori Sansekrta Induk Bahasa (TSIB) terlanjur bercokol di memori intelektual sejarah, lingusistik dan sosial. Bahkan meracuni beberapa ahli komputer hingga pernah ada pendapat “Bahasa Sansekrta paling afdol untuk program komputer, karena mewakili banyak bahasa besar di dunia” tanpa dipertimbangkan kerumitan penulisan yang digunakan dan ketidakkonsistenan tatabahasanya. Justru bahasa komputer yang melanglang jaringan “artificial intelligent” bernama “Java Script” yang konon karena “fleksibelnya” the Javanese.

Seorang agronomist dari Haryana University, Profesor Ashok Kumar – tahun 2003/2004 tinggal bersebelahan kamar dengan penulis – ketika berbincang masalah bahasa, sangat heran dengan bahasa Indonesia. Pertama dia heran sewaktu penulis memberitahu bahwa “language” itu “bahasa”. Dia heran, karena di bahasa Hindi dan Bengali, “language” adalah “bhasa”. Dia lebih heran lagi ketika penulis katakan bahwa dalam bahasa Jawa berbunyi “boso” (tetapi terpaksa saya tulis “bawsaw”). Dia bingung, dari mana istilah “bhasa, boso, dan bahasa” itu berasal. Dia sebagai orang Hindu justru tidak merujuk Sansekrta, malah menduga dari bahasa Arab atau Urdu. Penulis juga heran, mengapa istilah “bhasa” itu, kalau benar-benar dari Sansekrta, mestinya di Persia, Jerman, Inggris, Latin, Yunani, juga mirip paling tidak ada konsonan “bhs”, tetapi kok jadi “lingua”?

Keheranan Prof. Kumar kedua adalah tentang jumlah bahasa di Indonesia yang ratusan, tetapi memiliki satu bahasa Indonesia yang dapat diterima oleh hampir semua orang Indonesia, sehingga dia pernah bertanya “What language do you speak?” ketika penulis asyik berbincang dengan rekan dari Aceh dan Bali. Penulis juga heran sendiri, karena antara bahasa Jawa, Sunda dan Bali itu banyak mengandung kosa-kata Kawi, sedang hampir 80% kosa kata bahasa Melayu asli punya akar kata Kawi, menurut Wojowasito atau Zoed Mulder – penulis agak lupa.

Kenyataan itu sangat berbeda dengan negerinya yang besar. Negerinya punya keragaman ekologi dan ekosistem yang spektakuler. Mulai dari yang bersalju abadi (Himalaya) sampai yang bergurun (Deccan dan Punjab). Dari yang daratan utuh (Hindustan) hingga kepulauan (Andaman). Maka Prof. Kumar berkhayal, seandainya India memiliki bahasa nasional yang bisa diterima oleh seluruh bangsa seperti Bahasa Indonesia, betapa kuat negaranya! Tetapi dia justru heran kepada Indonesia yang tidak maju-maju. “What’s wrong with the Indonesian?” katanya.

Penulis menerawang. Ternyata dari Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia masih merupakan pengikat paling kuat persatuan dan kesatuan Indonesia . Bahasa konon merupakan salah satu ekspresi kebudayaan bangsa penuturnya. Penulis teringat akan artikel di majalah ilmiah populer HortScience tentang asal-usul tanaman “tales-talesan” yang ada di Oceania, Polynesia hingga Hawaii lalu menyebar ke Jepang, Cina dan Korea, yang diduga dulu-dulunya dibawa oleh penjelajah lautan kuno dari Nusantara sebagai “bekal” bahan makanan. Dan lebih yakin lagi setelah kebetulan nonton siaran NHK (TV Jepang) akhir tahun 2003 sewaktu membahas kebudayaan bangsa Hawaii. Di siaran itu ada tarian tradisional yang diucapkan oleh pembawa acara sebagai: “Kokonatsu no odori” (Tarian pohon kelapa) yang tulisan bahasa Hawaiinya ada kata “kalappa”. Nusantara telah punya bahasa yang satu, berarti budayanya juga satu.

Jadi, bahasa manakah yang bahasa Induk? Sansekrta atau bahasa-bahasa Nusantara yang diwakili oleh Bahasa Indonesia? Sayang bahwa dalam sejarah penyebaran manusia, bangsa Nusantara terlanjur dianggap sebagai pendatang dari Indo-Cina. Meskipun saya pribadi tidak menemukan sama sekali kosa kata Indonesia atau Jawa yang mirip dengan kosa kata Khmer atau Burma . Yang ada justru dulu raja-raja Kamboja memakai nama akhir Warman dan kebetulan pula salah seorang bangsawan dari daerah Pamalayu di Majapahit bernama Adityawarman. Sementara nama raja Kamboja sekarang justru Norodom Sihanouk yang sama sekali tidak mirip dengan satu pun kata Melayu, Jawa, Sunda dan Bali .

Ingin saya mengemukakan pemikiran kontroversial ini tentang bahasa dan bangsa Nusantara. Tetapi, paling-paling nasibnya akan seperti tulisan Shyama Rao, meskipun Prof. Kumar yang orang Hindi berdarah Aryan kebingungan dengan bahasa Sansekrta dan aksara Deva Nagari, hanya dengan satu kata Indonesia, “BAHASA”, tetap saja TSIB-lah yang berlaku secara akademis.

Islam Masuk ke Nusantara, sejak Rasulullah Muhammad SAW masih Hidup.


Salah satu teori Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebutjuga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat iniberasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnyadidedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernamaSnouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasaArab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramaisaat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara.
Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina.
Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini. Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara.
Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur,yang sudah sering dijarah…”
Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina. Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya.Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. DiSumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapaikejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar k enegeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets.
Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikah perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid). Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarahTiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKAjuga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh. Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer darikota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu. Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari EcoleFrancaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama denganpeneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Baru stelah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orangArab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam”(1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abadke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasanini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F.Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese andArab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal.159). Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, IslamComes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk keNusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertamatahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secaradiam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertamatahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dariMakkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok,sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisirSumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3)San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman KhalifahUtsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent,Asia Tengah. Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dariMadinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah hulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391). Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakiniberdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk paraal-Huffadz atau penghapal al-Qur’an. Menengok catatan sejarah,pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasaatas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbedadari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkanwaktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya. Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abaditu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun.
Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalahtahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syaratmendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung diatas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalibr. A.. Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga. “ Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin. Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai iorang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi moni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakanbahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saatkepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelangabad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yangmenjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas,Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje ,karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada ditengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera. Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusatperdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya diselatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yangmelanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa. Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh ,baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian,bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinar cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.

Gunung Padang versi Sumedang?




SITUS CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG
BATU TONGGAK DI GUNUNG CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG SELATAN,

SITUS BCB-KAH ATAU SEKEDAR HASIL PROSES GEOLOGI SEMATA ?

1. Kearifan Lokal

Pepatah mengatakan “Lain Lubuk Lain Ikannya, Lain Padang Lain Pula Belalangnya” , ungkapan peribahasa yang menunjukkan betapa tajamnya nenek moyang kita di dalam mengngungkapkan masalah anekaragam data istiadat masing-masing daerah pada berbagai wilayah di (Kepulauan) Nusantara ini.

Secara sadar ataupun nirsadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atu menilai daerah (baca: etnis) lain di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang bersifat ‘mukti etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda–beda pula, baik dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur tradisionalnya.

Berbicara tentang fenomena warisan aktivitas kebudayaan di Tatar Sunda (BCB), secara langsung berhadapan kepada berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental:


- Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam, atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan? Ataukah harus diteruskan dengan pertanyaan

- “Apakah kebudayaan suatu masyarakat/individu/ kelompok sosial merupakan suatu sistem yang dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan biofisika harus dianggap seragam?”

- Ataukah pula masing-masing warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum tentu sama dari satu warga ke warga yang lain ?

Layaknya pepatah kuna mengatakan “ciri sabumi cara sadesa” menyiratkan pengertian amat mendalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara mengembangkan kelengkapan ‘supraorganik’ atau perlatan ‘nonragawi’ yang merupakan perwujudan atas seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan hidupnya. Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman pola tingkah laku anggota masyarakat.

Maka dalam rangka IDENTIFIKASI SITUS sekalipun, ‘ntah yang dimengerti oleh atau secara umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang dan diselaraskan sesuai kepada latar kebudayaan tiap-tiap alam lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya.

Sebagaimana umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa Tarumanagara (protosejarah) hingga hadirnya berbagai inovasi, akrab dan mandiri dengan ciri budaya berladang dengan segenap perangkat kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat terhadap lingkungan alam dengan segala kandungannya (kesuburan), serta iklim.

Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam, sehingga mereka berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Yang selanjutnya dibakukan ke dalam konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan segala isinya yang hakekatnya adalah simbolisasi hubungan antara dirinya kepada PenciptaNYA.

2. Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan

Gunung/Pasir Reungit secara geografis (GPS) pada koordinat 06° 51’ 43”-51°43” Lintang Selatan (LS) dan 107° 53’59,9” Bujur Timur (BT) ketinggian dari permukaan laut (dpl) 525 m. Terletak di Kampung Seulareuma (dahulu Salareuma) menempati lahan tertinggi dari sekitarnya diapit dua kampung lainnya yang mengisi dataran lebih rendah yaitu Kampung Lebak Huni (sebelah barat) dan Kampung Legok Bungur (sebelah timur). Lokasi yang dirujuk berupa suatu bukit yang oleh penduduk bersangkutan disebut Pasir (Sunda: Pasir=gunung kecil) di lingkungan pegunungan Perbukitan Sumedang Selatan yang terdiri dari


Gunung/Pasir Nangtung,

Gunung/Pasir Konci, Pasir Peti,

Gunung/Pasir Ciguling,

Gunung/Pasir Palasari dan Gunung Palasari.

Di lingkungan perbukitan tersebut hingga kini terdapat Makam Kuno Karamat Eyang Jagabhaya di Gunung/Pasir Nangtung dan Batukorsi (Stonesit ) Gunung/Pasir Ciguling.

Pasir Reungit merupakan salah satu bukit (Pasir) di lingkungan Sumedang Selatan yang kini dalam kondisi digali khususnya lereng dan dinding bukit bagian selatan (menghadap jalan raya Sumedang–Bandung). Penggalian berkaitan dengan usaha penambangan sumberdaya bahan bangunan rumah dan alat-alat sehari-hari diprakarsai oleh Perusahaan Bangunan CV. Stone-House. Sekitar 50 % lahan bukit bagian selatan nampak terbuka oleh hasil pengupasan sengaja pihak perusahaan bersangkutan, dan memperlihatkan sejumlah besar bongkahan batu dengan bentuk khas berupa sejumlah besar tonggak dengan ukuran yang spektakuler.



