Saturday, March 17, 2012

Tanah Air: Memperkuat Pesona Gunung Padang


KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sumur mata air di bagian pintu masuk Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (10/2). Sumur ini diduga sebagai salah satu sarana penyucian diri sebelum memasuki daerah suci.
KOMPAS, Sabtu, 3 Maret 2012 – Informasi dari mulut ke mulut tentang kebesaran situs megalitik Punden Berundak Gunung Padang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Salah seorang yang mendengarnya adalah Bujangga Manik, pertapa dan tokoh spiritual dari Kerajaan Sunda yang melakukan perjalanan Bogor-Bali sekitar tahun 1600-an Masehi.
Kini, Gunung Padang masih diminati pengunjung. Selama tahun 2011, tercatat sedikitnya 7.000 orang datang. Angka yang luar biasa mengingat masih minimnya perhatian hingga buruknya infrastruktur menuju ke lokasi tersebut.

Gunung Padang berada di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Jabar), atau sekitar 30 kilometer (km) dari pusat kota Kabupaten Cianjur. Masuk ke Kacamatan Campaka dari Kecamatan Warungkondang masih dibutuhkan sekitar 20 km untuk sampai ke lokasi punden berundak raksasa ini.
Erik Nurdiandi (18), warga Sukabumi, meringis saat gagal mengangkat batu di teras keempat situs megalitik Gunung Padang. Ia penasaran dengan kebenaran mitos ”batu gendong” tersebut.
Konon, orang yang bisa mengangkat batu tersebut citacita dan harapannya bakal tercapai. Batu yang akan diangkat itu adalah batu andesit seukuran tas punggung berwarna coklat. Bobotnya tidak diketahui dengan pasti. Namun, batu itu pernah beberapa kali ditimbang, tetapi hasilnya berbeda-beda.
Batu gendong dan mitos Gunung Padang adalah salah satu daya tarik bagi wisatawan Gunung Padang. Ari (32), pengunjung yang mengaku sebagai pemetik kecapi asal Bandung Barat bercerita, bebatuan di teras pertama konon batu-batunya diyakini warga sebagai batu gamelan, yaitu batu yang bersuara nyaring bila diketuk dengan batu lain.
Pengunjung memang biasa dan leluasa menguji suara batu-batu itu, melaraskannya dengan tangga nada gamelan Sunda. Batu ini juga kerap didatangi pesinden atau pemusik dengan harapan penampilannya akan menjadi lebih baik.
”Ada juga ornamen di teras kelima yang diyakini tempat beristirahat raja karena ada batu pandaringan atau pembaringan. Tempat itu sering dijadikan tempat mencari wangsit memompa kepercayaan diri. Banyak pejabat daerah dan nasional pernah saya lihat datang ke tempat ini,” ujar Ari.
Potensi wisata bukan hanya ada di dalam areal Gunung Padang. Tahun 2008, saat menjabat Kepala Pusat Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan Institut Teknologi Bandung (ITB), Budi Brahmantyo mengusulkan salah satu pengembangan paket wisata minat dari Bandung menuju Gunung Padang dengan menggunakan kereta api atap terbuka. Selain meningkatkan jumlah pengunjung, hal itu diyakini bisa menghidupkan potensi wisata di sekitarnya yang belum tergarap.
Dalam perjalanan Bandung-Gunung Padang, salah satu panorama yang bisa dilihat pengunjung adalah sejarah era Bandung purba. Di antaranya, pemandangan indah di Sungai Cimeta saksi keberadaan Danau Bandung Purba, pegunungan karst yang menyimpan fosil laut di Rajamandala, dan tempat tinggal manusia prasejarah di Goa Pawon.
Masuk ke Kabupaten Cianjur, pengunjung akan disuguhi kawasan pertanian sangat luas di Cipeuyeum-Ciranjang.
Pertengahan tahun adalah saat paling tepat untuk mengamatinya karena para petani sedang panen massal. Suasana pedesaan bisa menjadi daya tarik utama yang bisa dinikmati wisatawan. Tak kalah menariknya keberadaan stasiun kereta api dan terowongan Lampegan buatan Belanda tahun 1879.
