Dengan berdasar pada sumber sejarah yang berlimpah, Dick bercerita tentang pelaut-pelaut nusantara yang sudah menjejakkan kaki di Afrika sejak abad ke-5 M. Jauh sebelum bangsa Eropa mengenal Afrika dan jauh sebelum bangsa Arab berlayar ke Zanzibar. Ceng Ho apalagi, pelaut China yang pernah mengadakan muhibah ke Semarang pada abad ke-14 M ini jelas ketinggalan dari moyang kita.
Yang menarik, penelitian Dick-read tentang pelaut nusantara ini seperti kebetulan. Awalnya, ia datang ke mozambik pada 1957 untuk meneliti masa lalu Afrika. Disana. untuk pertama kalinya mendengar bagaimana masyarakat Madagaskar fasih berbicara dengan bahasa Austronesia laiknya pemukim di wilayah pasifik. Ia juga tertarik dengan perompak Madagaskar yang menggunakan Kano (perahu yang mempunyai penyeimbang di kanan-kiri) yang mirip perahu khas Asia timur. Ketertarikannya memuncak setelah ia banyak menghadiri seminar tentang masa lalu Afrika, yang menyiratkan adanya banyak hubungan antara Nusantara dan sejarah Afrika.
Dalam penelusurannya, Dick-read menemukan bukti-bukti mutakhir bahwa pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra hindia dan berlayar sampai Afrika Sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina memulai penjelajahan bahari mereka.
Diantara bukti tersebut adalah banyaknya kesamaan alat-alat musik, teknologi perahu, bahan makanan, budaya dan bahasa bangsa Zanj (ras Afro-Indonesia) dengan yang ada di Nusantara. Di sana, ditemukan sebuah alat musik sejenis Xilophon atau yang kita kenal sebagai Gambang dan beberapa jenis alat musik dari bambu yang merupakan alat musik khas Nusantara. Ada juga kesamaan pada seni pahat patung milik suku Ife, Nigeria dengan patung dan relief perahu yang ada di Borobudur.
Beberapa tanaman khas Indonesia yang juga tak luput di hijrahkan ke sana, semisal pisang raja, ubi jalar, keladi dan jagung. Menurut penelitian George Murdock, profesor berkebangsaan Amerika pada 1959, tanaman-tanaman itu dibawa orang-orang Indonesia saat melakukan perjalan ke Madagaskar (h.237).
Bukan itu saja, di dalam buku ini anda akan menemukan berbagai hipotesa mengejutkan mengenai kehebatan pelaut Nusantara. Diantaranya, rentang antara abad ke-5 dan ke-7 M, kapal-kapal Nusantara banyak mendominasi pelayaran dagang di Asia. Pada waktu itu perdagangan bangsa Cina banyak bergantung pada jasa para pelaut Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa perkapalan Cina ternyata banyak mengadopsi teknologi dari Indonesia. Bahkan kapal Jung yang banyak dipakai orang Cina ternyata dipelajari dari pelaut Nusantara.
Di afrika juga ada masyarakat yang disebut Zanj yang mendominasi pantai timur Afrika hampir sepanjang millennium pertama masehi. Lalu siapakah Zanj, yang namanya merupakan asal dari nama bangsa Azania, Zanzibar dan Tanzania? Tak banyak diketahui. Tapi ada petunjuk yang mengarahkan kesamaan Zanj Afrika dengan Zanaj atau Zabag di Sumatera.
Dalam hal ini, Dick mengajukan dugaan kuat keterikatan Zanj, Swarnadwipa dan Sumatera. Swarnadwipa yang berarti Pulau emas merupakan nama lain Sumatera. Hal ini dapat dilihat dalam legenda Hindhu Nusantara. Dick menduga, banyaknya emas di Sumatera ini dibawa oleh Zanj dan pelaut nusantara dari Zimbabwe, Afrika. Karena, Dick juga menemukan bukti yang menyatakan tambang-tambang emas di Zimbabwe mulanya dirintis oleh pelaut Nusantara yang datang ke sana. Sebagian tak kembali dan membentuk ras Afro-Indonesia. Mungkin ras inilah yang disebut Zanj (halaman 113).
