Khalayak
biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai MANUSIA SEMPURNA, MANUSIA
PARIPURNA. Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan
bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang
agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja.
Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan
kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa
ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati
taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh
"perilaku" Nabi sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Akan tetapi dari
sekian banyak perintah itu sayangnya "sebagian besar" hanya tertuju
kepada mengikuti contoh perilaku FISIK Rasulullah, sehingga begitu banyaknya
kita lihat manusia dengan "atribut fisik" mirip Rasulullah. Tampilan
fisik kita bukan saja mirip dalam segi pakaian dan ciri ketubuhan lainnya, akan
tetapi juga mirip dalam ritual dan gerakan-gerakan bahkan bacaan-bacaan dalam
ibadah beliau. Tapi, mudah-mudahan juga banyak dari umat Islam yang sudah
mendapatkan dan merasakan "hakikat (hal yang sebenarnya)" dari ibadah
dan perilaku Nabi ini.Namun banyak juga dari kita baru pada taraf meniru
ciri-ciri fisik dan ketubuhan itu, lalu kita sudah berani mengklaim bahwa
"INILAH SAYA...!!, sekelompok orang yang menjalankan syari'at Islam".
Dalam
atribut lain yang lebih "tak terlihat", beberapa pakar keislaman juga
memperkenalkan masalah "ruhiyah, jiwa, nafs" yang kemudian juga
dicoba disandarkan kepada praktek di masa Rasulullah dan turun-temurun kepada
umat belakangan hari, misalnya:
* Ada yang memelihara derajat
"kesambungan" (silsilah) cara atau laku beribadahnya yang diyakini
mereka berasal dari dari jalur Rasulullah turun ke Ali bin Abi Thalib dan lalu
diwariskan kepada mursyid-mursyid tertentu. Dari jalur Ali Bin Abi Thalib ini
kemudian berkembang menjadi puluhan tarekat dengan praktek yang sedikit berbeda
disana sini. Hampir 40 aliran tarikat bermuara kepada jalur Ali Bin Abi Thalib
ini, misalnya Qadariyah, Rifa'iyah, Tijaniayah, dan sebagainya (termasuk dalam
kategori ini adalah mahzab atau aliran Syi'ah).
Ada juga yang kesambungan sisilah ritualnya
yang diyakini pemrakteknya berasal dari jalur Rasulullah turun ke Abu Bakar dan
kemudian kepada mursyid-mursyid dalam lingkaran tarekat tersebut. Untuk jalur
Abu Bakar ini hanya ada satu tarikat yaitu Naqsabandi.
*
Ada juga yang terpengaruh dengan praktek riyadah yang dilakukan oleh Al
Ghazali yang telah menghasilkan kitab Ihya Ulumuddin yang fenomenal itu.
Ulama-ulama terkini, walau kalau dilihat secara sekilas hanya sebagai
pengulangan-pengulangan saja, juga banyak yang mencoba menyegarkan kembali
pemikiran Al Ghazali ini, misalnya Sa'id Hawa, Sayyid Qutb. Pemikiran-pemikiran
mereka cukup bagus menurut saya
*
Tapi ada juga kelompok yang mengusung dan menjalankan pemikiran yang
sangat ketat untuk meniru perilaku fisik dan ketubuhan dan ibadah-ibadah
Rasulullah dalam keseharian beliau. Kelompok ini mulai "barangkali"
dari Ibnu Taymiah sampai dengan pecahan-pecahan pemahaman kelompok terkini
seperti Salafi, Ahlusunnah, Wahabi, Hizbut Tahrir, Tarbiyah, Jama’ah Tablikh
dan sebagainya. Walaupun sekilas kelompok ini hanya meniru-niru secara fisik,
ketubuhan, dan ibadah-ibadah Rasulullah, tapi saya sangat yakin bahwa Insya
Allah kelompok ini juga tidak kalah dalam hal ruhiyah seperti Rasulullah.
Namun
sayangnya semakin berkembang kelompok-kelompok ini dengan berbagai ragam
pemahaman masing-masing, ternyata TIDAK secara otomatis membuat CITRA Islam
menjadi lebih bagus, baik dari sisi pandang umat Islam sendiri (terutama bagi
kebanyakan umat Islam yang tidak mendapatkan informasi formal keislaman yang
cukup) maupun dari sisi pandang pihak non-muslim hampir di seluruh belahan
dunia. Kondisi ini adalah sebuah paradoks yang perlu dicermati oleh umat Islam
agar kita bisa meningkatkan CITRA Islam itu sendiri.