Dari catatan ringkas (arsip PolWil Priangan) tentang Gunung/Pasir Reungit diberikan oleh seorang bernama Rohman (Bojongmenje-Cangkuang, Rancaekek, Bandung) yang berkunjung pada 17 Oktober 2002. Ia membuat catatan ringkas (arsip Polwil Priangan BripKa.Asep Harijadi) tentang Gunung/Pasir Reungit atas dasar apa yang dilihatnya dengan dilengkapi keterangan wawancara dengan sesepuh penduduk setempat bernama Aki Jenar (87 tahun). Selain bongkah batu tonggak di Gunung/Pasir Reungit ditemukan terowongan dari sungai Cipeles yang menembus hingga ke Pasir Reungit, di dalam terowongan ada jalan berupa teras-teras undakan yang disusun menuju ke atas bukit, dan berfungsi sebagai pintu gerbang.

Disebutkan oleh Aki Jenar kepada Rochman bahwa pada tiap-tiap bulan (Islam) Maulud dan bulan Rajab khususnya di malam Jum’at di puncak Gunung/Pasir Reungit ini kerap muncul cahaya berkilauan seperti cahaya lampu neon. Maka Rochman menambahkan pada bagian akhir catatannya gunung/Pasir Reungit adalah “situs”:


1) ada keajaiban berupa cahaya pada lahan tertinggi Gunung/Pasir Reungit;

2) ada lubang berupa terowongan dari Sungai Cipeles hingga tembus ke lokasi tumpukan batu–batu

di atas, dan batu-batu yang berbentuk “persegi” adalah buatan manusia.

Keterangan yang sama diperoleh dari penduduk bernama Sukandar (43 tahun), ketika ayahnya masih hidup (Juned bin Juned meninggal dalam usia 74 tahun) menceritakan Pasir Reungit semula leuweung geledegan – hutan rimba mulai digali dan diketahui mengandung batu-batu tonggak ketika pada tahun 1954 membuka lahan ini untuk pertanian. Pada bagian selatan lahan kawasan Pasir Reungit terpotong jalan raya Sumedang-Bandung terdapat irigasi (sungai) Cipeles guna mengairi lahan permukiman dan persawahan penduduk Kampung Seulareuma. Diantara irigasi menuju lahan Pasir Reungit terdapat terowongan tanah yang menembus hingga ke bagian dalam Pasir Reungit.

Dari kondisi yang telah ditampakkan CV Stone-House Gunung/Pasir Reungit mengandung sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak dalam jumlah besar; yang ketika digali posisinya demikian tersusun rapi, jenis batuan andesit yang keras dan kokoh, dan berwarna hitam. Maka permasalahan yang hadir “apakah kawasan Pasir Reungit ini hasil karya manusia (artefak) ataukah hadir semata karena gejala alam?”

Karena alasan kondisi inilah pihak keamanan setempat yang berwenang di wilayah Pringan Timur – PolWil.Priangan dipimpin (KaPolWil.Priangan) Kolonel Anton, menimbang dan mencurigai kemungkinan tidaknya Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan sebagai “Situs Bersejarah”.

Menegaskannya, perlu Tenaga Ahli yang secara profesional memiliki latarbelakang pengetahuan disiplin ilmu bersangkutan. Bersamaan dengan itu penyidik dari pihak PolWil Priangan mengundang beberapa Tenaga Ahli (Ilmuwan) dari berbagai disiplin ilmu, yang khusus dimintai pendapatnya tentang identifikasi dan status Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam yang tampak sebagaimana adanya kini.

Keterangan disampaikan beberapa oleh Tenaga Ahli tersebut direkam sesuai proses verbal menurut pihak Kepolisian Wilayah dan disimpan sebagai bukti saksi (istilah penyidik PolWil) atas status Pasir Reungit. Secara lisan diterangkan oleh Kompol Elman Limbong (salah seorang penyidik PolWil.Priangan) bahwa pihak PolWil.Priangan belum memperoleh ketegasan tentang status Gunung/Pasir Reungit.


Permasalahan yang menanti jawaban adalah identifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan seluruh kandungan sumberdayanya yang dinilai cukup mencurigakan itu apakah dapat dikaitkan dengan warisan aktivitas budaya yang disebu “SITUS” atau harus dipandang sebagai gejala alam hasil proses geologis semata?

Penggalian CV.Stone House telah menampakkan Gunung/Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam berupa bongkah-bongkah batu andesit yang berbentuk tonggak dengan ukuran sangat besar dan kokoh. Lahan bukit yang telah ditampakkan tersebut sekitar 50 %, beberapa dintaranya dibaringkan di bagian bawah bukit di halaman rumah milik Ade Rahmawati (30 tahun), satu-satunya bangunan rumah yang berada di lereng Pasir Reungit; sebagian besar lainnya lagi masih berada pada tempatnya (intax sesuai matrixnya).

Sejumlah besar batu yang telah nampak ditemukan sebelum dijadikan tambang bangunan telah

banyak dipergunakan penduduk setempat selain dijadikan bahan bangunan rumah mereka, juga

untuk menyanggah tebing sungai (Cipeles). Pemanfaatan batu-batu tonggak baik oleh perusahaan maupun masyarakat setempat karena jenis batunya sangat keras tidak mudah retak meskipun dibanting dan dijatuhkan dengan keras, namun belakangan Perusahaan CV.Stone-House menggunakan mesin berat dan besar yaitu Buldozer yang kini masih terparkir di halaman rumah penduduk.

Ketika diamati lebih seksama batu tonggak memiliki bentuk hampir serupa namun dengan ukuran tinggi dan diameter berbeda-beda. Batu-batu tonggak yang masih terletak utuh pada tempatnya, berposisi “seakan-akan’ sengaja disusun berbaris dan menyandar pada dinding (lereng) Gunung/Pasir Reungit dengan tatanan yang cenderung miring 60° ke arah timur. Dari pengamatan Batu Tonggak yang telah dipindahkan dan berada di halaman rumah penduduk, ujung badan bagian bawah (menempel ke tanah) bentuknya rata “seperti usai dipangkas” sedangkan ujung badan bagian batu tonggak yang menghadap atas bentuk- nya “kerucut semu” seperti sengaja dipangkas kasar. Ukuran panjang batu-batu tonggak berkisar antara 7 – 8 m; sedangkan diameternya antara 60-70 cm.



Pada bagian lereng bawah Gunung/Pasir Reungit (dibawah susunan batu tonggak) masih terhampar kerakal andesit dan kericak sebagian masih tersusun rapih seperti lantai dan sebagian lagi terserak bercampur kerikil (kerikcak). Dibalik dinding susunan batu tonggak ditemukan tatanan batu lainnya seperti “susunan kue lapis” yang mengisi bagian dalam Gunung/Pasir Reungit.

Lahan paling atas tatanan batu tertutup tanah dengan partikel padat sekitar 50 cm dari batas tatanan batu, diikuti hamparan pasir pada bagian permukaan. Bagian selatan kawasan Gunung/Pasir Reungit kurang lebih 1-1.5 km mengalir sungai besar disebut Cipeles, aliran sungai tersebut mengalir arah timur-barat dan bermuara di Cimanuk.


Diantara dinding ruas jalan (Sumedang – Bandung) dan sungai Cipeles terdapat sungai irigasi yang sekaligus menjadi batas lahan Gunung/Pasir Reungit. Pada lahan ini ditemukan lubang terowongan (diameter terowongan 80-100 cm) Kendati besaran ukurannya cukup untuk dimasuki manusia, namun keadaannya kini telah terisi tanah dan bahkan kerap berisi air dan dihuni binatang (sero) sehingga sulit untuk diamati.

Hasil pengamatan terhadap Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan menunjukkan:

- lahan terbuka yang masih intax lekat pada matrixnya, dan yang tidak mungkin dipindahtempatkan

atau diubah oleh manusia

- Mengandung sumberdaya alam sangat potensial berupa batu andesit dari bahan yang sangat keras

juga dari berbagai bentuk diantaranya bentuk tonggak dalam jumlah yang sangat banyak memenuhi

bukitnya; kerakal dan kerikil juga dengan jumlah yang banyak; kandungan pasir dan tanah

- Gunung/Pasir Reungit terletak di lingkungan pegunungan atau perbukitan yang masih termasuk ke

dalam jajaran pegunungan Dataran Tinggi Parahiyangan


- Didekatnya mengalir sungai besar Cipeles yang bermuara di Cimanuk

Dapat disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan lebih merupakan lingkungan dengan kandungan batuan, tanah, air dan tetumbuhan sebagai sumberdaya aalm yang dibutuhkan oleh manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang bukan merupakan ciptaan atau dibuat oleh manusia, namun berkenaan dengan upaya dan usaha kehidupan berkebudayaan, manusia sebagai makhluk historis manusia memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dan tinggal dalam lingkungan dengan seluruh kandungan sumberdaya tersebut, sebagaimana adanya sekarang. Lalu bagaimana situasi dan kondisi pemanfaatan lahan Gunung/Pasir Reungit dan keberada- annya? Ke dalam pengertian Gunung/Pasir Reungit di dalam tatanan ruang budaya Sumedang Larang sejak awal hingga sekarang?

Karena manusia di dalam upaya memanfaatkan lingkungan pada dasarnya selalu mempertimbangkan pemilihan lahan atau lokasi dari manusia menempatkan dirinya dalam suatu lingkungan fisik. Pertimbangan ini mencerminkan bahwa dalam batas-batas tertentu masyarakat mengikuti aturan umum yang berlaku (normative), sehingga tidak berperilaku acak dalam memilih suatu lahan atau lokasi pemukiman, melainkan berpola, maka pemolaan aktivitas manusia tercermin pada keruangannya, waktu dengan ciri dan karakter budaya dalam suatu lingkungan tertentu.

3. Apakah yang disebut Situs, Bagaimana Kaitannya dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan ?

Seorang pakar Arkeologi Prof.Dr. Moendardjito di dalam salah satu artikelnya berjudul “Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi” salah satu makalah di dalam Laporan Pelaksanaan Workshop Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan Percandian Situs Batujaya, Kabupaten Karawang” (Cikampek, 15-19 April 2002), Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalan Jawa Barat, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Tahun 2002 (8 halaman).