Terlepas dari percaya atau tidak, nyatanya penulis telah menjabarkan banyak bukti yang menceritakan kehebatan pelaut Nusantara. Hal ini tentu menjadi kebangaan tersendiri bagi kita sebagai keturunannya.
Tapi, jangan berhenti sampai kebanggaan itu saja. Kita juga harus malu dan berbenah diri jika faktanya dunia kemaritiman kita saat ini jauh dari kehebatan mereka. Yang kita lihat sekarang, ikan kita banyak dicuri, banyak penyelundupan melalui laut, sedang armada dan peralatan kelautan kita tidak mencukupi untuk menjaga keamanan. Yang terparah, kredibilitas bangsa pun ikut kalah, ini bisa kita cermati dari kasus ambalat dan ekstradisi Indonesia-Singapura yang merugikan kita.
Akhirnya, Adalah tugas kita semua sebagai bangsa untuk kembali menegakkan kejayaan kemaritiman yang pernah diraih oleh para moyang kita. Agar kita bisa berdaulat di lautan sendiri.
Tradisi besar maritim Nusantara
Jauh
sebelum
kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama
abad XVI,
pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai
penjelajah
samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia
menorehkan
catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa
Indonesia.
Serangkaian
penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari:
Pengaruh
Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena
mengagumkan.
Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana
peran
pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini
bernama
Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di
sejumlah tempat
di Afrika. Buku ini bercerita tentang pelaut-pelaut Nusantara yang
berlayar
sampai ke Afrika pada masa lampau, jauh sebelum bangsa Eropa mengenal
Afrika
selain gurun Saharanya, dan jauh sebelum bangsa Arab dan Shirazi
menemukan kota
kota-kota eksotis di pantai timur Afrika seperti Kilwa,Lamu dan
Zanzibar.
Pendek
kata,
penelitian dalam buku ini mengungkap bukti-bukti mutakhir bahwa para
pelaut
Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa eropa,Arab dan
China
memulai zaman penjelajajahn bahari mereka. Sejak abad ke-5 M,para pelaut
Nusantara telah mampu menyeberangi Samudera Hindia hingga mencapai
Afrika.
Para
petualang
Nusantara ini bukan hanya singgah di Afrika. Mereka juga meninggalkan
banyak
jejak di kebudayaan di seluruh Afrika. Mereka memperkenalkan jenis-jenis
tanaman
baru, teknologi, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa ditemukan
dalam
kebudayaan Afrika sekarang.
Dalam buku ini, ada beberapa
hipotesis yang cukup mengejutkan :
- antara abad ke-5 dan ke-7, kapal-kapal Nusantara
mendominasi
pelayaran dagang di Asia
- pada abad-abad itu, perdagangan bansga China banyak
bergantung
pada jasa para
pelaut Nusantara
pelaut Nusantara
- sebagian teknologi kapal jung dipelajari bangsa
China dari
pelaut-pelaut Nusantara,
bukan sebaliknya
bukan sebaliknya
- dari manakah asal emas berlimpah yang membuat
Sumatera
dijuluki Swarnadwipa
(Pulau Emas) ? Mungkinakah dari Zimbabwe
(Pulau Emas) ? Mungkinakah dari Zimbabwe
- Mungkinkah tambang-tambang emas kuno di Zimbabwe
dibangun oleh
para perantau Nusantara ?
Dan masih banyak lagi data sejarah yang dipaparkan buku ini, yang pasti akan banyak mengubah pandangan kitas tentang kehebatan peradaban Nusantara pada masa kuno. Sebuah bacaan yang dapat menambah wawasan kita mengenai kehebatan nenek moyang bangsa ini.
Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.
”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.
Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.
Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.
Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.
Tentang
hal
ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan
perdagangan
melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan India
Selatan
serta Persia—pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya
mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.
I-Tsing,
pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa
sejarah awal
Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia.
Dalam
catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke
Perguruan
Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal
Sriwijaya, negeri
yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.
Dengan
kata
lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama
di
”jalur sutra” melalui laut-meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary
(alm)-sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia. Tesis
Dick-Read
bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun
Lun
(baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.
Masyarakat bahari
Denys
Lombard
(Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai
orang-orang
laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik:
orang-orang
Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka,
terutama di
sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru
Nusantara,
dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur
Indonesia.