Yang
lebih memprihatinkan kita adalah semakin ketat kita meniru "hanya"
ciri ketubuhan dan perilaku "lahiriah" Rasulullah tampaknya semakin
menjauhkan umat Islam dari ciri fungsi kekhalifahan umat di muka bumi ini yaitu
sebagai RAHMAT bagi alam semesta. Kita menjadi serba takut, terkungkung,
terlena dengan ciri-ciri yang kita usung itu. Bahkan banyak pula kita yang
dininabobokkan oleh iming-iming pahala, syurga, bidadari, naungan malaikat,
dsb. Berbuat sesuatu di luar pakem tidak boleh, itu harus begini, semua serba
terpola ke masa lalu dengan kompleksitas yang sangat sederhana. Sehingga
sekarang dan sejak lama sekalipun, negara-negara dengan penduduk mayoritas
Islam dan notabene sangat kaya hanya sempat menjadi penonton di tanah airnya
sendiri.
Akar
masalahnya dimana.....?
Menurut
saya sih akar masalahnya kembali ke sistem pengajaran dan pembelajaran umat.
Sebenarnya
sudah sejak lama, sejak matinya rasionalitas, Al Qur’an hanya diajarkan oleh
AHLISASTRA ARAB kepada umatnya. Coba perhatikan di diri kita pribadi saja. Yang
dipelajari dari Al Qur’an itu adalah seninya, balagah, tata bahasa, kiraat
(seni baca), khat (seni tulis), keindahan bahasa Al Qur’an, dsb. Coba lihat di
pesantren, yang dikupas selalu saja kitab kuning yang kadangkala
masalah-masalahnya sudah kadaluarsa. Dari kecil sampai duduk di universitas
itu-itu saja yang diajarkan kepada kita walau dengan intensitas masalah yang
sudah mulai meningkat. Akan tetapi kalau ditanya lebih lanjut tentang ada apa
dilangit, maka kita nggak bisa menjawab. Akhirnya kita hanya berpuisi "oh
langit ada apakah gerangan yang berada dipelukanmu...?".
Selanjutnya
Al Qur’an itu hanya dihapal, dilagukan, dan diwiridkan dari menit ke menit
karena doktrinnya memang bahwa membaca Al Qur’an itu akan diberi pahala sekian
banyaknya dan dinaungi oleh malaikat pula. Sebuah iming-iming yang sangat
menarik. Akan tetapi alasan-alasan itu lebih kepada absurditas saja sebenarnya.
Ada juga yang mempraktekkan perilaku untuk menjaga bacaan Al Qur’an secara
konsisten sehingga selama dalam perjalanan kita, misalnya diatas bis, kita
asyik dengan bacaan Al Qur’annya kita demi tercapainya TARGET bacaan Al Qur’an
kita itu. Coba perhatikan dalam pengajian-pengajian umum. Saat pembukaan yang
dimulai dengan pembacaan Al Qur’an, semua kepala seakan menunduk dengan
khusyu'. Tapi objek kekhusyu'annya sendiri entah kemana dan kepada apa. Setelah
bacaan ayat itu, kita kembali cengengesan, seperti tak ada bekasnya. Pura-pura
saja sebenarnya.
Selanjutnya
Islam diajarkan kepada umat hanya dalam bentuk hukum-hukum. Maka lahirlah
ahli-ahli Islam yang sebenarnya mereka hanyalah ahli dalam hukum (fiqih). Maka
kemudian ahli-ahli hukum ini mau menghukumi sesuai dengan pengetahuan mereka
terhadap ilmu-ilmu yang BERKEMBANG DENGAN sangat PESAT, misalnya ilmu ekonomi,
ilmu pengetahuan, ilmu budaya, ilmu politik, ilmu psikologi dan sebagainya.
Dimana sebenarnya ilmu-ilmu itu adalah ilmu netral saja yang akan selalu
berkembang sesuai dengan zamannya mengikuti SUNATULLAH. Akibatnya ilmu-ilmu
yang malah sampai-sampai dikategorikan sebagai ilmu keduniaan itu akhirnya
menjadi terseok-seok mengakomodir pengetahuan si hukum Islam dan si ahli sastra
Arab yang nyaris tidak berkembang dari dulu sampai sekarang.
