PENDAHULUAN
Di daerah Kabupaten Ciamis sekarang, pada masa lalu pernah berdiri kerajaan Sunda Galuh dan Kawali. Menurut Carita Parahyangan
kerajaan Galuh mula-mula diperintah oleh Raja Sěna. Pada suatu ketika
Galuh diserang oleh Rahyang Purbasora. Ketika Sanjaya dewasa dapat
merebut kembali dan berkuasa di Galuh (Sumadio, 1990: 357-358).
Sedangkan keterangan mengenai kerajaan Kawali terdapat di dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
dan beberapa prasasti yang terdapat di situs Astanagede. Prasati Kawali
yang ditemukan hingga saat ini berjumlah enam yang semuanya dipahatkan
pada batu alam. Keenam prasasti tersebut ditulis dengan aksara dan huruf
Sunda Kuna. Berdasarkan paleografisnya diperkirakan berasal dari abad
XIV M (Nastiti, 1996). Dari semua prasasti yang ada di situs Astanagede
dapat diperoleh keterangan bahwa Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota
Kawali dengan kratonnya bernama Surawisesa, telah membuat selokan di
sekeliling kraton. Di samping itu juga mendirikan desa-desa dan
mengharapkan agar masyarakat pendatang juga berbuat kebajikan agar hidup
lama dan berbahagia di dunia (Sumadio, 1990: 365).
Latar belakang keagamaan kerajaan Sunda menurut Carita Parahyangan jelas sekali menunjukkan semangat kehinduan. Pada naskah Sewakadarma yang juga disebut Serat Dewabuda
pun terdapat nama-nama dewa agama Hindu seperti Brahma, Wisnu,
Maheswara, Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kuwera, Indra, Besrawaka, dan
lain-lain. Pada naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian
semangat kehinduan masih jelas tetapi pada waktu itu antara Hindu,
Buddha, dan unsur asli sudah luluh menjadi agama baru. Dengan demikian
kehidupan keagamaan masyarakat Sunda bercorak Hindu Buddha yang telah
berbaur dengan unsur agama leluhur (Sumadio, 1990: 391-392).
Pada masa itu bangunan-bangunan suci sebagai sarana peribadatan dikenal dengan istilah kabuyutan. Dalam Carita Parahyangan terdapat kalimat … nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahyangan …
Kabuyutan merupakan persemayaman para leluhur yang telah meninggal
dunia (hyang). Istilah kabuyutan dalam masyarakat Sunda Kuna mengacu
pada tempat atau struktur bangunan tertentu yang berbeda dengan
bangunan-bangunan suci pada umumnya masyarakat Jawa Kuna (Munandar,
1992). Pada hakekatnya bangunan kabuyutan dapat disejajarkan dengan
candi yang umum dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komplek
kabuyutan di Jawa Barat misalnya dapat dijumpai di situs Astanagede,
Kawali dan komplek Karangkamulyan.
Secara
fisik konsep kabuyutan dilatari sistem religi pada masa itu. Pada
awalnya, keagamaan yang melatari kerajaan Sunda adalah Hindu. Dalam
perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada
akhirnya unsur kepercayaan asli muncul. Sistem religi yang demikian itu,
dalam ekspresi bangunan suci dimunculkan dalam bentuk bangunan berundak
yang juga diwarnai ciri-ciri klasik seperti adanya lingga, yoni, nandi,
serta arca dewa.
Meskipun
bangunan kabuyutan lebih akrab dengan masa klasik Jawa Barat tetapi
tidak berarti bangunan candi sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur
tidak dijumpai di Jawa Barat. Penelitian yang pernah dilakukan di
kawasan timur Jawa Barat telah menemukan bangunan candi. Pada tahun 1977
dan dilanjutkan tahun 1983 Bidang Arkeologi Klasik Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) mengadakan ekskavasi di situs Candi
Ronggeng, Desa Sukajaya, Kec. Pamarican. Hasil ekskavasi menunjukkan
adanya struktur bangunan candi pada kedalaman sekitar 60 – 140 cm. Candi
tersebut terbuat dari bahan batu. Secara
religius berlatarkan Hinduistis (Tim Penelitian Arkeologi, 1983: 18 –
22). Selain itu Puslit Arkenas juga pernah melakukan ekskavasi di situs
Batu Kalde, Semenanjung Pangandaran. Dalam ekskavasi itu berhasil
menemukan indikator bangunan candi berupa yoni, balok-balok batu,
bingkai padma, batu-batu bulat, batu berpelipit, dan arca nandi
(Ferdinandus, 1990).