Mengemukakan secara rinci tentang apa dan bagaimana ketentuan suatu SITUS kedalam pengertian Arkeologi, pada lembar 3 aliena 10 ia menuturkan, sebagai berikut: “Nama Situs di Indonesia pada umumnya diberikan menurut nama lokasi administratifnya, meskipun tidak konsisten. Kadangkala menurut nama kampung, atau nama desa, kecamatan, dst. Seringkali juga menurut nama yang diberikan penduduk . . . Perlukah kita memberi nama secara sistematis seperti sekarang, atau kita memberi nama dengan cara lain, atau membebaskannya menurut keinginan masing-masing peneliti, perencana, atau penduduk.

Tingkat pengetahuan mengenai isi situs bertambah ketika mendalaminya, sehingga penamaan yang diberikan seringkali jadi berubah. Misalnya bukit yang dinamakan penduduk sebgai Unur Jiwa selanjut nya oleh peneliti menyebutkannya situs Unur Jiwa, setelah dilakukan penggalian dan ditemukan candi, peneliti menyebutkannya situd Candi Jiwa.

Tetapi mungkin ada peneliti yang menamakannya situs Segaran I karena berada di wilayah administratif Desa Segaran. Mungkin ini menguntungkan dari sudut pengelolaan secara administratif. Namun kerugiannya, jika desa tersebut berganti nama, akan menimbulkan permasalahan baru…”

Disebutkan bahwa kata ‘situs’ di Indonesia menimbulkan kerancuan dalam pemakaiannya, karena tidak konsisten dengan prinsip taksonomi keruangan yang sifatnya hirarkial. Untuk kota kuna Trowulan misalnya dengan luas 9 x 11 km ditnamakan ‘situs’ dengan tambahan keterangan yang menunjukkan keistimewaannya sebagi situs yang luas sebesar kota, yaitu ‘situs kota’ (city-site, urban-site).


Istilah ini memang tidak salah benar karena ada dalam kepustakaan arkeologi. Hal ini mungkin disebab kan selama kita menganut definisi situs sebagai ‘sebidang lahan yang mengandung atau diduga meng andung tinggalan arkeologi’, tanpa merinci kompleksitasnya, dan keluasannya (apakah 1 meter persegi atau 1 hektar persegi),kepadatan penduduknya,dsb.

Penggunaan definisi tersebut di tasa tidak hanya dipakai di kalangan arkeolog-peneliti, tetapi juga arkeolog-pelestari sebagaimana tersurat dalm Undang Undang tentang Benda Cagar Budaya Tahun 1992. satuan ruang yang dinyatakan dalam undang-undang tersebut hanya ‘situs’, bukan ‘kawasan’. Kini, sudah ada upaya untuk memasukkan istilah, pengertian dan konsep ‘kawasan’ di dalam wacana para arkeolog Indonesia, tetapi belum dalam perundang-undangan…”

Moendardjito (2002:4) memperjelas keterangannya:

bahwa pengertian ‘kawasan arkeologi’ secara sederhana diartikan ‘sebidang lahan yang relatif luas, yang mengandung sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan (spatial clustering sites), seperti kawasan Batujaya dan Pakisjaya tidak hanya berdekatan dal hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam hal bentuk (form), dan waktu (time).

Situs-situs yang berada dalam ‘kawasan’ tersebut dapat mengandung warisan aktivitas budaya (baca: arkeologi) yang sejenis atu aneka jenis, semasa atau lintas masa, tunggal atau banyak atau multi- componentsites, besar atau kecil. Di situs-situs itu juga terdapat sejumlah warisan aktivitas arkeologi berupa bangunan dan fitur, artefak, ekofak dan lingkungannya.

Menurutnya, di berbagai bagian dunia lain para arkeolog ‘Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi’ dikatagorikan dalam empat satuan ruang dengan berdasarkan kepada keluasan atu kompleksitasnya:

1) satuan ruang ‘situs (site)’;

2) satuan ruang yang lebih luas dari situs yaitu ‘locality’;


3) satuan ruang yang lebih luas dari locality, yaitu ‘region’ dan

4) satuan ruang yang lebih luas dari region, yaitu ‘area’.

Namun di Indonesia ‘region’ dan ‘area’ disepadankan dengan istilah ‘kawasan’ atau ‘wilayah’ dipakai secara bergantian (rancu) di dalam tulisan-tulisan berupa laporan atau makalah/artikel; sedangkan

‘daerah’ dipakai sebagaimana adanya kini,

ada juga istilah ‘mintakat’ untuk menyepadankan ‘zona’ :

Ada ‘Zona I’ atau ‘Zona Inti’ yang merujuk kepada ’sanctuary area’;

‘Zona II’ atau Zona Penyangga yang merujuk kepada’buffer area’;

‘Zona III’ atau ‘Zona Fasilitas’ yang merujuk kepada ‘facility area’ zona merupakan daerah sarana penunjang;

di luar zona-zona atu mintakat-mintakat tersebut adapula ‘Zona IV’ atau ‘Zona Lansekap Sejarah’


yang merujuk kepada ’historical landscape’ tentunya dimaksudkan untuk mempertahankan lingkungan

Mengacu kepada paradigma ‘situs atau lahan situs’ yang diajukan Moendardjito tersebut, disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan dengan situs-situs yang terletak diselilingnya berada dalam lahan yang tidak berjauhan, lahan-lahan yang secara tegas disebut ‘situs’ dengan posisi ‘mengelilingi’ dengan mengambil pusat lahan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan, maka:

1. Situs Sanghyang Kolak di Gn. Palasari 1349.27 m

2. Situs Batu Lingga Cikondang di Kampung Cikondang , Desa Pasanggrahan Baru (524m)

3. Situs Batu Kursi di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana (1641.61 m)

4. Situs Geger Hanjuang (Patilasan Kraton dan Makam Sunan Guling) Kampung Ciguling, Desa

Margalaksana (1651.27 m)

5. Situs Cadas Gantung di Kampung Pasirpeti , Desa Margalaksana (1404.61 m)

6. Situs Patilasan Ibukota Sumedanglarang di Kampung Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan


(1358.78 m)

7. Situs Makam Prabu Pagulingan raja Sumedanglarang ke-4 di Kampung Nangtung,

Desa Ciherang (1291.07 m)

8. Situs Makam Bagus Suren di Kampung Jamban, Desa Girimukti (594.25 m)

Kedekatan antar ‘situs-situs’ tidak hanya ditunjukkan dalam keruangan (space) juga bentuk (form) dan waktu (time) yang secara ringkas :

- Skala ruang ditunjukkan oleh jarak yang tidak lebih dari 2 km (jarak yang cukup dekat) terletak pada delapan arah mata angin, dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan berada ditengah-tengah ‘situs-situs’ tersebut;

- Skala bentuk ditunjukkan oleh pemanfaatan batu-batu alam dengan bentuk yang sangat alami dengan “mengimposisi kepada lingkungan alam’. Seperti kenyataannya di Pasir Reungit terdapat singkapan lava bersifat basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint), oleh penduduk setempat disebut Batu Tonggak dan diyakini batuan andesitis. Kekar kolom (columnar joint) ini lazim terbentuk di daerah gunung api, hasil pembekuan magma yang keluar ke permukaan yang disebut lava. dengan bentuk yang bervariasi segilima, segienam ataupun segi delapan dengan arah kolom yang dapat berdiri/tegak, miring maupun rebah, tergantung dari arah dan pola aliran lavanya.

Dengan adanya kekar kolom, maka diketahui arah aliran lava, karena arah aliran lava tegak lurus dengan sumbu memanjang dari kolom kedudukan kekar kolomnya berdiri, meski miring sekitar 60o.

Di Situs bekas Ibukota Sumedanglarang di Ciguling terdapat batuan basaltis dengan kedudukan terguling/rebah, yang bertumpuk sejajar dan searah, yang pada dasarnya juga merupakan kolom-


kolom dari lava basaltis.

Yang perlu dipelajari secara rinci adalah, apakah penumpukan tersebut merupakan hasil karya leluhur Kabuyutan, atau secara alami.

Jika penumpukan tersebut hasil karya leluhur, sangat mungkin bahannya diambil dari daerah sekitar yang tidak jauh, sebagaimana disebutkan seluruh tempat terdapatnya situs-situs merupakan batuan lava basaltis dengan struktur kekar kolom (columnar joint). Namun jika penumpukan dengan kedudukan terguling/rebah adalah hasil kegiatan alam, artinya terdapat pola dan arah aliran lava yang berbeda dengan di Situs Batu Nantung, karena menghasilkan pola kekar kolomnya tidak berdiri/ tegak seperti tonggak, melainkan terguling/ rebah.

Demikian pula penamaan situs di daerah ini oleh masyarakat Sunda Sumedang masa lampau (Kabuyutan) sebagai Batu Nantung (Batu Tonggak/Berdiri) sangat sesuai dengan keadaan alam,

batuan di situs tersebut berdiri tegak, atau Batu Tonggak memang terbentuk secara alamiah sebagai hasil pembekuan lava basaltis di permukaan, hasil kegiatan volkanisme pada Kala Plestosen (sampai sekitar 1,5 juta tahun yang lalu).

Batuan lava basaltis yang membentuk kekar kolom kiranya dimanfaatkan oleh Kabuyutan yang kini dapat dimaknai sebagai situs budaya masa lampau seperti di Situs Batu Menhir di Cikondang, Situs Ciguling, Situs Petilasan Kraton dan Situs Bagus Suren di Desa Girimukti. Selurus situs–situs itu terletak di suatu daerah bukit atau perbukitan yang diketahui jelas adanya suatu tubuh kekar kolom dari batuan basaltis digunakan Kabuyutan untuk kepentingan tertentu berhubungan sesuai nilai kehidupan kala itu.

- Skala waktu (time) ditunjukkan oleh sejumlah data tertulis (textual data) yang terdiri dari naskah prasasti, naskah karyasastra dan tradisi tutur — hisdtoriografi tradisional yang mengetengahkan peristiwa kontemporer Pasir Reungit selaras zamannya. Digunakannya sumber tertulis dalam rangka mengidentifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah sesuai sifat dan data Arkeologi yang didapat dengan melakukan pendaftaran, pencatatan dan pemugaran kemudian membahas masalah-masalah yang ada dibalik data kontekstual (artefak-artefak).

Akan tetapi penafsiran terhadap artefak-artefak atau data kontekstual selalu dilakukan kepada penjelasan-penjelasan sumber tertulis (data tekstual). Karena Arkeologi, disamping sebagai bidang

ilmu yang berdiri sendiri juga dipandang bagian pengkhususan dari Antropologi, maka permasalahan perkembangan seni dalam kedua bidang tersebut didekati dengan cara yang sama.