Padahal
maunya Al Qur’an itu adalah agar umat manusia mempelajari kandungan Al Qur'an
itu se riil mungkin, misalnya:
*
Saat Al Qur’an berbicara langit dan alam semesta, maka perhatikanlah
langit dan alam semesta itu dengan sungguh-sungguh, mulai dari memakai mata
telanjang sampai dengan memakai teleskop tercanggih. Silahkan. Sehingga ilmu
tentang keangkasaan bisa kita dapatkan seperti yang diperoleh oleh orang di
Amerika sana.
*
Saat Al Qur’an mengatakan intizar (meneliti), maka benar-benarlah kita
melakukan penelitian itu seperti ahli-ahli di Barat sana, tentang apa saja.
Jadilah ahli kimia, fisika, dokter yang piawai menangani penyakit. Kalau tidak
maka kita akan sangat tergantung kepada pihak lain. Misalnya, untuk meneliti
SARS saja masih harus minta bantuan ahli-ahli di Amerika sana (gimana bisa kita
mau memboikot produk Amerika ya..??!!).
*
Saat Al Qur’an berbicara perdagangan dan sekaligus tetap ingat kepada
Allah, maka eksplorasi dan jalankanlah perdagangan itu sama seperti orang Cina
berdagang. Akan tetapi Al Qur’an mengisyaratkan kita untuk mempelajari juga
cara ingat kepada Allah sambil berdagang itu. Kalau orang Cina saat mereka
berdagang umumnya juga percaya kepada spirit atau ruh nenek moyang mereka yang
menaungi mereka. Dengan begini saja sudah sangat luar biasa hebatnya
orang-orang Cina itu dalam berdagang, apalagi kalau objek fikirnya adalah
Allah. Seharusnya lebih luar biasa lagi.
*
Saat Al Qur’an berkata perang, maka siapkanlah peralatan perang seperti
si Amerika itu, dimana dunia saat ini jadi serba takut dan "gacar
(mencret)" mendengar nama Amerika. Padahal kalau sudah kuat, baru kita
bisa membuat orang lain jadi takut pula untuk main-main dengan kekuatan Islam.
Secara sunatullah, maka yang kuat akan menang. Akan tetapi tidak tertutup
kemungkinan munculnya sunatullah lain yang berbicara, banyak contohnya, bahwa
yang lemah bisa menghancurkan yang kuat. Masalahnya adalah bisakah kita
mengguncang 'arasy Tuhan agar Dia menurunkan sunatullah lain seperti saat Musa
mengalahkan Fir'aun dulu, sama seperti Rasulullah dan sahabat-sahabat dulu
mengalahkan lawan-lawan Beliau yang berjumlah lebih besar..??. waman
yattaqillaha yaj'al lahu makhraja.....
*
Saat Al Qur’an berbicara zakat, maka berlomba-lombalah kita agar bisa
menjadi kaya, sehingga zakat kita maupun infaq kita akan menjadi lebih banyak.
Karena zakat ternyatasama pentingnya dengan shalat. Karena keduanya (shalat dan
Zakat) ternyata hampir selalu disandingkan di dalam Al Qur’an. Betapapun rajin
dan bagusnya kualitas shalat kita, akan tetapi kita tetap miskin sehingga tidak
bisa bayar zakat, maka kita artinya belum ngikutin mau-Nya Allah.
*
Saat Al Qur’an berbicara catat mencatat dalam perdagangan, maka
matangkanlah ilmu akunting seperti yang dilakukan akuntan-akuntan terkenal.
Boleh-boleh saja diberi simbol-simbol Islam, seperti yang ditekuni oleh Syafi'i
Antonio misalnya, tapi jangan hanya sekedar ganti istilah saja
*
Saat Al Qur’an berkata jangan berpecah belah, maka buang tuh semua tetek
bengek yang menimbulkan perpecahan umat. Karena kalau terpecah belah seperti
dunia arab dan masyarakat Islam umumnya saat ini, walaupun dengan alasan yang
sepele, maka tunggu saja kita hanya akan berbentuk seperti buih.