Peninjauan
yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada bulan Juni 1997 di Dusun
Pananjung, Kec. Pataruman, Kab. Ciamis menjumpai adanya lokasi pada tepi
S. Citanduy yang oleh masyarakat setempat disebut Rajegwesi. Lokasi
tersebut berupa gundukan tanah yang pada beberapa tempat dijumpai adanya
serakan bata kuna. Tidak jauh dari lokasi itu terdapat fragmen yoni.
Adanya tinggalan arkeologis tersebut diduga dahulu merupakan bangunan
candi yang bahannya bata. Untuk sementara objek ini disebut candi
Rajegwesi. (Djubiantono dkk, 1997/1998). Pada bulan April-Mei 1998 yang
lalu Puslit Arkenas juga telah mengadakan peninjauan yoni tersebut
(Ferdinandus, 1998).
Tidak
jauh dari lokasi candi Rajegwesi yaitu di Dusun Cipadung, Desa
Purwaraharja, Kec. Cisaga pada tanggal 31 Juli 1982 dilaporkan adanya
penemuan prasasti. Pada saat sekarang prasasti tersebut disimpan di
Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” (Tim Penelitian Arkeologi, 1983:
17). Inventarisasi tinggalan arkeologis yang dilakukan Krom (1915) di
daerah ini mencatat beberapa objek arkeologis antara lain di kampung
Warung Buah, Banjar yaitu di tepi jalan yang menghubungkan Manonjaya
dengan Banjar terdapat patung gajah. Di puncak G. Indaraja, Ciparay
terdapat yoni, lingga, dan ganesa. Dari beberapa tinggalan yang pernah
dilaporkan menunjukkan bahwa pengaruh Hindu pernah berlangsung di daerah
tersebut.
Beberapa
sumber yang ada menunjukkan bahwa bangunan suci masa klasik di daerah
Ciamis kebanyakan berupa kabuyutan. Bangunan kabuyutan biasanya
berbentuk seperti bangunan megalitik dan bahannya dari batu tanpa
pengerjaan. Kasus di Pananjung, desa Mulyasari memperlihatkan bahwa
bangunan candi Rajegwesi dari bahan bata. Perbedaan bahan bangunan
memberi gambaran pula mengenai adanya perbedaan bentuk bangunan. Oleh
karena itu penelitian yang dilakukan berusaha mengungkap bentuk
bangunan. Bentuk bangunan dimaksud meliputi denah, arah hadap, dan
kemungkinan rekonstruksi bentuk utuh bangunan. Mengingat antara lokasi
situs Rajegwesi berdekatan dengan lokasi penemuan prasasti, dalam
penelitian ini juga akan dicari kemungkinan adanya hubungan antara candi
dengan prasasti.
Untuk
mencapai tujuan sebagaimana tersebut di atas, akan diterapkan tipe
penelitian deskriptif dengan mengikuti pola penalaran induktif. Tahapan
penelitian meliputi observasi, deskripsi, dan interpretasi (Deetz,
1967). Pada tahap observasi, pengumpulan data dilaksanakan melalui
survei permukaan dan ekskavasi.
Survei permukaan dimaksudkan untuk mengumpulkan data secara horisontal,
sedangkan ekskavasi untuk mencari data secara vertikal (Renfrew &
Bahn, 1991). Survei dan ekskavasi itu diikuti dengan pendeskripsian
data. Dari hasil pendeskripsian kemudian dilakukan analisis baik
artefaktual maupun non artefaktual. Berdasarkan gambaran hasil
pendeskripsian dan analisis data kemudian dilakukan interpretasi.