Peran yang dimainkan para pelaut
Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan
orang-orang
Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah
yang
membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama
Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.
Anthony
Reid
(Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat
berbahasa
Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara
ke
dalam sistem perdagangan global.
Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat
Nusantara
dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli
perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial
Belanda, walau
tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut
Indonesia.
Ironisnya,
setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi
Djoeanda
(1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih
saja
dilupakan.
Kini,
kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak
tempat,
sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh
siapa…
Sebagai penduduk Indonesia sudah sepatutnya kita berbangga diri. Pasalnya, nenek moyang bangsa Indonesia ternyata adalah orang yang gemar berpetualang menjelajahi penjuru Bumi dengan menyeberangi samudra hingga mampu menyebarkan berbagai peninggalan yang masih dapat dijumpai hingga kini di berbagai tempat dataran benua Afrika.
Hal itu menjadi bukti bahwa jauh sebelum bangsa Eropa membanggakan diri karena mengklaim bahwa pelayarannya adalah yang terhebat di dunia karena berhasil melakukan perjalanan keliling samudra pada abad XVI, ternyata nenek moyang bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu melakukannya. Bahkan penjelajahan penduduk Indonesia dibarengi dengan fasilitas perahu dengan teknologi modern dan sarana pendukung yang serba canggih pada masa itu, hingga membuat perjalanan menyusuri ’dunia baru’ bukanlah sesuatu hal yang sulit dilakukan.
Sehingga dapat dikatakan jika pelayaran itu sangat heroik dan jauh di luar batas kemampuan berlayar bangsa mana pun di dunia pada era tersebut. Padahal itu dilakukan pelaut Nusantara seribu tahun lebih sebelum petualangan Columbus di era modern.
Penjelajahan Bahari akan mengajak pembaca untuk sejenak menikmati romantisme kejayaan bangsa Indonesia kuno. Buku ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian Robert Dick-Read, seorang Afrikanis dari London University yang disusun berdasarkan sumber data melimpah dan dapat dipertanggungjawabkan, yang merupakan hasil dari penelitian seni dan budaya di banyak daerah yang ada peninggalan sejarah dari Nusantara. Karir dan reputasi penulis dipertaruhkan dalam isi buku ini, karena hasil intrepertasinya bisa mengundang berbagai pertanyaan dan kecaman dari ahli sejarah yang berbeda pandangan dengannya.
Dari berbagai sumber yang telah diteliti, penjelajah laut dari Nusantara menginjakkan kakinya pertama kali di benua Afrika melalui Madagaskar. Kedigdayaan pelaut Nusantara yang tercatat pertama kali dalam sejarah adalah masa ketika kerajaan Sriwijaya, yang ibu kotanya di Palembang, tepatnya di tepi sungai Musi, berhasil membangun angkatan laut kerajaan terkuat, besar dan tangguh, yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
Memang sejarah modern mencatat bahwa pelayaran keliling lautan luas pertama kali dilakukan oleh armada Cheng Ho dari negeri Cina dan pelaut Eropa di zaman Columbus. Padahal fakta itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun tidak ada catatan otentik yang tersisa, namun dapat disebut bahwa pelaut Nusantara yang dipelopori armada laut Sriwijaya sudah terlebih dahulu berhasil mengarungi samudra.
Menurut Robert Dick-Read, bukti mutakhir bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan samudra jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, Cina, dan India memulai zaman penjelajahan bahari masih bisa ditelusuri buktinya. Karena sejak abad ke-5 masehi, para pelaut Nusantara sudah mampu menyeberangi Samudra Hindia hingga mencapai benua Afrika dan masih meninggalkan jejak nyata hingga sekarang.
Sebuah inskripsi kuno pada abad VII masehi yang ditemukan di Palembang menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kelompok pertama pelaut Nusantara yang berhasil menyebarkan armadanya hingga daratan Afrika. Pasalnya, pada zaman keemasan Sriwijaya, saat itu penguasa kerajaan membutuhkan emas dalam jumlah besar dan mereka mendatangkan pasokan emas itu dari pertambangan emas kuno yang ada di Zimbabwe. Ditambah bukti adanya banyak penduduk Madagaskar pada masa lalu yang melakukan hubungan dengan penghuni Sumatra Selatan semakin menguatkan asumsi bahwa angkatan laut kerajaan Sriwijaya telah berhasil menduduki tanah yang ditemukannya itu.