*
Saat Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 membolehkan beristri 4, atau 3,
atau 2, atau 1 saja (kalau tidak bisa adil). Maka silahkan saja anda coba-coba
lakukan poligami itu dengan HANYA berpedoman pada surat An Nisaa' ayat 3
ini. Akan tetapi kalau anda JUGA memakai
landasan surat An Nisaa' ayat 129 dengan tegas Allah mengatakan "Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, ......", maka silahkan juga
anda mikir-mikir dulu untuk poligami itu. Karena bolehnya poligamia adalah
untuk laki-laki yang adil, sedangkan Allah sudah mensinyalir tanpa tedeng
aling-aling bahwa kita tidak akan pernah dapat berlaku adil, walaupun kita
ingin sekali untuk menjadi adil. Lalu apakah poligami itu boleh atau tidak...?.
Jawabnya adalah "terserah anda". Sama seperti hukum-hukum lainnya,
semua hanyalah berupa kesepakatan-kesepakan manusia bersama belaka. Ini akan
dibahas dalam topik lain nantinya.
*
Saat Al Qur’an berkata ADIL, maka lihatlah adil itu dalam perspektif
hukum Tuhan (fitrah, sunatullah), karena kalau dilihat dalam perspektif
manusia, maka dunia ini penuh dengan ketidakadilan. Akan tetapi kalau dilihat
dalam perspektif hukum Tuhan, maka keadilan adalah segala fasilitas yang
disediakan Allah bagi tegaknya keamanan, keseimbangan, baik pada level nasional
maupun dunia. Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
”inna AlLâh yuqîmud
daulatal ‘âdilah wain kânat kâfirah, walâ yuqîmud daulatadz dzâlimah wain kânat
muslimah. Allah akan tetap mendukung negara yang adil sekalipun kafir, dan
tidak mendukung negara yang zalim, sekalipun berislam.
ad-dunyâ tadûm ma‘al
‘adl wal kufr, walâ tadûm ma‘adz dzulm wal Islâm.Dunia akan bertahan asal adil,
meskipun berada dalam kekafiran, dan tidak akan bertahan salam kezaliman
meskipun disertai Islam.
Jadi
hukum Tuhan mengenai keadilan itu hanya berupa hukum-hukum yang betul-betul
objektifdansederhana saja sebenarnya.
Sungguh
banyak aktualitas Al Qur’an ini yang harus diwujudkan oleh umat Islam ini
sebenarnya. Bukan hanya terpaku kepada tekstual Al Qur’an dan hadist yang
lumrah dan umum dipahami selama ini. Wake up-lah semua.
Hasil memahami Al
Qur’an tadi apa.........?
Hasilnya
adalah pengetahuan yang akan membuat kita bertasbih dan bersyukur kepada ALLAH.
Sehingga semua praktek Islam itu menjadi RAHMATAN LIL ALAMIN. Gabungan semua
keahlian-keahlian diataslah yang diminta oleh Allah dipunyai oleh sebuah bangsa
atau umat sehingga mereka bisa menjalankan fungsi </span><span>kekhalifahan
di dunia ini. Tapi khalifah bukan konsep khilafah menurut konsep Hizbut Tahrir,
NII, dan sejenisnya lho yang saya maksudkan disini (lihat juga nanti artikel
tentang kekinian daulah). Kalau semua sudah dipunyai dan diamalkan, maka baru
kita bisa berkoar-koar untuk memboikot produk Amerika dan konco-konconya. Kalau
belumweleh-weleh...... itu namanya cuma ngomong doang.
Jadi
AHLI Al Qur'an itu adalah ahli fisika, ahli kimia, dokter, ahli akunting, ahli
psikologi, ahli politik, ahli sosial, ahli budaya, ahli managemen, ahli SDM,
ahli perang, dsb. Lalu ahli-ahli ini mewarnai kepiawaiannya dengan
"tuntunan dan bimbingan" ALLAH. Ini sebenarnya yang terpenting.
Sehingga dia dengan keahliannya itu tidak berani menganiaya orang lain, dia
hanya ingin menjadi bermanfaat bagi orang lain.
Jadi
ahli Al Qur’an itu bukanlah hanya sekedar seorang ahli satra Arab dan ahli
fikih, yang dalam istilah kita sekarang lalu disebut ULAMA. Lalu dengan titel ulama ini dia ingin
membatasi dan mengatur gerak maju ahli-ahli ilmu realitas diatas dengan
pengetahuan sastra arab dan fiqihnya. Sudahlah begitu dia begitu mudah
menjatuhkan hukum sesuai dengan pemahaman dia yang sumbernya juga masih berupa
literatur masa lalu. Masih mending kalau literaturnya keluaran tahun-tahun
terakhir. Tapi kebanyakannya walau keluaran terakhir, tetapi usungannya masih
sesederhana zaman dahulu kala itu.