PROSES DAN HASIL PENELITIAN
Proses Penelitian
Penelitian
situs Rajegwesi dilaksanakan dalam bentuk survei dan ekskavasi. Survei
dilakukan di sekitar lokasi candi Rajegwesi dengan tujuan untuk
menentukan lokasi yang mengandung data baik arkeologis maupun non
arkeologis yang berpotensi bagi pengembangan penelitian lebih lanjut.
Selain itu juga dilakukan observasi terhadap data/benda arkeologis yang
berhubungan atau diduga berhubungan dengan candi Rajegwesi. Objek yang
dimaksud yaitu frgamen yoni yang ditemukan penduduk dan prasasti dari
Cisaga yang sekarang disimpan di Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga”.
Dalam
kegiatan survei dilakukan pengamatan dan pendeskripsian langsung
terhadap objek arkeologis yang ada. Selain itu juga dilakukan pencarian
penjelasan mengenai lokasi penemuan dan proses penemuannya. Untuk
melengkapi data dilakukan wawancara dengan masyarakat setempat yang
mengetahui latar belakang daerah tersebut. Wawancara ini dimaksudkan
untuk mendapatkan data etno-histori.
Ekskavasi
dimaksudkan untuk mendapatkan data secara vertikal. Melalui ekskavasi
dapat diperoleh data yang terdapat di dalam tanah. Dalam kegiatan ini
telah dilakukan pembukaan tiga kotak gali. Penentuan posisi kotak gali
selain dari hasil pengamatan intensif di lokasi bangunan candi juga
berdasarkan gejala yang ada pada kotak gali terdahulu.
Masing-masing
kotak gali dibuat dengan ukuran 2 X 2 m. Pembukaan kotak dilakukan
dengan teknik spit berinterval 20 cm. Khusus untuk spit 1 dengan
kedalaman 20 cm dari titik terendah. Titik nol (datum point) ditentukan dengan menambahkan 15 cm pada salah satu titik sudut atau sisi.
Ekskavasi
dimulai dengan membuka kotak LU I. Kotak ini terletak di sisi timur
runtuhan bangunan. Lokasi ini dipilih karena berdasarkan pengamatan
diduga masih ada runtuhan bangunan yang tersimpan di bawah permukaan.
Dengan membuka kotak ini diharapkan dapat ditemukan sisi timur bangunan.
Berdasarkan gejala yang terdapat di kotak LU I kemudian dilanjutkan
dengan membuka kotak LU II. Kotak ini berada di sebelah utara kotak LU I
berselang 2 m. Tujuan pembukaan kotak untuk mendapatkan sudut timur
laut bangunan. Selanjutnya dibuka kotak LU III yang berada di sebelah
baratdaya kotak LU I. Dari pembukaan kotak ini diharapkan dapat
ditemukan sudut tenggara bangunan.
Hasil Penelitian
Situs
Rajegwesi secara administratif termasuk di dalam wilayah Dusun
Pananjung, Desa Mulyasari, Kec. Pataruman, Kotif Banjar, Kabupaten
Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Lokasi berada pada areal perkebunan milik
PTP Nusantara VIII, Kebun Batulawang, Afdeeling Mandalareh. Secara
geografis berada pada posisi 108°35’28” BT dan 7°20’54” LS (berdasarkan peta topografi daerah Banjar lembar 4720-IV).
Bekas
bangunan candi berada di sebuah gundukan tanah pada kelokan sungai
sebelah selatan Citanduy. Gundukan tanah ini tingginya sekitar 7 m dari
lahan sekitar dengan diameter sekitar 70 m. Di sebelah barat candi
Rajegwesi berjarak lurus 1500 m, merupakan pertemuan antara sungai
Cijulang dan Citanduy. Sekitar lokasi situs berupa lahan perkebunan
karet dan kebun palawija.
Geomorfologi
kawasan situs secara umum merupakan pedataran bergelombang dengan
ketinggian antara 10 hingga 100 m di atas permukaan laut. Beberapa bukit
dengan ketinggian sekitar 100 m terdapat di daerah ini. Bukit-bukit
tersebut antara lain pasir Lanang, pasir Gede, pasir Pangrampogan, pasir
Panenjoan, pasir Cicangkorek, pasir Peuteuy, pasir Mandalare,dan pasir
Panji. Di antara perbukitan tersebut Citanduy mengalir (berdasarkan peta topografi daerah Banjar lembar 4720-IV).
