Thursday, May 31, 2012

Majapahit dan Kejujuran Sejarah Nusantara


Pada penghujung tahun 2003 aku berkesempatan mengunjungi sebuah desa di Provinsi NAD, tepatnya desa Manyak Payet di Kabupaten Aceh Tamiang. Atas undangan seorang rekan dimana aku berkenalan dan berkomunikasi secara intens dengannya lewat sebuah forum wisata di internet. Kondisi Provinsi NAD yang saat itu masih dibawah status Darurat Militer membuat aku merasakan kehadiranku di daerah tersebut kurasakan sangat istimewa. Spesial karena ketika itu tidak banyak warga dari Provinsi lain yang berminat dan bernyali melintasi perbatasan Provinsi yang bertetangga dengan Sumatera Utara ini. Perjalanan aku ketika itu adalah pengalaman pertama aku memasuki Provinsi yang berjulukan Serambi Mekkah.

Desa Manyak Payet yang kusinggahi adalah sebuah desa yang penduduknya didominasi oleh warga asli etnis Aceh dengan subetnis Tamiang. Pengucapan nama desa Manyak Payet jika diucapkan oleh penutur lokal lebih mirip terdengar sebagai Majapahit, sebuah nama kerajaan yang menguasai kepulauan Nusantara pada abad ke 13-15. Penasaran pada penamaan desa ini aku pun bertanya hal ikhwal menyangkut nama Manyak Payet yang sebenarnya pada rekanku itu. Dan aku memperoleh jawaban yang rupanya mengena dengan apa yang aku fikirikan. Ternyata penduduk setempat mengatakan bahwa Manyak Payet adalah salah satu desa yang sejarahnya berkaitan dengan Majapahit.


Kita tentu mengetahui klaim Majapahit yang mampu menguasai seluruh kepulauan Nusantara pada penghujung kejayaannya. Nah, di desa Manyak Payet itulah pasukan Majapahit sempat mendirikan markas utama mereka dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil yang berkuasa di Aceh pada masa itu. Ditempat mereka singgah itu penduduk setempat menyebut Majaphit lalu seiring waktu berubah penyebutannya menurut dialek lokal menjadi Manyak Payet. Anehnya selain nama desa Manyak Payet, tidak ada satupun bukti sejarah yang mendukung kebenaran penguasaan Majapahit atas Aceh. Karena ketika aku merunut pada sejarah kerajaan-kerajaan Aceh pada masa lalu nyaris masa kejayaan kerajaan-kerajaan Aceh ketika itu juga bertahun yang sama dengan kerajaan Majapahit.


Catatan penjelajah berkebangsaan Eropa Marco Polo bertahun 1293 M malah menyebutkan ia pernah singgah di kerajaan Samudera Pasai yang beragama Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada saat yang sama kerajaan Samudera Pasai adalah sebuah teritori yang bebas merdeka dari penjajahan kerajaan Majapahit. Selain kerajaan Samudera Pasai di ketika itu juga terdapat kerajaan Perlak yang berdiri pada abad ke 10 M. Bahkan pada tahun yang sama dengan berdirinya Majapahit kerajaan Perlak sedang dalam masa puncak kejayaannya dibawah kepemimpinan Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Hubungan antara kedua kerajaan yang berkuasa di pesisir Aceh ini terjalin dengan baik, hal itu tercatat dalam kusah perjalanan musafir Arab Ibnu Batutah yang sempat singgah di kedua tempat tersebut pada abad ke 14 M. Konon pula Armada laut Kubilai Khan pernah singgah di kedua kerajaan ini, bukankah salam sejarah juga tercatat bahwa serangan Kubilai Khan lah yang meruntuhkan kekuasaan raja terakhir Singosari dan akhirnya berdiri kerajaan Majapahit.



Dari penuturan orang-orang tua di desa Manyak Payet ketika itu aku juga mendapatkan sebuah cerita yang melegenda disana, bahwa ada sebuah pulau berbukit di lepas pantai Aceh yang bernama bukit Timbun Tulang (yang ini agak mirip dengan cerita silat Wiro Sableng). Karena disana bertimbunan tulang belulang prajurit kerajaan mati yang gugur saat mencoba mengekspansi Aceh. Mungkin benar adanya memang armada Majapahit pernah datang ke Aceh namun tidak sampai menancapkan kekuasaannya disana. Mereka telah dikalahkan sebelum jauh merangsek kedalam kerajaan Perlak dan Samudera Pasai. Maka klaim bahwa Majapahit telah menguasai seluruh kawasan Nusantara adalah terlalu mengada-ada. Keberhasilan Sumpah Palapanya Maha patih Gajah Mada pun sebenarnya telah dimentahkan oleh kenyataan sejarah yang ada.


Satu-satunya bukti yang dicatat oleh penguasa Majapahit atas kebesaran emporium mereka di Nusantara adalah sebuah kitab yang bernama Negara Kertagama. Kitab ini ditulis pada tahun 1365 M. Namun bukti tertulis ini pun tidak terlalu kuat, karena dua puluh tahun sebelumnya yaitu pada 1345 M, Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai yang ketika kedatangannya disambut oleh seorang raja yang adil dan beragama Islam yaitu Sultan Malik Az Zahir. Ibnu Batutah juga menuliskan kepiawaian sang raja dalam berkomunikasi dengan kesultanan Islam lainnya di daratan Asia pada masanya. Seandainya Samudera Pasai adalah jajahan Majapahit, maka dalam literatur Islam di Arab dan Asia Selatan ketika itu akan tercatat tentang adanya sebuah kerajaan Islam yang dijajah oleh negara Hindu. Selain itu dalam dua abad setelah kedatangan Ibnu Batutah, kesultanan Samudera Pasai masih eksis bahkan sempat dipimpin oleh beberapa Ratu yang berkuasa penuh. Kesultanan Samudera Pasai baru usai ketika Kesultanan Aceh Darussalam yang berdiri pada tahun 1496 M dibawah kepemimpinan Sultan Alauddin Mughayatsyah. Pada periode yang sama Majapahit bukanlah sebuah kerajaan yang kuat, beberapa ekspedisi dari China dan perang saudara berkepanjangan telah menghancurkan semua kejayaan yang pernah dialaminya selama + 200 tahun.


Perjalanan dan bukti-bukti sejarah yang terlupakan di Manyak Payet ketika itu membuat aku berpikir bahwa klaim-klaim sejarah masa lalu wilayah ini tak selalu bisa dipertanggung jawabkan berdasarkan kronologi sejarah yang ada. Ada kesan bahwa penonjolan kejayaan Majapahit dalam buku teks sjarah yang diajarkan di lembaga pendidikan bahkan telah mengkhianati kenyataan sejarah yang sebenarnya. Dan itu tentu tidak terlepas dari misi penulis sejarah yang sarat dengan kepentingan politik penguasa. Semoga suatau saat ada inisiatif dari para ahli sejarah untuk mengungkap semua kebenaran sejarah yang ada di Nusantara ini secara jujur.
Cahil Halil

No comments:

Post a Comment