Di belahan dunia lain Arkeologi sebagai bidang ilmu sebagian besar meliputi masa Prasejarah, maka warisan aktivitas budaya dipelajari tidak mengandung data tekstual (sumber tertulis). Dengan demikian penafsirannya bersandar pada analisis artefak dengan berbagai cara, ataupun pada analogi dengan data Etnografi. Di Indonesia membahas Arkeologi mengggunakan pendekatan 1) Arkeologi Prasejarah dan pendekatan Antropologi, 2) Oudheidkundige dan Art History.

Dalam hal inilah Oudheidkundige memberikan penjelasan mengenai artefak-artefak seni kuna meng- gunakan data tekstual berupa sumber-sumber tertulis yang memberi keterangan-keterangan pemikiran, khususnya tentang gagasan-gagasan keagamaan yang nyata dan secara faktual melandasi karya- karya seni tersebut. Sumber tertulis terutama digunakan untuk meletakkan suatu karya dalam titik waktu tertentu (kronologi) dalam tatanan Sejarah Kebudayaan.

4. Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah ‘Datum Point’ Kabuyutan (Ceremonial Center): Gerbang (Madyapada) Yang Berlaku Dalam Unsur Keyakinan Keagamaan Masyarakat Tatar Sunda

Tatanan mengelilingi dengan pusat (puseur) di Gunung/Pasir Reungit adalah sesuai konsep Sang Sewasogata, Gunung/Pasir Reungit merupakan Pancatantramantra (lima unsur halus), yang secara

gaib terdiri dari tujuh susun berupa kesirnaan/lenyap, tujuh susun bersuasana sunyi/hampa. Sedangkan di bagian selatan terletak Situs Batu Pangcalikan, simbol sakala (alam dunia) “Bhuhloka/Madyapada”(dunia tempat manusia).

Secara horizontal tatanan Gunung/Pasir Reungit dan situs-situs di sekitarnya yang mengilinginya di arah delapan mata angin merupakan pancer sebagai tonggak dangiang layaknya sarang lebah di

dunia nyata “jagat leutik/buana leutik”; dan secara vertikal melambangkan jagat gede/jagat

ageung- alam semesta sesuai Kropak 422 dan teks naskah Sang Hyang Hayu, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan:

(1) susunan dunia bawah, saptapatala ‘tujuh neraka’,


(2) bhuhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan

(3) susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‘tujuh sorga’ bhuwarloka.

Tempat di antara saptapatala dengan sapta-buana itulah yang disebut madyapada, yakni pratiwi ‘dunia tempat manusia’. Senarai konsep tata ruang masyarakat Sunda yang secara kosmologis selalu bersifat triumvirate ‘tiga serangkai, tritunggal’.

Dalam tatanan tersebut, Masyarakat Sunda mencari makna dunia menurut eksistensinya: menyangkut keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun dikecualikan. Artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.

Di sini Gunung/Pasir Reungit atau Cadas Nangtung Pasanggrahan ataupun Selareuma merupakan Madyapada ‘bhuwarloka’ yang menjadi jembatan (Sunda: rawayan) batas antara alam pratiwi ‘dunia manusia’ atau bhuhloka menuju ke Swahloka atau buana. Dinamai Selareuma bukanlah semata mengacu pada ucapan asal-asalan dan semen-mena, melainkan tetap harus dikembalikan konsep dasar kosmologi Sunda.

Dijelaskan istilah selareuma secara morfologi terdiri atas dua kata, yakni sela dan reuma. Kata sela dalam bahasa Sunda artinya ‘celah atau jarak antara dua benda terpisah’, homofon dengan kata séla yang artinya ‘batu’. Kata reuma adalah varian bentuk dari istilah huma artinya ‘lahan perladangan/ perkebunan’, homofon dengan kata réma artinya ‘jari-jemari atau ujung rambut’ (R. Satjadibrata: KBS, 1954; Panitia Kamus LBSS: KBS, 1990; R.A. Danabrata: KBS, 2006).

Demikian pula istilah sela dikenal dalam bahasa Jawa berarti ‘sela, bersela, lapang, senggang’, sedang kan kata séla artinya ‘batu, kemenyan, intan, pelana, sela, ringka, ringga (gajah)’ (Prawiroatmojo, BJI. 1981). Dalam bahasa Jawa Kuno, sela dapat diartikan ‘selang, celah, antara; sedangkan séla adalah ‘batu’ (Mardiwarsito, KJKI. 1978; Zoetmulder, OJED. 1982). Akan tetapi Baik dalam bahasa Jawa masa kini maupun bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan kata réma juga reuma atau pun huma.

Namun secara morfologi ditemukan bahwa dalam bahasa Sunda, kata Selareuma artinya ‘celah atau jarak di antara lahan perladangan atau perkebunan’; atau sélareuma ‘batu atau bebatuan di lahan perladangan/perkebunan’. Selaréma juga merujuk arti ‘celah atau jarak antara jari-jemari atau ujung rambut’; sélaréma artinya ‘batu atau bebatuan bercelah seperti jari-jemari/ujung rambut’. Dengan demikian, istilah selareuma, selaréma, juga selahuma merupakan bentukan kata asli dalam bahasa Sunda.

Selareuma atau sélareuma identik dengan selahuma mengandung pengertian sebuah tempat ladang bebatuan yang tegak berderet bagaikan jari-jemari; sementara itu istilah pasanggrahan secara morfologis terdiri atas kata dasar sanggrah yang artinya ‘menyimpan sementara (barang atau orang) sementara waktu’ mendapat gabungan awalan pa- dan akhiran –an yang berfungsi membentuk kata tempat atau lokasi. Jadi pasanggarahan artinya ‘tempat atau rumah peristirahatan sementara untuk bermalam para pejabat atau tamu penting’.


Senarai data tekstual (sumber tertulis) dan data kontekstual (data arkeologi) kini nyata bahawa Gunung/Pasir Reungit – Selareuma – Pasangggrahan merupakan tempat sementara persinggahan

“axis mundi” karena itu Selahuma (baca : Selareuma) dalam Serat Purusangkara disebutkan sebanyak 25x penyebutan, pada bagian yang menyebutkan istilah Selahuma merujuk pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris. Istilah yang sangat Sunda mencakup berbagai makna yang teramat dalam yang merujuk kepada kegiatan berladang (agraris) di dalam melangsungkan kehidupan sehari-hari (sensorable-message) yang juga dipakai untuk menamai hingga ke alam kalanggengan (unsensorable-message).

Gunung/Pasir Reungit adalah ‘AXIS MUNDI’ alam sela/Madyapada, dan bukan kebetulan pula jika bentuk-bentuk tonggak batu menjulang “menhir” ini disediakan alam (proses geologi), sesuai konsep kepercayaan Sunda, layaknya untaian reuma ‘alam celah’ pemberhentian sejenak, perjalanan jiwa/sukma/roh selanjutnya menuju ke alam lebih tinggi yaitu buanasapta atau saptaloka yang dalam tatanan Kabuyutan Sumedanglarang adalah Gunung Tampomas.

Alam sementara atau alam sejenak adalah adalah alam gaib yang dalam Serat Purusangkara disebutkan sebagai berikut:

“. . . Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan (Hal.135) Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua keturunan Wisnu”. Sanghyang Girinata bertanya kembali, “Mengapa sampai tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya . . . ”

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Sanghiyang Girinata, Sanghiyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghiyang Kala dan Sanghiyang Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam naskah Sang Hyang Hayu termasuk alam saptabuana atau buanapitu. Artinya bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya.

Tidak perlu dipertanyakan dan diragukan mengapa pada lahan Gunung/Pasir Reungit tidak ditemukan artefak (hasil buatan manusia) kecuali benda-benda yang merupakan sumber daya alam. Artefak-artefak (situs-situs) ditemukan justru berada dan terletak disekeliling Gunung/Pasir Reungit. Karena Gunung/Pasir Reungit merupakan lahan dalam kosmologi Sunda merupakan gerbang ke alam Kahiyangan sebelum menuju ke Gunung Tampomas.

Selaras pemilihan dan penmpatan lahan lingkungan (ecological factor:faktor ekologis) sebagian besar Kabuyutan Tatar Sunda menempati lahan gunung, bukit-bukit, atau dataran-dataran tinggi di lingkungan pegunungan; juga dekat aliran atau pertemuan sungai besar; juga bentuk dan konsep continuity, bangunan kabuyutan dilandasi kepercayaan yang dianut masyarakat dengan budaya Megalitik yakni penghormatan kepada leluhur.

Lahan-lahan ekologis yang dipilih tersebut merupakan pusat atau sumber dan sarat dengan


kandungan daya dalam menunjang sarana kehidupan manusia, tidak hanya berlaku bagi

bangunan suci, juga hunian sekaligus mencerminkan landasan keyakinan pokok yakni menghormati leluhur (Karuhun; Rumuhun) yang diistilahkan Hiyang.

Para pakar sependapat bahwa pengaruh India di Nusantara identik dengan hadirnya agama Hindu-Buda ditandai oleh sejumlah besar bangunan dengan latar keagamaannya, mengakibatkan kekunaan sejarah selalu diukur dan dinilai melalui penetrasi kebudayaan Hindu-Buda. Mengesankan seakan-akan seluruh masyarakat Nusantara memeluk Hindu-Buda padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Seorang sarjana Belanda bernama C.M.Pleyte (cf. Danasasmita l975:37) pernah menegaskan: ““Hinduisme i.e. Sivaism made its entry into the Pasundan but wether it ever became popular

is rather doubtful, as not more about half a score of images belonging to the Sivaitic pantheon have been discovered, whilst such temples and monasteries as ain Middle and Eastern Java sought for in vain. It is fair to conclude therefore, that while a few of the native princes did perhaps adopt the foreign religion, the bulk of the population remained true to their original creed founded on animism and ancestor worship”.

Sejak awal Masyarakat Sunda akrab dengan kehidupan berladang dan identik dengan sebutan masyarakat peladang tidak memberi peluang subur untuk pertumbuhan kultur Hindu melainkan sebaliknya tradisi megalitiklah yang tetap bertahan sebagai esensi dari kehidupan spiritualnya.

Leluhur (hiyang) adalah unsur pemujaan tertinggi yang mewarnai pusat-pusat keagamaan

(kabuyutan) di Tatar Pasundan, Jawa Barat.