Kondisi lingkungan Candi Rajegwesi
Deskripsi Hasil Survei
a. Situs Rajegwesi
Puncak bukit di mana terdapat runtuhan bangunan candi ditumbuhi beberapa pohon besar antara lain beringin, serut, dan kopo (semacam jambu air). Berdasarkan pengamatan secara megaskopis, kondisi geologis bukit di mana candi Rajegwesi berada merupakan intrusi (terobosan) batuan beku. Candi itu sendiri tepat pada puncak intrusi. Singkapan batuan beku juga kedapatan di tepi Citanduy dan pada lahan perkebunan yang terdapat di sebelah barat candi.
Pengamatan
terhadap data arkeologis yang dilakukan, menunjukkan adanya sebaran
bata yang sudah tidak terstruktur karena terangkat akar pohon. Bata
tersebut terpusat pada puncak bukit dengan radius 8 m. Hampir semua bata
dalam keadaan tidak utuh. Satu-satunya bata utuh yang ditemukan
berukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tebal 7 cm. Selain bata juga
terdapat batu andesitik dan tufa. Keadaan yang ada sekarang di tengah
sebaran bata tersebut terdapat kumpulan batu dan bata yang bentuknya
seperti jirat makam dengan orientasi utara-selatan. “Makam” tersebut
berukuran panjang 170 cm, lebar 90 cm, dan tinggi 40 cm. Di sebelah
timur “makam” pada sisi talud terdapat dua buah
batu datar yang disusun seperti altar. Pengamatan pada permukaan tanah
sekitarnya tidak ditemukan adanya artefak lainnya.
Mengenai
nama Rajegwesi menurut keterangan penduduk dahulu di lokasi tersebut
terdapat besi berjajar yang tertancap di tepi sungai. Asal-usul besi
tersebut secara pasti tidak diketahui. Ada yang mengatakan sebagai
penahan erosi, tetapi ada juga yang menceritakan bekas perahu yang
tenggelam. Besi-besi tersebut sekarang sudah tidak tersisa lagi. Menurut
penuturan salah seorang penduduk, pada sekitar tahun 1945-an bukit
tersebut belum ditumbuhi pohon besar. Dahulu hanya ada batu panjang yang
tertancap dan bata-bata besar seperti yang ada sekarang tidak tampak.
Pada tahun 1960-an sudah ada pohon dan bata bata besar mulai terlihat.
Batu panjang yang dahulu tertancap sudah tidak ada.
Keterangan
yang diberikan oleh Bp. Marto yang sekarang mengurus lokasi tersebut
(juru kunci), pada sekitar tahun 1960-an yang terlihat hanya bata-bata
besar. Karena banyak yang datang untuk berziarah kemudian batu dan bata
yang ada dibentuk menyerupai jirat makam. Akhirnya masyarakat menyebut
bahwa lokasi itu sebagai makam Prabu Songsong.
b. Yoni
Pada
komplek makam di dekat pemukiman peduduk terdapat fragmen yoni. Menurut
keterangan, pada tahun 1955 hari Jumat Kliwon sekitar pukul 08.00
(tanggal dan bulannya sudah tidak dapat dipastikan) Bp. Wijatna, selaku
juru kunci Rajeg Wesi ketika itu, dengan dibantu tiga orang anaknya
menggali bukit “Gunung Leutik” yang berada di sebelah selatan Rajeg
Wesi. Pada kedalaman sekitar 0,5 m menemukan 4 buah batu yang dianggap
sebagai 3 buah kursi batu dan sebuah meja batu. Masyarakat mempercayai
bahwa tinggalan tersebut merupakan bekas milik Ibu Ratu Galuh. Tinggalan
tersebut kemudian dipindahkan ke lokasi sekarang (Idjam, 1991).
Berdasarkan ciri-ciri yang ada benda tersebut adalah fragmen yoni.
Fragmen yoni yang berasal dari Gunung Leutik
Yoni
terbuat dari bahan batu tufa berwarna putih. Fragmen yang ada merupakan
bagian atas dengan ukuran panjang 96 cm, lebar 86 cm, dan tebal 15 cm.