Akan
tetapi kalau perjalanan ahli-ahli ilmu pengetahuan diatas tidak bertemu atau
bermuara dengan tahap bersyukur kepada Allah, maka yangmuncul ternyata juga PETAKA.
Londo Amerika dan Inggris sekarang adalah contoh aktual petaka itu. Mereka
biadab disatu sisi, yaitu sisi kemanusian dan penghargaan terhadap bangsa lain,
walau disisi lain mereka seperti menjadi rahmat bagi bangsa lainnya juga.
Disamping itu contoh lain adalah Emir-Emir Arab yang sangat kaya raya itu,
sebenarnya mereka hanyalah kambing congeknya Amerika saja demi kelanggengan
DAULAH mereka sendiri. Kekakayaan negara emir-emir dan raja-raja arab sana
ternyata tidak serta membuat mereka menjadi menjadi bangsa fenomenal yang
mengguncang dunia.
Sebaliknya
kalau hanya berdoa, bersyukur, wiridan (zikir...?), berpuisi menghiba terus,
tanpa menemukan kebahagia, kekayaan dan kekuatan apa-apa seperti jamaknya umat
Islam saat ini, maka yang muncul juga hanyalah KEDUNGUAN belaka. Huh saya malas
memberi contoh untuk yang satu ini, karena begitu menyedihkan.
Hal-hal
dan problematika diatas baru dilihat dari segi yang paling fundamental dalam
keislaman, yaitu dalam memahami Alqur'an. Kalau diteruskan untuk melihat
pemahaman HADIST pada umat Islam, maka akan lebih menyedihkan lagi. Intinya
adalah bahwa semakin banyak kita tahu tentang hadist maka semakin mudahlah kita
menjadi terpecah belah. Dan semakin sulit pula kita untuk memahami mana yang
paling benar diantara semua pemahaman hadist walau textnya sama sekalipun.
Karena pada aktualnya sangat sedikit orang yang sesuai dengan bunyi
hadist-hadist tersebut, misalnya hadis tentang bid'ah, keistimewaan ahlul bait,
iming-iming pahala dan syorga, bahkan kedamaian sekalipun. Kalau bagi saya sih
hadist-hadist yang menyulut pertentang itu sudah saya tutup dengan spidol merah
untuk kemudian hanya menjadi kenangan sejarah saya saja, atau paling tidak
untuk jadi bahan bacaan sejarah saja.
Begitu
juga dalam pengajaran melalui kitab-kitab tua, misalnya riyadus shalihin,
buku-buku tasawuf yang banyak beredar dipasaran, Risalah Qusayriyah, dsb. Semua
buku-buku itu memuat begitu banyak hadist dan bahasan ulama-ulama terdahulu
yang indah-indah. Dari pengajian ke pengajian, dari peringatan ini keperingatan
itu, materi yang diberikan nyaris sama dengan materi ratusan tahun yang lalu.
Itu- itu saja yang diulang-ulang. Tapi
disitulah......sedihnya, sifatnya hanya teori saja, semua hanya wacana saja.
Prakteknya sungguh tertatih-tatih. Karena sekedar wacana memang sangat jauh
beda dengan sebuah praktek.
Akan
tetapi pengetahuan tentang hadist itu lewat bacaan itu tidak mampu membuat
orang lalu menjadi sabar, takwa, khusyu, beriman yang sesungguhnya. Oleh sebab
itu sebagai jalan keluarnya saya mohon pertolongan saja kepada Allah untuk
diajarkan-Nya menjadi orang yang sabar, takwa, rendah hati, khusyu', dan
berbagai kondisi kerohanian yang di beritahu oleh Al Qur’an. Begitu Allah
mengajarkan HAL diatas kepada kita, karena DIA memang RABBI (PENGAJAR) 'ALAMIN
(alam semesta), maka insyaallah kita akan senyum-senyum saja mengiyakan bahan
bacaan atau pengajian mengenai sabar itu, takwa itu, tawakal itu, khusyu' itu.
Karena ternyata aktualitas itu memang indah sekali.