Para petualang Nusantara ini tidak sekedar hanya singgah di dataran Afrika, melainkan juga menetap dan meninggalkan banyak kebudayaan di seluruh dataran yang berhasil disinggahinya. Banyaknya jejak pelaut Nusantara tersebut meninggalkan kebudayaan diantaranya dengan ditemukannya teknologi, tanaman baru, musik, dan seni yang pengaruhnya masih bisa dijumpai dalam kehidupan masyarakat Afrika sekarang.
Misalnya dalam kehidupan masyarakat Zanj yang menghuni daerah Madagaskar bagian utara, mereka menangkap buruan dengan menggunakan keranjang yang sebenarnya mirip dengan teknik menangkap ikan di semenanjung Malaya dan Indonesia. Tidak banyak yang diketahui untuk mengungkap asal usul ras tersebut, namun ada satu petunjuk yang akan menggiring kita untuk menemukan jawabannya, yaitu Zanj adalah ras keturunan Afro-Indonesia yang menetap di Afrika Timur.
Bahkan, tanaman ubi jalar, pisang raja, dan beragam jenis pisang yang hidup di daratan Afrika Timur juga merupakan tanaman yang dibawa oleh penjelajah Indonesia yang melakukan perjalanan ke Madagaskar. Dan pada waktu yang sama tanaman itu menyebar sampai Afrika Barat karena dibawa melalui perjalanan darat melalui Somalia, Ethiopia Selatan, dan Sudan (hal. 237).
Fakta di atas juga digunakan Alexander Adelaar (pakar lainnya) ketika mempelajari asal-usul bahasa Madagaskar. Dari hasil analisisnya, dia bahkan berani membeberkan hipotesis bahwa bahasa penduduk Madagskar (Malagasi) dan Melayu sangat mirip. Tidak hanya itu, kekuatan unsur genetik dan budaya Afrika di Madagaskar yang sangat besar, serta banyaknya jumlah kata dalam perbendaharaan kata masyarakat Afrika semakin memperkuat asumsi bahwa pulau tersebut dulu dihuni bangsa Afro-Indonesia, yang merupakan cikal bakal penduduk Nusantara.
Dalam buku ini, pembaca akan menemukan berbagai hipotesis mengejutkan yang mungkin selama ini belum pernah terpikirkan sebelumnya. Karena tidak ada literatur yang dengan secara gamblang menulis bukti bahwa antara abad ke-5 dan ke-7, kapal Nusantara telah berhasil mendominasi pelayaran dagang di kawasan Asia hingga mampu menjelajah jauh sampai ujung Afrika.
Bahkan jika selama ini masyarakat banyak percaya bahwa peradaban bangsa Cina menjadi pusat peradaban dunia tempo dulu, fakta itu termentahkan setelah membaca buku ini. Meskipun tak dimungkiri jika peranan Cina juga cukup besar di Asia, namun pada abad V sampai VII masehi perdagangan bangsa Cina banyak tergantung pada jasa dan suplai produk para pelaut Nusantara, bukan sebaliknya seperti yang selama ini tertulis diberbagai literatur.
Buku ini menyajikan beragam data sejarah yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat luas, bahkan kalangan sejarawan. Sehingga pembaca berpotensi akan banyak mengalami perubahan paradigma berpikir setelah membaca secara detail rangkaian fakta kehebatan peradaban Nusantara pada masa kuno yang pelayarannya mampu menyeberangi samudra hingga menemukan benua Afrika.
Judul Buku : Penjelajahan Bahari (Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika)
Penulis : Robert Dick-Read
Edisi : Juni 2008
Tebal : 378 halaman
Penerbit : PT Mizan Pustaka
Peresensi : Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi UMM dan Aktivis Pers Koran Kampus Bestari
Sumber (Harian Bhirawa)
Bukti-Bukti Mutakhir Tentang Kehebatan Pelaut Nenek Moyang Indonesia jauh Sebelum Cheng Ho dan Columbus [Jejak Warisan Pelaut Nusantara di Afrika]
No comments:
Post a Comment