Kabuyutan merupakan khas carek masyarakat Tatar Sunda yang dituliskan di dalam beberapa sumber tertulis, diantaranya karyasastra Kabuyutan ti Galunggung dan piagam resmi kerajaan sebagai Piteket dang dikeluarkan oleh Sri Baduga Maharajadhiraja Sri Sang Ratudewata. Raja yang untuk kesekian kalinya memimpin dan mempersatukan pusat Kerajaan Galuh (wetan–kidul) dengan pusat Kerajaan Sunda (kulon-kaler) ke dalam satu panji kekuasaan mutlak Pakwan Pajajaran.


Kedudukannya sebagai ‘maharaja’ inilah yang membuatnya memiliki kedudukan mutlak sebagai pemimpin politik dan pemimpin keagamaan. Karena itu beliau bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan alam dan segenap rakyatnya, diantaranya dengan membuat ‘piteket’ mengamankan seluruh gunung sebagai sumberdaya alam dimana di dalamnya terdapat (ditempatkan) bangunan suci kerajaan ‘khas’ Sunda yakni Kabuyutan yang tersebar di seluruh wilayah kekuasaannya.

Berkaitan kepada konsep yang hingga kini tetap diberlakukan dengan ketat pada komunitas Kanekes (Baduy di Banten Selatan) bahwa ngabaratapakeun nusa “apa yang telah dianugrahkan oleh Sang Cipta tidak boleh dirubah melainkan harus diperlakukan dan dipulasara sebagaimana adanya, tanpa merubah apalagi dengan mengeksploitasinya”. Maka Kabuyutan di Tatar Sunda selalu mengimposisi kepada lingkungan dan bukan memodifikasi, jikalaupun ada atau diperlukan perubahan akan dilakukan seperlunya tanpa merusak tatanan aslinya.

Kabuyutan dengan corak tradisi Megalitik adalah representasi pengulangan tingkah laku ke dalam simbol-simbol keagamaan yang khas Sunda. Bangunan keagamaan didirikannya dengan ciri dan karakter sesuai latar belakang budayanya. Sebagaimana istilah kabuyutan identik dengan istilah Sunda Wiwitan, ajaran yang menjadi landasan dasar paling azasi dan mewarnai sebagian besar warisan aktivitas budaya Tatar Sunda.

Rangkaian tingkahlaku yang secara ”nirsadar” telah terbentuk dari endapan pengalaman pribadi di masa lampau, dengan dipilihnya corak tradisi megalitik, tiada lain adalah penstrukturan kepribadian sejalan motivasi dan kemampuan. Di dalam upaya Masyarakat Tatar Sunda menjembatani diri, memberi arah kehidupan sesuai tuntutan sosial budaya keagamaan.

Continuity kentalnya tradisi megalitik pada hakekatnya mencerminkan perilaku kognitif kesinambungan pengakuan peran leluhur terhadap keberadaan kehidupan dunia. Dengan kata lain kabuyutan adalah kepribadian Masyarakat Tatar Sunda di dalam dimensi ruang, bentuk dan waktu.

Kiranya perlu dikemukakan bahwa tidak satu kata maupun istilah yang pernah disebut dalam seluruh sumber tertulis (textual data) yang berhasil ditemukan di Mandala Sunda (Tatar Sunda), yang mencantumkan kata “Candi” untuk menyebut bangunan suci atau pusat upacara keagamaan, melainkan Kabuyutan. Istilah logis mengacu konsepsi dasarnya yakni penghormatan kepada leluhur, dengan aspek dan perangkat pusat upacara keagamaan termasuk faktor keselarasan lingkungan turut dipertimbangkan sehingga memperlihatkan ciri dan karakter khas sesuai lingkup lahannya.

Bangunan keagamaan yang bentuk dan gayanya sangat jauh berbeda dengan bangunan suci pengaruh Hindu-Buda yang disebut Candi. berhasil ditemukan dicirikan oleh kemegahan artefak-artefaknya yang artifisial, bentuk yang jauh berbeda dengan bangunan keagamaaan di Tatar Sunda yang sebagian besar warisan aktivitasnya ketika ditemukan itu tidak lebih daripada sejumlah besar bongkah dan kerakal andesit berserakan, tidak tampak sebagai bangunan tertentu melainkan lahan dipenuhi batu.

Inilah ciri atau variabel yang sekaligus menegaskan khas bangunan Kabuyutan:

- selalu ditemukan pada suatu dataran tinggi, bukit atau gunung atau lahanlahan tertinggi diantara


sekitarnya yang sarat dengan sumberdaya alam

- kabuyutan merupakan mandala gaib puseur dangiang, tahta para leluhur, atau karuhun, karenanya

bukit atau gunung dimana pun berada dipercaya sebagai pusat paragi ngahiyang (parahiyangan)

- gunung, bukit atau dataran tinggi identik dengan kabuyutan itu sendiri umumnya terletak sebagai

batas desa atau batas suatu pemukiman

Bangunan Kabuyutan, di satu pihak secara tegas menggugurkan asumsi di Tatar Sunda tidak ada atau sangat jarang ditemukan bangunan keagamaan, dilain pihak memberi peluang intentitas budaya tentang bagaimana sesungguhnya Kabuyutan masyarakat Tatar Sunda pada masa tatanan pemerintahan masih bercoarak kerajaan (Monarki absolut).

Bukit/[Pasir] Reungit dengan keberadaan dan kandungan sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak tersusun rapi dengan kemiringan sekitar 60° ke arah timur. Lahannya terletak di lingkungan pegunungan termasuk dalam rangkaian Dataran Tinggi Parahiyangan yang marupakan “benteng pakidulan” dan kawasan hulu (girang) aliran sungai-sungai Tatar Sunda; seperti kenyataannya bahwa aliran (sungai) Cipeles bermuara ke timur yakni Cimanuk.

Semua tatanan fisiografis tersebut bukan semata kebetulan belaka, melainkan fakta bahwa Pasir Reungit berorientasi ke timur “Leluhur alias Karuhun” yang mengawali kehidupan. Selaras tataran waktu, sejarah mencatat raja-raja Sumedang keturunan raja-raja yang pernah berjaya di masa lalu berpusat di wetan yakni Kerajaan-kerajaan pendahulunya Talaga hingga ke GALUH yang menjadi PANGRUHUM kerajaan-kerajaan di PAKIDULAN atau PRIANGAN TIMUR.

Batu tonggak yang tersusun rapih tersebut sebagian besar menunjukkan ciri khusus yakni bagian badan yang diletakkan di bawah (di atas tanah) menunjukkan permukaan yang rata, sedangkan bagian badan mendongak ke atas berpermukaan kerucut semu “seperti bekas dipangkas kasar” bukan pula kebetulan, namun berkait kepada pola alami bahan bangunan yang secara umum ditemukan pada sebagian besar Kabuyutan di Tatar Sunda khususnya yang mengambil corak tradisi Megalitik.


Kabuyutan adalah mandala kerajaan maka setiap kerajaan selalu memilikinya., karena itu Kabuyutan disebutkan dalam karyasastra Kabuyutan ti Galunggung sebagai timbang taraju jawadwipa mandala.

Maka bukan asal berkata jikalu Warga Pribumi yang termasuk dalam katagori senior (sesepuh) yang menjabat sebagai ketua yayasan Kraton Sumedang Larang menyampaikan kepada KaPolWil Priangan Kolonel Anton (pers.com mobile: 12 November 2009) bahwa Pasir Reungit bagi masyarakat Sumedang merupakan “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.

Selaras dengan yang digambarkan oleh Pantun Lutung Kasarung: “Gunung Cupu Mandala-hayu, Mandala Kasawiatan, di Hulu Dayeuh, dina cai nu teu inumeun, dina areuy nu teu tilaseun, dina jalan teu sorangeun, sakitu kasaramunan..”

Bahkan lebih tegas dinyatakan oleh pakar Sunda (almarhum) Prof.Dr. Ayatrohaedi:

“Bangunan suci masayarakat Tatar Sunda tidak selalu harus diidentifikasi sebagai bangunan dengan artefak atau struktur seperti bangunan suci yang dimengerti masyarakat umumnya (candi); atau bangunan lengkap dengan fondasi, dinding dan atap, melainkan lahan bukit alam atau dibuat lambang suatu bukit (bukit buatan = gugunungan) dengan vegetasi hutan yang dibiarkan tumbuh alami…”

Maka sesuai kenyataannya bahwa sautu Kabuyutan selalu ditemukan pada suatu bukit, gunung, dataran tinggi di lingkungan pegunungan, sekaligus menjadi batas/ujung lahan suatu pemukiman/

hunian (hulu dayeuh) di sekitarnya, sehingga yang nampak tidak seperti megahnya “bangunan candi Borobudur” melainkan tiada lain gunung yang dipenuhi serakan batu berbagai bentuk di tengah-tengah kawasan hutan lebat. Sejauhmana dan bagaimana bentuk dan tatanan Pasir Reungit ketika masih berfungsi dan digunakan pemangku budaya, tidak dapat dijelaskan.

Jelas Gunung/Pasir Reungit dengan seluruh yang nampak ke permukaan, ditunjang letaknya di wilayah Dataran Tinggi Parahiyangan sebagai “BENTENG PAKIDULAN’ dengan tatanan alami yakni “mengimposisi” pada (alam) lahan bukit, juga kandungan benda-bendanya yang dimanfaatkan sesuai bentuk alaminya, yang merupakan variabel –varibel penunjang, maka tegas disebutkan Gunung/ Pasir Reungit adalah Situs “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.

Dalam pengertian seluasluasnya Gunung/Pasir Reungit adalah salah satu Kabuyutan Cadas Nangtung disebut:


“Mandala Kasawiatan nu aya di Hulu Dayeuh,

dina cai teu inumeun,

dina areuy teu tilaseun,

dina jalan sorangeun

sakitu kasaramunan”

Kawasan yang dahulu merupakan hutan lebat “leuweung geledegan” kondisi dan karakter lahan seperti inilah tempat dan lokasi yang senantiasa dipilih dan ditempatkan Kabuyutan bagi masyarakat Tatar Sunda sejak masa paling awal,

Berdasar pernyataan tentang BCB 1992 bahwa “dalam wacana para Arkeolog sepakat bahwa pengertian ‘situs’ sebagai kawasan adalah lahan yang relatif luas, yang berada dan mengandung sebaran sejumlah situs arkeologi yang letaknya berdekatan atau dalam satuan ruang (spatial clustering sites)…”. Gunung/Pasir Reungit dengan situs-situs Kabuyutan yang terletak di sekelilingnya (dalam bentang keruangan delapan arah mata angin) tidak hanya berdekatan dalam hal keruangannya (space), juga memiliki kedekatan dalam bentuk (form) dan waktu dalam sejarah kebudayaan Sumedanglarang”

Hasil kegiatan lapangan membuktikan pula Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori Locality Site dalam Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya lintas masa Sejarah Sumedanglarang.