Jadi
menurut analisa saya, selama ini umat Islam belum belajar tentang Al Qur’an dan
keislaman yang sesungguhnya. Kita baru belajar dan diajar tentang seni SASTRA
arab, dan hukum-hukum (Fikih) yang berbau Islam. Cilakanya ini malah sudah
berlangsung dari ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dan pelajaran-pelajaran
itu sayangnya malah menjauhkan kita dari pengertian INSAN KAMIL yang sesungguhnya.
Insan Kamil itu
apa....?
Menurut pengertian
bahasa, insan kamil adalah lupa sempurna, tidak tahu sempurna, blank sempurna.
Untuk
pengertian insan "nis yan" (tidak tahu, lupa) dulu sudah saya bawakan
kepada pengertian yang akan membawa kita kekesadaran penelusuran sejarah
keberadaan manusia, bahwa pada hakikatnya manusia itu adalah tidak tahu
apa-apa, tidak pintar apa-apa, tidak bergerak apa-apa. Hal ini dalam artikel
"tidak tahu" sudah dikupas tuntas. Tetapi dalam istilah "insan
kamil" Allah mensyaratkan sesuatu yang lebih dari hanya sekedar insan yang
lupa, blank, tidak tahu. Allah mensyaratkan agar manusia kembali kepada
kesejatian dirinya seperti saat penciptaan permulaan, setelah itu baru dia KEMBALI
(menghadap) kepada-Nya.
Dalam
Al A'raf 29: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan
(katakanlah): "Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah
Allah dengan mengikhlaskan keta`atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali
kepadaNya)".
Rasulullah
sendiri dalam atribut insan kamil ini disebut sebagai seorang "ummi".
Sayangnya kita selama ini diajarkan bahwa arti "ummi" ini adalah
Rasul yang tidak tahu tulis dan baca. Itu saja. Padahal pengertiannya lebih
dari itu. Ummi itu, Insan Kamil itu adalah suatu keadaan atau suasana dimana
semua pengakuan Nabi telah luruh ketitik NOL. Luruh semua ilmu Beliau, luruh
semua keangkuhan Beliau, luruh semua atribut Beliau menjadi "yang blank
sempurna, yang tidak tahu sempurna". Ya…, seperti kita baru lahir itulah.
Seperti Bayi. Kalau sudah begitu, maka YANG ADA hanyalah Yang Maha Sempurna,
Yang Maha Tahu, Yang Maha Cerdas, Yang Maha Bergerak. Dan Dialah Yang
membimbing Rasulullah setiap saat. Sehingga Al Qur’an menyatakan:
Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (an Najm 4)
Seandainya
dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya
benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong
urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang
dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. , (Al Haaqqah 44-47)
Kemudian
untuk mencapai titik Insam Kamil ini, Allah berfirman dalam Thahaa 12
"Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu;
sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa".
Tafsiran
ayat mengenai "kedua terompahmu ini" sungguh beragam, karena ayat ini
termasuk ayat mutasyabihat. Ada yang mengartikan "kedua terompah" itu dengan menyiksan badan (tubuh) dan jiwa.
Silahkan saja tafsirkan menurut kemampuan kita masing-masing. Akan tetapi menurut saya pribadi, pengertian
kedua terompah diatas adalah segala atribut yang mengganduli dan mengganggu
proses kembalinya kita ke kondisi awal penciptaan, kondisi tidak tahu, kondisi
tidak meng-aku, kondisi blank, kondisi bayi, dalam MENGHADAP (kembali) kepada
Tuhan.
Artinya, posisi insan
kamil disini adalah memenuhi tanda-tanda sebagai berikut:
Si lupa sempurna
menghadap kepada Yang Ingat Sempurna,
Si tidak tahu
sempurna menghadap kepada Yang TAHU Sempurna,
Si mati sempurna
menghadap kepada Yang Hidup Sempurna,
Si bodoh sempurna
menghadap kepada Yang Cerdas Sempurna,
Si blank sempurna menghadap
kepada Yang MAHA Sempurna................