Lubang tempat kedudukan lingga berbentuk bujur sangkar dengan sisi 25
cm. Bagian atas ini pada salah satu sudutnya sudah pecah. Bagian cerat
berukuran panjang 20 cm, lebar pangkal 20 cm, dan lebar ujung 16 cm.
Selain itu juga terdapat bagian berbentuk kubus dengan ukuran 43 X 43 cm
dan tebal 40 cm. Bagian ini kemungkinan merupakan bagian tubuh yoni. Di
lokasi runtuhan candi juga terdapat batu tufa. Batu tersebut mungkin
juga merupakan bagian yoni.
c. Prasasti
Prasasti
yang ditemukan di Dusun Cipadung, Desa Purwaraharja, Kec. Cisaga
sekarang disimpan di Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga”. Tim dari
Puslit Arkenas yang pernah meninjau lokasi penemuan tidak menjumpai
kekunaan lainnya (Tim Penelitian Arkeologi, 1983: 17).
Prasasti
terbuat dari batu andesitik berbentuk panjang. Pada bagian atas ada
yang patah. Secara keseluruhan ukuran batu dengan panjang 70 cm, lebar
antara 14 hingga 26 cm, dan tebal antara 5 hingga 10 cm. Tulisan terdiri
lima baris menggunakan huruf Jawa Kuna dan bahasa Jawa Kuna.
Berdasarkan isinya, prasasti ini kemudian disebut Prasasti Mandiwuna.
Pembacaan yang dilakukan oleh Richadiana Kartakusuma, peneliti dari
Puslit Arkenas, prasasti tersebut berisi sebagai berikut:
Transkripsi:
mâsa krsna pa(k)sa
nawami haryaŋ
pon wrhaspati wâ
ra tatkâla sîma ri
mandiwuna ……
Terjemahan:
bulan parogelap
(tanggal) 9, (paringkelan) Haryang
(pasaran) Pon, hari Kamis,
ketika itulah daerah perdikan di
Mandiwuna ……
Deskripsi Hasil Ekskavasi
a. Kotak LU I
Kotak
LU I dibuka hingga akhir spit 3. Keadaan permukaan miring ke arah
timur. Sebelum dibersihkan tertutup rumput. Pada awal penggalian
ketinggian titik t1 (sudut baratlaut) -16,5 cm, t2 (sudut timurlaut) -43 cm, t3 (sudut tenggara) -45 cm, t4
(sudut baratdaya) -22 cm, titik a (tengah-tengah sisi utara) -17 cm,
titik b (tengah-tengah sisi timur) -41 cm, titik c (tengah-tengah sisi
selatan) -29 cm, titik d (tengah-tengah sisi barat) -18,5 cm, dan titik e
(tengah-tengah kotak) -26 cm.[1] Datum Point ditentukan di dekat titik t1. Pada permukaan tidak ditemukan adanya artefak.
Pembukaan
spit 1 keadaan tanah berupa pelapukan batuan beku berwarna coklat
kekuningan bertekstur halus sampai sedang, banyak dijumpai akar. Pada
spit ini terdapat konsentrasi fragmen bata di sisi barat kotak gali.Pada
spit 2 pelapukan batuan beku berwarna coklat kekuningan terus
berlanjut. Sebaran fragmen bata terdapat di seluruh kotak, dengan
konsentrasi di sisi barat. Akar-akar terlihat di antara fragmen bata.
Spit 2 diakhiri hingga kedalaman t1 43 cm, t2 61 cm, t3 62 cm, t4 33 cm, a 40 cm, b 58 cm, c 54 cm, d 29 cm, dan e 59 cm.
Penggalian
dilanjutkan pada spit 3 dengan membongkar sebaran fragmen bata. Di
bawah lapisan sebaran fragmen bata tersebut, pada sudut baratdaya
terdapat tatanan fragmen bata sebanyak satu lapis menyerupai lantai.
Pada bagian lain keadaan tanah berupa cadas (bad rock).