5. Penutup

Kiranya, setiap situs memiliki karakter yang unik dan khas sesuai pengalaman pengetahuan budaya masyarakat pendukung yang telah dijiwai sejarah masa lampaunya, maka tidak semua situs arkeologi dapat digeneralisasi begitu saja, apalagi dengan kondisi pengetahuan si peneliti yang kerap terbatas hanya pada pilihan bidang-bidang minat spesialisasi tertentu.

Andaikan di era globalisasi saat ini masih terbersit hasrat untuk melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa silam, hal itu cukup arif, karena jika kita cermati secara seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun terdahulu yang bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa kini. Lain daripada itu, harus diakui bahwa di era globalisasi sekarang, ada kecenderungan bahwa masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya ‘pituin’ kita sendiri.

Globalisasi memang tidak bisa kita hindari, namun kita dituntut agar pandai memilih dan memilah budaya asing yang masuk, serta lebih menghargai peninggalan warisan budaya karuhun kita di atas kepentingan pribadi, karena warisan budaya nenek moyang kita jauh lebih berharga dan tidak bisa diukur dengan materi semata.

Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, karena naskah dapat dipandang sebagai dokumen budaya yang berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok sosial budaya tertentu.

Oleh karena itu beberapa hal menarik dari naskah, prasasti, maupun tradisi lisan, baik itu tuntunan moral, sistem pemerintahan, kepemimpinan, kosmologis, topografi, pandangan hidup, situs atau ‘kabuyutan’, maupun unsur budaya lain yang dapat memberi sedikit gambaran sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta kosmologis masa lampau yang masih sangat relevan untuk dicermati dan dikaji guna menunjang mengungkapakan data arkeologi yang sifatnya sangat terbatas. Maka sebagai sumber informasi, dipastikan naskah-naskah buhun termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya.

Terutama karena menyangkut isinya yang menyiratkan aspek-aspek kehidupan masyarakat meliputi kondisi sosial dan budaya, religi, teknologi, ekonomi, kemasyarakatan, pendidikan, bahasa, dan seni.

Dalam kaitan ini warisan karuhun orang Sunda disebut ‘kabuyutan’ Gunung/Pasir Reungit ada hubungannya dengan salah satu naskah Sunda berjudul Puru Sangkara yang secara faktual mengungkapkan keadaan sosial pendukung budaya tatkala ‘kabuyutan’ tersebut masih berfungsi. Ditunjang oleh tradisi lisan berupa folklore yang berkembang di masyarakat sekitar daerah tempat Gunung/Pasir Reungit berada.

Hal itu membuktikan bahwa naskah bukan isapan jempol belaka, tidak dianggap dan tidak dihargai, apalagi diremehkan keberadaannya. seluruh kabuyutan yang ada di daerah Sumedang Selatan, maka terlihat bahwa sebagian besar kabuyutan terletak di daerah perbukitan landai, dan hanya sedikit di perbukitan terjal, dan tidak ada di daerah lembah yang datar, sehingga kalau dihubungkan dengan aspek arkeologis, kosmologis, antropologis dan lain-lain, maka sangat wajar dan menunjukkan “KEHEBATAN DAN KEGENIUSAN PENGALAMAN PENGETAHUAN PARA BUYUT” YANG MAMPU MEMILIH LOKASI YAKNI KEHIDUPAN YANG MENYATU DENGAN ALAM, MEMBUAT MEREKA SANGAT MEMAHAMI ASPEK LINGKUNGAN DAN DAPAT MEMILIH DAERAH “YANG RAMAH LINGKUNGAN” UNTUK SELURUH KEHIDUPANNYA TERMASUK ASPEK RITUALITASNYA!


Dari hasil kegiatan lapangan (data kontekstual) ditunjang berdasarkan (data tekstual) kutipan teks naskah Carita Ratu Pakuan, tercatat nama Sumedang-larang (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan Cadasgantung ditulis dengan Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih Gumalasar.

Dicatat pula Sanghiyang Karang Curi yang artinya sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga Manik (tiga kali). Tegas dan nyata bahwa Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori Locality Site Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya lintas masa Sejarah Kebudayaan Sumedanglarang.

Lembah Emas yang Dihuni sejak Zaman Megalitikum


KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pulau Sumatera dalam bahasa Sanskerta disebut sebagai Svarnadwipa yang berarti Pulau Emas. Jejak kekayaan emas di Pulau Sumatera bisa dijumpai di sejumlah aliran sungai yang berhulu di Bukit Barisan, seperti Sungai Bangko di Desa Muara Bangko, Kecamatan Ranto Baek, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Selasa (21/2).

Lembah-lembah yang menghampar di sepanjang Bukit Barisan telah lama dikenal kesuburannya. Lembah ini sambung-menyambung seolah membuat garis memanjang membelah Pulau Sumatera.

Dimulai dari Lembah Semangko di Lampung, menyambung ke Suoh, Kepahiang, Ketahun, Kerinci, Muaralabuh, Singkarak, Maninjau, Rokan Kiri, Batang Gadis, Angkola, Alas, Tangse, Seulimeum, hingga Banda Aceh.

Dikelilingi gunung-gunung api tua, 11 di antaranya masih aktif, lembah-lembah ini merupakan tempat mengendapnya abu vulkanis yang kaya unsur hara. Air berlimpah dan sebagian terbendung dalam cekungan yang terbentuk akibat gerakan tanah ataupun karena letusan gunung api purba.

Danau-danau pun tercipta; lima danau di Suoh dan Danau Ranau (Lampung), Danau Kerinci (Jambi), Danau Singkarak, Danau Diatas, dan Danau Dibawah (Sumatera Barat), Danau Toba (Sumatera Utara), serta Danau Laut Tawar (Aceh).

Deretan lembah itu juga kaya dengan air panas alami dan menyimpan energi panas bumi. Berdasarkan hasil penelitian F Junghun (1854), USGS menyebutkan, sedikitnya terdapat 23 sumber air panas di sepanjang lembah Bukit Barisan yang berpotensi menghasilkan energi panas bumi. Survei yang dilakukan Geothermal Energy New Zealand Ltd pada 1986 bahkan menemukan 37 sumber air panas.

Tak hanya itu. Berimpit dengan deretan lembah, mengular "sabuk emas" yang memasyhurkan Sumatera sebagai Svarnadwipa. Kata dari bahasa Sanskerta itu berarti "Pulau Emas" seperti tertera dalam Prasasti Nalanda yang dipahat pada tahun 860 Masehi.

William Marsden, dalam bukunya, History of Sumatera (1783), menyebutkan, Sumatera pernah diduga sebagai Ophir, tempat armada Solomon (Sulaiman) mengambil muatan emas dan gading. Meski dugaan tentang Ophir menurut Marsden tak berdasar, pulau ini memang penghasil emas tiada tara.

Logam mulia ini, terutama ditemukan di kawasan tengah pulau di sepanjang Bukit Barisan seperti di Martabe, Bangko, Rawas, Lebong, dan Natal. Minangkabau dianggap sebagai daerah terkaya sehingga Belanda banyak mendirikan loji di Padang.

Menurut Marsden, di daerah Minangkabau saja terdapat tidak kurang dari 1.200 lokasi tambang emas.

"Sebanyak 283.000 gram-399.600 gram setiap tahun tersimpan di Padang, di pasar bebas, atau di tangan perseorangan. Sementara itu, kira-kira 28.000 gram dipasarkan di Nalabu, di Natal kira-kira sebanyak 23.000 gram, dan di Mukomuko 17.000 gram," tulis Marsden.

TM Van Leuwen memberikan gambaran lebih komplet soal produksi logam mulia dari Sumatera. Dalam tulisannya di Journal of Geochemical Exploration, edisi ke-50, 1994, dia memperkirakan, total emas yang dikeruk dari Sumatera sejak eksplorasi Belanda hingga 1994 mencapai 91 ton dan perak sebanyak 937 ton.

Jauh sebelum Belanda datang dan mengeruk emas dari Sumatera, perdagangan emas dari pulau ini sudah berlangsung lama. Dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2003), Marie-France Dupoizat dan Daniel Perret menyebutkan, pengelana Tome Pires pada awal abad ke-16 mencatat bahwa emas diperdagangkan di seluruh pelabuhan di Sumatera, terutama di Barus.

Pelabuhan tua di pantai barat Sumatera Utara ini telah disebutkan dalam karya Ptolomeus, Geographia, yang ditulis pada abad ke-2 Masehi.

Selain mencari kapur barus, para pedagang dari berbagai negara juga memburu emas yang banyak diperdagangkan pribumi di pelabuhan ini. Logam mulia ini diduga dibawa dari sungai-sungai yang berhulu di sekitar Bukit Barisan.

Dengan segenap kelimpahan daya hidup, tak mengherankan jika lembah-lembah ini telah lama menarik manusia untuk menetap di sana. Jejak kebudayaan batu besar atau megalitikum yang tersebar luas di sepanjang lembah ini menjadi bukti bahwa manusia purba telah bermukim di sana.

Arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni S Budisantosa, mengatakan, temuan megalitik di Pulau Sumatera kebanyakan tersebar di lembah-lembah sepanjang Bukit Barisan, mulai dari Liwa di Lampung hingga di sekitar Kerinci di Jambi.

"Misalnya, megalitik di Kerinci dan Merangin ditemukan sejajar dengan Bukit Barisan sepanjang 80 km," katanya.

Di wilayah tersebut telah ditemukan 21 megalitik berbentuk silinder, serta satu buah megalitik berbentuk bulat. Selain itu, ditemukan juga enam kompleks kubur tempayan. "Mereka memilih daerah ini, terutama karena tanahnya subur, cocok buat bercocok tanam."

Banyaknya batuan andesit, jenis batuan vulkanik, yang merupakan bahan baku megalitik, turut mendukung tumbuh suburnya kebudayaan tua ini di sekitar lembah Kerinci dan Merangin. Selain itu, dataran tinggi yang dikepung perbukitan ini juga sangat cocok untuk mengembangkan sistem keyakinan mereka. Para pendukung kebudayaan megalitik ini percaya, gunung-gunung tinggi merupakan tempat bersemayam arwah nenek moyang.