Keduanya menjadi saksi pembangunan rel kereta api pertama Jakarta-Bandung di Indonesia. Selain itu, 6 km dari Gunung Padang, pesona air terjun berundak Cikondang dan bentukan lava langka bagian Formasi Beser di sekitar Sungai Cikondang menunggu memuaskan minat wisatawan.
”Saat ini banyak potensi wisata menuju Gunung Padang belum tergarap. Padahal sudah banyak komunitas dan pencinta wisata minat dalam dan luar negeri yang tertarik,” kata Budi Brahmantyo.
Namun, perjalanan menuju Gunung Padang bukanlah perjalanan yang mudah. Pengunjung harus melewati jalan rusak dan berbatu sejauh 15 km sebelum Gunung Padang, termasuk meniti jalan sempit yang berbatasan dengan jurang. Celakanya, di jalur-jalur tersebut tidak dibuat penunjuk arah sehingga mudah membingungkan pengunjung yang baru pertama kali mengunjungi daerah ini.
Mekanisme tiket tidak berjalan dengan baik. Jika Anda berkunjung ke sana, meskipun ada loket, pengunjung hanya didata menggunakan buku tamu oleh warga dan membayar retribusi secara sukarela. Di loket tersebut tidak ada penerangan karena bohlam lampu tidak ada.
Susunan batu pun masih dibiarkan tanpa arti. Tanpa adanya papan petunjuk atau keterangan tertulis di sekitar situs, alhasil pengunjung hanya bisa memanfaatkan informasi lisan dari 8 penjaga wisata yang kebanyakan masyarakat setempat.
Selain itu, tanpa penataan dan zonasi, injakan kaki pengunjung leluasa mampir di semua kawasan. Tangan jahil pun leluasa memindahkan bebatuan. Situs ini dikhawatirkan akan rusak dan tidak tertutup kemungkinan menghilangkan nilai sejarah yang belum terungkap.
Budi Brahmantyo mengatakan, Pemerintah Kabupaten Cianjur sebaiknya belajar pengelolaan Stonehenge di Salisbury Plain, Wilshire, Inggris, yang berumur kurang lebih sama dengan Gunung Padang. Pengunjung tidak dibiarkan leluasa masuk kawasan inti. Bahkan, bila ingin memegang susunan batu hanya dilakukan pada hari tertentu dengan biaya sangat tinggi.
Eko Wiwid, Direktur Lokatmala Institute di Bandung, lembaga yang bergerak dalam bidang pelestarian lingkungan, tidak menampik bahwa mitos-mitos yang berkembang tentang Gunung Padang menjadi daya tarik bagi masyarakat. Namun, hal itu setidaknya bisa diatur dengan memberikan perlindungan pada zona-zona tertentu di situs tersebut.
”Seharusnya kawasan situs sudah ditata berdasarkan zona inti dan zona pemanfaatan. Izin kunjungan bisa mengadopsi aturan di taman nasional. Di Taman Nasional Gede Pangrango, misalnya, ada izin untuk pendakian, izin untuk penelitian, dan izin kunjungan wisata. Proteksi seperti itu yang seharusnya ditetapkan,” kata Eko.
Kepala Subbidang Kepariwisataan di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar Agus Saputra mengatakan telah membangun infrastruktur di sekitar Gunung Padang senilai Rp 1,35 miliar pada tahun 2011.
Dana tersebut digunakan untuk pembebasan lahan, membuat menara pantau, area parkir, dan perbaikan akses jalan. Dana tambahan kemungkinan besar akan dikucurkan saat kawasan ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya lewat undang-undang yang baru.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Cianjur Imam Haris mengatakan, pengelolaan Gunung Padang masih memerlukan banyak perbaikan meskipun statusnya sebagai kawasan cagar budaya sudah diperoleh berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudyaan tanggal 16 Juni 1968 yang menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya bersama 53 situs lainnya. (Cornelius Helmy dan Herlambang Jaluardi)

No comments:

Post a Comment