Karena
sudah tidak ada pengakuan diri yang tersisa, tidak ada pengklaiman ini aku…,
ini aku…, maka denga PASTI Sang Insan Kamil akan DIALIRI oleh Rasa Tahu yang
HAKIKI, Rasa Ingat HAKIKI, Rasa Hidup HAKIKI, Rasa Cerdas yang HAKIKI, dan
rasa-rasa HAKIKI lainnya oleh Yang Maha Sempurna itu. Dia akan menjadi orang
yang tidak tahu, tapi tahu, Dia akan mejadi orang yang ummi, tapi cerdas,
Sehingga kalau sudah begitu maka kita akan punya "kesadaran" ikut apa
mau-Nya Allah tanpa reserve:
Hadist Qudsi
mengusyaratkan posisi ini sebagai (terjemahan bebas):
"......Kalau dia
berbicara maka dia berbicara dengan lidah Allah,
kalau dia berjalan
maka dia berjalan dengan kaki Allah...."
Dan Al Qur’an
mengisyaratkan pula:
"... bukan
engkau yang membunuh saat engkau membunuh, tapi Allahlah yang membunuh. Bukan
engkau yang melempar SAAT engkau melempar, tapi Allahlah yang
melempar...".
Akan tetapi, tatkala
si INSAN (si kopong) mencoba "mengaku" sedikit saja, maka:
* Saat
si kosong mengaku pintar, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya dilewati
aliran pintar sebesar yang dia tahu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang
lain yang mengaku lebih pintar dari dia.
* Saat si kopong mengaku paling benar
sendiri, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya dilewati aliran benar
sebesar yang dia benar itu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang lain
yang mengaku lebih benar dari dia.
* Saat si bodoh mengaku tahu, maka dia akan
terhijab, akibatnya dia hanya dilewati aliran
tahu sebesar yang dia tahu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang
lain yang mengaku lebih tahu dari dia.
* Yang sangat dahsyat siksanya adalah saat
si "tiada" mengaku "ada" (eksis), maka dia akan terhijab,
lalu dia INGIN bersatu (melebur, wihdatul wujud) dengan YANG ADA. Artinya ada
dua entity yang melebur menjadi satu. Bahkan ada yang sampai mengaku bahwa YANG
ADA itu beremanasi kepada yang "tiada", duh tersiksanya.......... !!!.
Padahal wayangngak mungkin bersatu dengan sang dalang. Hancur tuh wayang kalau
coba-coba untuk itu, seperti hancurnya bukit thursina dan pingsannya nabi Musa
saat Musa hanya sekedar mau "melihat" Yang Ada itu dengan mata dan
persepsinya sendiri. But believe me, bahwa disini juga adalah daerah enak dan
nikmat yang luar biasa......!!!. Yang membuat "seorang pejalan"
tersangkut dan terbelenggu, sulit untuk melepaskan diri.
Oleh
karena si insan-insan ini saling mengaku, berusaha "memblok, menahan,
mengecilkan"TAHU Yang Maha Sempurna hanya sebesar dan sepersepsi si
manusia itu sendiri, maka insan-insan ini lalu menjadi saling merusak dan
saling tersiksa karena pengakuan-pengakuan mereka itu. Peng-aku-an inilah
sumber kekacauan dan konflik dunia maupun pribadi-pribadi selama ini.
Insan Kamil, memang
sebuah realitas (haqqul yakin) idaman.......
Caranya
mendapatkannya.......????
Ya
praktek......!. Just do it....!. Jangan hanya berteori dan berwacana terus,
atau jangan juga merasa bingung terus......!
Realitas insan kamil
inilah sebenarnya yang selalu kita dengung-dengungkan dalam setiap shalat:
Inni wajjahtu wajhiya
lilladzi fatarassamawati wal ardhi hanifammusliman wama ana minal musyrikin
Inna shalati wanusiki wamahyaya wamamati lillahirabbil 'alamin.
Pertama
hadapkan dulu fokus dan objek fikir kita kepada "wajah-Nya". Luruskan
fokus dan objek fikir itu hanya kepada wajah-Nya, tidak melenceng (tidak
syirik) sedikitpun. Lalu ikrar bahwa shalatku ini, ibadahku ini, hidupku ini,
matiku ini untuk ALLAH. Berserah TOTAL kepada Allah, hilangnya semua
peng-aku-an kita.
Lalu plakkkk.......,
berserahlah mengikuti "mau-Nya" ALLAH....!!
Maka
shalat kita akan menjadi sarana istirahat, sarana menyembah dan dialog
dengan-Nya, sarana "kembali" (mi'raj) kepada-Nya, innalillahi wa inna
ilaihi raji'uun, belajar mati. Andaikan saat itu "nyawa" dicabutpun ya
relakan saja.......!!!
Subhanallah....!
No comments:
Post a Comment