Budi Wiyana, sejawat Budi di Balai Arkeologi Palembang, juga menyebutkan alasan yang sama dengan ditemukannya sebaran situs megalitik di Lahat dan Pagar Alam, Sumatera Selatan.

"Manusia menghuni daerah ini karena subur, dan alasan praktis lain seperti dekat dengan sumber air yang melimpah dan bahan baku batuan beku andesit," kata Budi Wiyana.

Menurut Budi, tradisi megalitik yang ditemukan di kawasan ini sangat lengkap, mulai dari dolmen, menhir, arca, arca menhir, teras berundak, lumpang batu, batu dakon, dan batu datar. Berbagai peninggalan megalitik ini membuktikan bahwa kawasan itu telah dihuni manusia setidaknya sejak 2.500 tahun sebelum Masehi.

Siang itu, Budi menunjukkan deretan batu-batu besar berbentuk meja (dolmen) yang bergeletakan di persawahan menghijau di Tegurwangi, Pagar Alam. Di dekatnya terdapat empat batu besar berukir yang masing-masing mengggambarkan orang tengah mengendarai gajah.

Selain menunjukkan kemajuan budaya saat itu, berupa kemampuan menjinakkan gajah, batu berukir juga membuktikan bahwa masyarakat zaman itu sudah mengenal pengecoran logam. "Untuk membuat ukiran di batu itu, hampir dipastikan menggunakan logam," jelas Budi.

Batu-batu raksasa juga ditemukan di rimbun perkebunan kopi milik Robinson (64) di Desa Tanjung Batu, Keca Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat. Batu dolmen berukuran panjang sekitar 2 meter dan lebar 1 meter itu ditumpukkan di atas batu-batu kecil di keempat sudutnya.

Di Desa Pajarbulan, Kecamatan Tanjung Sakti, Kabupaten Lahat, peninggalan megalitik ditemukan di pekarangan belakang rumah warga. Batuan ini biasa disebut warga sebagai batu tiang enam. Arkeolog menyebutnya batu tetralit.

Kegunaan tetralit masih menjadi perdebatan para ahli. "Beberapa ahli berpendapat, tetralit merupakan landasan atau umpak tiang rumah," kata Budi. Pendapat ini muncul karena di ujung atas tiang batu itu ada semacam cerukan yang diperkirakan untuk meletakkan tiang rumah. (Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)

Misteri Asal-usul Gunung Padang Cilacap


Belum terdaftar dalam catatan Balai Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

teknik kuncian batu menguatkan dugaan struktur ini tak terbentuk secara alami (VIVAnews/Robbi)


Struktur batu tak biasa ditemukan di tengah pegunungan di Desa Salebu, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Tersusun relatif teratur dari balok-balok batu segi empat, segi lima, dan segi enam sepanjang 3 sampai 4 meter. Rebah memajang ke arah timur. Namanya Gunung Padang.


Sudah lama batuan ini dikeramatkan penduduk sekitar, dianggap peninggalan Kerajaan Padjajaran, tumpukan bahan bangunan membuat keraton timur yang urung dibikin. Keberadaan struktur batuan itu menjadi perhatian publik paska ditemukannya situsGunung Padang di Cianjur yang diduga peninggalan megalitikum dari ribuan ribu tahun lalu.


Belum pernah ada penelitian di Gunung Padang Cilacap, ia bahkan belum terdaftar dalam catatan Balai Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Belum berstatus peninggalan purbakala.

Salah satu pertanyaan mendasar tentang Gunung Padang Cilacap adalah, apakah ia merupakan buatan manusia atau terbentuk secara alami — struktur batuan beku misalnya columnar joint (kekar tiang).

Untuk membuktikan asal batuan tersebut, tim ahli geologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto akan mendatangi lokasi. Tim rencananya akan tiba Rabu sore di desa terdekat dan menginap semalam. Sebelum menuju ke lokasi struktur batuan. “Karena kami dari geologi, kami akan meneliti apakah batuan itu terjadi secara alami atau buatan manusia,” kata ahli geologi dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Muhammad Aziz kepadaVIVAnews.com.

Salah satu caranya, dia menjelaskan, menggunakan GPS mencari titik koordinat lokasi tersebut. Lalu, akan dicocokkan dengan peta geologi, apakah batuan asli berasal dari lokasi itu atau dibawa dari tempat lain. Namun, Aziz mengingatkan, apapun hasilnya nanti, itu baru satu indikator. “Perlu ada kajian dari disiplin ilmu lain,” tambah dia.


Sebelumnya, arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar menduga, tumpukan batu di Gunung Padang Cilacap tak terbentuk secara alamiah. “Batu andesit piroksen itu memang bentuknya columnar joint, yang terbentuk di dalam gunung berapi. Tapi itu kemudian dimanfaatkan manusia, terlihat ada bagian yang dipatahkan dan dihaluskan,” kata Ali Akbar, saat ditemui di Kampus UI, 29 Mei 2012.

Batu kuncian mirip permainan tetris di Gunung Padang menjadi faktor yang memperkuat dugaan itu.

Ali Akbar kemudian mengatakan punden berundak di Cilacap itu memiliki struktur dan konstruksi bangunan yang hampir sama dengan di Gunung Padang Cianjur.

Menurut dia, di kawasan selatan Jawa banyak terdapat temuan prasejarah Neolitik. “Di sekitar Tasik hingga Garut, itu juga punya tradisi Neolitik yang kuat.”

Pendapat ini bersesuaian dengan pernyataan Pelaksana Tugas Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah Zainul Azah. Biasanya di daerah dataran tinggi seringkali dijumpai situs punden berundak maupun menhir.

Untuk memastikan tentang keberadaan situs Gunung Padang Cilacap ini, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah akan mengirimkan tim untuk memeriksa dan meneliti serta melakukan pendataan situs tersebut.


Warga tak berani mendekat


Jangankan orang luar, warga sekitar tak tahu persis soal gundukan batu yang mereka keramatkan itu.

Suganda, juru kunci Gunung Padang mengatakan, warga juga tak mengetahui dari mana asal batu itu. Apalagi, tak ada gunung berapi di kawasan tersebut, yang memungkinkan pembentukan batu secara alami.
Ganda yang menjadi juru kunci sejak tahun 1980-an hanya mengetahui kisah Gunung Padang secara turun temurun, bahwa itu adalah peninggalan Kerajaan Padjajaran. Sepengetahuannya ada dua lagi gundukan batu semacam ini di lokasi berbeda.“Masyarakat sekitar tak berani mendekat ke Gunung Padang, takut, apalagi bagi mereka yang berniat jahat seperti menjarah hutan atau merusak lingkungan,” kata dia.

Yahudi Saat Ini Bukanlah Keturunan Bani Israel”



Saat ini, Yahudi, yang diduga merupakan keturunan bani Israel yang menolak Isa dan Muhammad, (semoga rahmat dan kesejahteraan dilimpahkan kepada kedua Nabi tersebut), dimana penolakan mereka tersebut berlanjut hingga kini, terbagi dalam dua kelompok yaitu kaum Sephardim dan kaum Ashkenazim. Jumlah kaum Ashkenazim jauh lebih banyak dari kaum Sephardim. Asal usul mereka sangat berbeda satu sama lainnya.

Kaum Sephardim, pada umumnya adalah Yahudi yang sejak zaman dahulu telah tinggal di Afrika Utara, Timur Tengah dan Eropa Tenggara. Dan pada suatu masa mereka juga pernah tinggal di Spanyol pada zaman muslim berkuasa disana (711 A.D- 1609 A.D), namun mereka dimusnahkan ataupun terpaksa melarikan diri pada saat pendudukan Kristiani Trinitas pada tahun 1492 A.D. Setelah ini sesungguhnya tidak ada lagi kaum Sephardim yang tinggal di Spanyol, dan banyak dari mereka yang tinggal di Afrika Utara, Timur Tengah dan Eropa Tenggara dikenal sebagai Yahudi yang berasal dari Spanyol ataupun keturunannya bukan sebagai keturunan Yahudi yang tinggal di wilayah tersebut diatas sejak zaman Musa dan Isa ataupun pada masa sebelumnya dari suku bani Israel.

Sangatlah jelas bahwa asli dari ‘Yahudi Spanyol’ adalah orang-orang yang bermigrasi dari Eropa tenggara, Timur tengah dan Afrika Utara selama pemerintahan muslim di Spanyol-namun seperti yang akan kita lihat nanti, Insya Allah-kemungkinan beberapa Yahudi dari Spanyol bukanlah imigran Sephardic dari timur, melainkan Yahudi Ashknazi dari Utara. Sejak saat itu Yahudi Ashknazi dikenal sebagai Yahudi bukan keturunan bani Israel, namun keturunan dari ‘Yahudi Spanyol’ bukan Yahudi Sephardic-walaupun pada masa ini mereka dikenal dengan nama tersebut.

Ashkenazi pada umumnya adalah Yahudi dari abad ke delapan dan seterusnya tinggal di Eropa dan terakhir di Amerika. Tidak dapat disangkal bahwa Yahudi Ashkenazi bukanlah keturunan bani Israel asli. Arthur Koestler menyebut mereka, ‘bani yang ke tiga belas’ dalam bukunya.


Singkatnya, kisah Ashkenazi adalah sebagai berikut:

Pada abad ketujuh A.D. terdapat suku Turky yang dikenal kaya dan mempunyai kekuasaan yang besar di sekitar laut mati dan laut Kaspia. Mereka dikelilingi oleh Kristiani Eropa dari utara, dan oleh Muslim dari selatan. Untuk menjaga keamanan kerajaan mereka, dan untuk alasan kebijaksaan politik semata dan bukanlah alasan-keagamaan-pemimpin mereka memutuskan bahwa seluruh suku Khazar harus menganut agama Yahudi, dengan alasan Kristiani Eropa tidak akan mengganggu mereka jika mereka menyembah Tuhan, begitu juga kaum muslimin akan memperlakukan mereka sebagai ‘ahli kitab’, dan juga tidak akan mengganggu mereka.

<>
<>
<>
Perilaku Yahudi terhadap non-yahudi
Alasan lainnya, jika mereka memilih Kristiani atau Muslim, tentunya mereka akan terlibat di dalam pertikaian yang sudah ada diantara Kristiani Eropa dan Muslim-sehingga memilh agama Yahudi adalah jalan yang paling aman bagi mereka.

