Friday, March 16, 2012

Jejak Purba di Maros Sulsel dalam Ancaman Tambang


Bukti sejarah yang ada di dalam gua Karts (Foto: Andi A/okezone)
Bukti sejarah yang ada di dalam gua Karts (Foto: Andi A/okezone)

Kawasan kars Maros Pangkep meliputi areal sejumlah 40 ribu hektare. Kawasan itu membentang pada dua kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. Sebanyak 20.000 ha ditetapkan masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul).
“Karst adalah hutan yang tumbuh di atas batuan karbonat yang terbentuk di lingkungan laut dangkal, batuan itu mengalami pengangkatan dari permukaan laut sehingga mengalami proses pelarutan oleh air hujan yang akhirnya membentuk topografi unik. Kars terbentuk dalam rentang puluhan ribu hingga jutaan tahun,“ tutur Kepala Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin,Professor Amran Achmad.

Sesuai keputusan Menteri Energi Pertambangan Nomor 1456/K/20/MM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, kawasan karst Maros Pangkep dibagi dalam tiga kelas. Kelas itu adalah kelas I, kelas II dan kelas III. Masing-masing kelas memiliki kriteria khusus.

Kelas satu memiliki kriteria satu atau lebih antara lain mempunyai fungsi sebagai penyimpan air tanah permanent, mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif, serta mempunyai kandungan flora dan fauna khas.

Sedangkan kawasan karst kelas dua kriterianya memiliki fungsi penambah air bawah tanah, mempunyai gua-gua kering dan menjadi tempat tinggal fauna yang memberi nilai dan manfaat ekonomi. Terakhir kawasan kars kelas III tidak memiliki kriteria satu dan dua.

Kepada Okezone, Professor Amran Achmad gamblang mengatakan beberapa bagian kawasan kars sudah ditambang sebelum penunjukan TN Babul. Amran mengaku ikut menentukan kawasan mana yang masih bisa ditambang saat penunjukan itu.

“Saya ikut menentukan petanya. Saat itu ada Semen TS, Semen BS, kami keluarkan dari TN babul. Karena itu masih ada 20 ribu ha yang tidak masuk kawasan,“ jelasnya.

Dosen Unhas itu menegaskan, keharusan semua areal karst Maros Pangkep masuk dalam kelas satu. Pasalnya, hampir setiap bukit kapur di kawasan itu memenuhi kriteria kelas satu.

“Seharusnya semua lahan di kawasan itu masuk lahan konservasi, tapi pihak konservasi juga harus mendukung pembangunan yang lain. Jika dalam lahan di luar Babul yang memiliki nilai sejarah dan budaya, maka areal itu tidak bisa ditambang sedikitpun sehingga harus dilestarikan,“ ujar dosen Unhas itu.

Sementara itu Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar, Muhammad Said, membenarkan adanya situs dan cagar budaya dalam areal kars Maros Pangkep.

“Situs dan cagar budaya di kawasan kars Maros Pangkep berasal dari zaman Megalitikum. Zaman itu berkisar antara 10 ribu sampai 3.000 tahun sebelum Masehi. Mesolitikum adalah masa di mana manusia mulai berburu dan tinggal di gua-gua,“ jelasnya.

BP3 Makassar mencatat, setidaknya 120 gua yang tersebar pada kawasan bukit kapur itu sudah diidentifikasi sebagai peninggalan cagar budaya dan situs. Menurut Said, walaupun tidak berada dalam kawasan konservasi, gua dan kawasan kars yang ditempati situs tidak boleh ditambang.

Said memaparkan, situs merupakan tempat ditemukannya sisa-sisa manusia purba di sana, biasanya itu berupa gua. Sedangkan benda yang ada dalam situs disebut cagar budaya.

“Contohnya yang di Gua Leang Leang (Bantimurung, Maros). Di sana ada gambar telapak tangan dan gambar anoa. Warnanya merah, itu tidak boleh ditambang. Itu akan merusak situs dan cagar budaya yang ada,” tegasnya.

Said mengemukakan, pihaknya sudah mengidentifikasi kawasan kars Bulu’ Barakka’ sebagai situs dan cagar budaya. Pihaknya menetapkan adanya zonasi situs pada kawasan kars Maros Pangkep.

“Jika ada yang melanggar, maka dia melanggar Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,“ ucap Said.

Sebelumnya saat berkunjung ke Bulu’ Barakka’, Okezone menemukan puluhan bahkan ratusan lukisan di dinding dan atas gua-gua yang ada di sana.

Okezone juga mendapati gambar dengan berbagai gambar, seperti gambar telapak tangan, gambar pedang, gambar perahu, gambar orang, dan beberapa gambar lainnya.

Daeng Rumpa (65), salah seorang warga Rammang Rammang yang mengiringi Okezone bercerita. Dirinya pernah mencuci dinding gua dengan air dan sabun.

“Saya marah awalnya. Saya kira anak-anak (para penggiat alam bebas) yang datang yang menulis di dinding ini, ternyata tulisannya tidak bisa hilang padahal sudah kucuci pakai sabun,“ imbuh Daeng Rumpa.

Bersama WALHI Sulsel dan para aktivis lingkungan dari daerah ini, Anggota Kelompok Pencinta Alam Tapak Rimba Nusantara Maros Muhammad Ikhwan aktif mendata situs dan cagar budaya di kawasan kars Maros Pangkep.

Dia mengungkapkan, pada salah satu gua di kedalaman sekira 20 meter di bawah tanah terdapat tulisan Lontarak (aksara khas Bugis Makassar, red). Tulisan Lontarak itu berwarna coklat dengan tulisan tiga nama orang.

Di sampingnya terdapat lukisan telapan tangan seperti yang terdapat di Gua Leang Leang.

“Di setiap cekungan gua, terdapat puluhan lukisan di atas dan dinding gua. Kalau dihitung seksama dari satu gua ke gua lainnya, bisa lebih dari 500 gambar. Itupun masih ada gua yang belum bisa disusuri karena pintu masuknya cukup sulit, “jelas Ikhwan.

No comments:

Post a Comment