Michael Rice menggaris bawahi asal usul dan sejarah Khazars di dalam bukunya Keturunan Palsu, dalam kalimat berikut

Khazar adalah salah satu suku Turki yang pindah kearah barat sebagai konsekuensi dari adanya tekanan besar di Asia, dimulai dengan menetap di sebelah Utara kerajaan Byzantine, dalam pertengahan abad pertama millennium AD. Kedatangan mereka disebabkan oleh adanya invasi Mongol. Khazar pertama kali muncul di Rusia Selatan, di wilayah antara Kaukasus, Don dan Volga; kemudian mereka mulai memperlihatkan sifat nomadennya dan mulai berusaha untuk mendapatkan kedudukan di dalam pemerintahan.

Khazar, suku ini hidup dengan makmur. Akibatnya Byzantin dan kerajaan Muslim mulai tertarik dengan mereka dan pada kenyataannya tidaklah mudah bagi satu sama lainnya untuk melakukan komunikasi.Kedua kekuatan ini baik kristiani Eropa maupun Muslim sama-sama menekan kaum penyembah berhala ini (Khazar) untuk menerima ajaran agama mereka yang masing-masing meyakini bahwa agama merekalah yang paling benar.




Kaum Khazar dikenal sebagai orang-orang yang pandai, yang sangat cemas akan kondisi yang ada sehingga mereka tidak memilih salah satu agama baik dari Kristiani Eropa maupun dari Muslim.Karena jika mereka memilih salah satu dari kekuatan besar ini, artinya mereka akan mengasingkan kekuatan yang lain. Sehingga Khazar mulai mencari solusi untuk memecahkan masalah ini. Solusi tersebut adalah dengan menganut agama Yahudi dengan harapan bisa menghindarkan tekanan dari kedua kekuatan besar mereka.

Khazar melakukan penelitian secara mendalam agama apakah yang dapat diterima oleh kedua kekuatan besar Kristiani dan Muslim sebagai agama yang terhormat dimana masalah ini tertulis di dalam Korespondensi Khazar. Didalam korespondensi Khazar ini dilaporkan bahwa utusan Muslim yang datang kepada mereka untuk merubah agama mereka menjadi Islam, mereka mengajukan pertanyaan,



‘Agama mana yang anda lebih hargai, Yahudi atau Kristiani? Tanpa ragu-ragu Muslim menjawab agama Yahudi. Sebaliknya mereka juga bertanya kepada kaum Byzantin, yang mempromosikan agama Kristen orthodox, ‘Agama mana yang anda lebih hargai, Yahudi atau Islam? Kaum Kristiani dengan serentak menjawab, ‘Yahudi’. Oleh karena keputusan segera dibuat dan Khazars resmi menjadi Yahudi.

Karena itulah dalam waktu relatif singkat, seluruh khazar menjadi Yahudi, walaupun tidak ada satupun nenek moyang mereka yang pernah tinggal di tanah suci, dan tidak ada satupun dari mereka yang berasal dari keturunan bani Israel yang mendapatkan ajaran Musa secara langsung.

Sangat jelas bahwa kelompok Yahudi Eropa ini tidak pernah dapat mengakui bahwa mereka mempunyai garis keturunan dengan Yahudi yang pernah tinggal di tanah suci ataupun disekitarnya. Mereka sesungguhnya mempunyai posisi yang sama dengan kaum Kristen Eropa, yang menjadi Kristen karena agama dan ketaatan terhadap agama, namun bukan keturunan Kristen dari bani Israel yang pernah tinggal di tanah suci ataupun disekitarnya.

Selanjutnya, seperti lazimnya agama Kristen di Eropa yang sangat jauh dari ajaran Isa yang asli, begitu juga ajaran agama Yahudi yang dipeluk oleh Khazar bukanlah ajaran asli Musa.

Majapahit dan Kejujuran Sejarah Nusantara


Pada penghujung tahun 2003 aku berkesempatan mengunjungi sebuah desa di Provinsi NAD, tepatnya desa Manyak Payet di Kabupaten Aceh Tamiang. Atas undangan seorang rekan dimana aku berkenalan dan berkomunikasi secara intens dengannya lewat sebuah forum wisata di internet. Kondisi Provinsi NAD yang saat itu masih dibawah status Darurat Militer membuat aku merasakan kehadiranku di daerah tersebut kurasakan sangat istimewa. Spesial karena ketika itu tidak banyak warga dari Provinsi lain yang berminat dan bernyali melintasi perbatasan Provinsi yang bertetangga dengan Sumatera Utara ini. Perjalanan aku ketika itu adalah pengalaman pertama aku memasuki Provinsi yang berjulukan Serambi Mekkah.

Desa Manyak Payet yang kusinggahi adalah sebuah desa yang penduduknya didominasi oleh warga asli etnis Aceh dengan subetnis Tamiang. Pengucapan nama desa Manyak Payet jika diucapkan oleh penutur lokal lebih mirip terdengar sebagai Majapahit, sebuah nama kerajaan yang menguasai kepulauan Nusantara pada abad ke 13-15. Penasaran pada penamaan desa ini aku pun bertanya hal ikhwal menyangkut nama Manyak Payet yang sebenarnya pada rekanku itu. Dan aku memperoleh jawaban yang rupanya mengena dengan apa yang aku fikirikan. Ternyata penduduk setempat mengatakan bahwa Manyak Payet adalah salah satu desa yang sejarahnya berkaitan dengan Majapahit.


Kita tentu mengetahui klaim Majapahit yang mampu menguasai seluruh kepulauan Nusantara pada penghujung kejayaannya. Nah, di desa Manyak Payet itulah pasukan Majapahit sempat mendirikan markas utama mereka dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil yang berkuasa di Aceh pada masa itu. Ditempat mereka singgah itu penduduk setempat menyebut Majaphit lalu seiring waktu berubah penyebutannya menurut dialek lokal menjadi Manyak Payet. Anehnya selain nama desa Manyak Payet, tidak ada satupun bukti sejarah yang mendukung kebenaran penguasaan Majapahit atas Aceh. Karena ketika aku merunut pada sejarah kerajaan-kerajaan Aceh pada masa lalu nyaris masa kejayaan kerajaan-kerajaan Aceh ketika itu juga bertahun yang sama dengan kerajaan Majapahit.


Catatan penjelajah berkebangsaan Eropa Marco Polo bertahun 1293 M malah menyebutkan ia pernah singgah di kerajaan Samudera Pasai yang beragama Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada saat yang sama kerajaan Samudera Pasai adalah sebuah teritori yang bebas merdeka dari penjajahan kerajaan Majapahit. Selain kerajaan Samudera Pasai di ketika itu juga terdapat kerajaan Perlak yang berdiri pada abad ke 10 M. Bahkan pada tahun yang sama dengan berdirinya Majapahit kerajaan Perlak sedang dalam masa puncak kejayaannya dibawah kepemimpinan Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Hubungan antara kedua kerajaan yang berkuasa di pesisir Aceh ini terjalin dengan baik, hal itu tercatat dalam kusah perjalanan musafir Arab Ibnu Batutah yang sempat singgah di kedua tempat tersebut pada abad ke 14 M. Konon pula Armada laut Kubilai Khan pernah singgah di kedua kerajaan ini, bukankah salam sejarah juga tercatat bahwa serangan Kubilai Khan lah yang meruntuhkan kekuasaan raja terakhir Singosari dan akhirnya berdiri kerajaan Majapahit.



Dari penuturan orang-orang tua di desa Manyak Payet ketika itu aku juga mendapatkan sebuah cerita yang melegenda disana, bahwa ada sebuah pulau berbukit di lepas pantai Aceh yang bernama bukit Timbun Tulang (yang ini agak mirip dengan cerita silat Wiro Sableng). Karena disana bertimbunan tulang belulang prajurit kerajaan mati yang gugur saat mencoba mengekspansi Aceh. Mungkin benar adanya memang armada Majapahit pernah datang ke Aceh namun tidak sampai menancapkan kekuasaannya disana. Mereka telah dikalahkan sebelum jauh merangsek kedalam kerajaan Perlak dan Samudera Pasai. Maka klaim bahwa Majapahit telah menguasai seluruh kawasan Nusantara adalah terlalu mengada-ada. Keberhasilan Sumpah Palapanya Maha patih Gajah Mada pun sebenarnya telah dimentahkan oleh kenyataan sejarah yang ada.


Satu-satunya bukti yang dicatat oleh penguasa Majapahit atas kebesaran emporium mereka di Nusantara adalah sebuah kitab yang bernama Negara Kertagama. Kitab ini ditulis pada tahun 1365 M. Namun bukti tertulis ini pun tidak terlalu kuat, karena dua puluh tahun sebelumnya yaitu pada 1345 M, Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai yang ketika kedatangannya disambut oleh seorang raja yang adil dan beragama Islam yaitu Sultan Malik Az Zahir. Ibnu Batutah juga menuliskan kepiawaian sang raja dalam berkomunikasi dengan kesultanan Islam lainnya di daratan Asia pada masanya. Seandainya Samudera Pasai adalah jajahan Majapahit, maka dalam literatur Islam di Arab dan Asia Selatan ketika itu akan tercatat tentang adanya sebuah kerajaan Islam yang dijajah oleh negara Hindu. Selain itu dalam dua abad setelah kedatangan Ibnu Batutah, kesultanan Samudera Pasai masih eksis bahkan sempat dipimpin oleh beberapa Ratu yang berkuasa penuh. Kesultanan Samudera Pasai baru usai ketika Kesultanan Aceh Darussalam yang berdiri pada tahun 1496 M dibawah kepemimpinan Sultan Alauddin Mughayatsyah. Pada periode yang sama Majapahit bukanlah sebuah kerajaan yang kuat, beberapa ekspedisi dari China dan perang saudara berkepanjangan telah menghancurkan semua kejayaan yang pernah dialaminya selama + 200 tahun.


Perjalanan dan bukti-bukti sejarah yang terlupakan di Manyak Payet ketika itu membuat aku berpikir bahwa klaim-klaim sejarah masa lalu wilayah ini tak selalu bisa dipertanggung jawabkan berdasarkan kronologi sejarah yang ada. Ada kesan bahwa penonjolan kejayaan Majapahit dalam buku teks sjarah yang diajarkan di lembaga pendidikan bahkan telah mengkhianati kenyataan sejarah yang sebenarnya. Dan itu tentu tidak terlepas dari misi penulis sejarah yang sarat dengan kepentingan politik penguasa. Semoga suatau saat ada inisiatif dari para ahli sejarah untuk mengungkap semua kebenaran sejarah yang ada di Nusantara ini secara jujur.
Cahil Halil