Bagian sisi timur masih dijumpai beberapa pecahan bata. Pada pertengahan
spit 3 penggalian dilanjutkan setengah kotak yaitu pada sisi timur.
Keadaan tanah berwarna coklat kehitaman bertekstur halus. Penggalian
pada bagian ini sudah tidak ditemukan lagi benda arkeologis. Penggalian
kotak LU I diakhiri hingga kedalaman t1 78 cm, t2 80 cm, t3 75 cm, t4 35 cm, a 80 cm, b 79 cm, c 74 cm, d 61 cm, dan e 78 cm.
Sebaran fragmen bata pada kotak LU I spit 2
b. Kotak LU II
Kotak
LU II dibuka hanya pada spit 1. Keadaan permukaan miring ke arah
timurlaut. Pada sudut tenggara kotak gali dijumpai adanya singkapan
batuan beku. Sebelum dibersihkan kotak ini tertutup rumput dan sampah
daun-daun kering. Datum Point ditentukan di dekat titik t4. Pada permukaan tidak ditemukan adanya artefak.
Pada awal penggalian ketinggian titik t1 (sudut baratlaut) -36 cm, t2 (sudut timurlaut) -50 cm, t3 (sudut tenggara) -35 cm, t4
(sudut baratdaya) -17 cm, titik a (tengah-tengah sisi utara) -42 cm,
titik b (tengah-tengah sisi timur) -40 cm, titik c (tengah-tengah sisi
selatan) -28 cm, titik d (tengah-tengah sisi barat) -27 cm, dan titik e
(tengah-tengah kotak) -34 cm.
Pembukaan spit 1 dilakukan hanya setengah kotak yaitu pada sisi barat.[2]
Keadaan tanah berupa pelapukan batuan beku berwarna coklat kehitaman
bertekstur halus sampai sedang, banyak dijumpai akar. Beberapa fragmen
bata ditemukan terkonsentrasi pada sudut baratdaya. Pada bagian lain
tidak ditemukan artefak dan benda arkeologis lainnya. Menjelang akhir
spit 1 sudah dijumpai lapisan tanah cadas (bad rock). Penggalian diakhiri hingga kedalaman t1 44 cm, t4 25 cm, a 48 cm, c 44 cm, d 41 cm, dan e 46 cm.
c. Kotak LU III
Kotak
LU III dibuka hingga akhir spit 2. Keadaan permukaan miring ke arah
tenggara. Keadaan permukaan sebelum dibersihkan tertutup rumput dan
sampah daun-daun kering. Di sudut timurlaut kotak gali terdapat tumpukan
batu dan bata bekas perapian yang dibuat masyarakat.
Pada awal penggalian ketinggian titik t1 (sudut baratlaut) -22 cm, t2 (sudut timurlaut) -74 cm, t3 (sudut tenggara) -81 cm, t4
(sudut baratdaya) -75 cm, titik a (tengah-tengah sisi utara) -60 cm,
titik b (tengah-tengah sisi timur) -76 cm, titik c (tengah-tengah sisi
selatan) -75 cm, titik d (tengah-tengah sisi barat) -54 cm, dan titik e
(tengah-tengah kotak) -70 cm. Datum Point ditentukan di dekat titik t1. Pada permukaan tidak ditemukan adanya artefak. Penggalian dilakukan setengah kotak gali yaitu di bagian selatan.
Pembukaan
spit 1 banyak menemukan sebaran fragmen bata dan beberapa batu polos.
Keadaan tanah bagian atas berupa humus bercampur kerikil dengan
ketebalan 3 cm hingga 5 cm. Di bawah lapisan humus berupa tanah lapukan
batuan beku berwarna coklat kemerahan bertekstur halus sampai kasar.
Artefak dan benda arkeologis lainnya tidak ditemukan. Pembukaan spit 1
dilakukan hingga kedalaman t3 95 cm, t4 80 cm, b 90 cm, c 93 cm, d 62 cm, dan e 84 cm.
Penggalian
dilanjutkan pada spit 2 dengan membongkar sebaran fragmen bata dan
beberapa batu. Di bawah sebaran fragmen bata masih dijumpai fragmen bata
secara sporadis terutama di sisi utara. Pada sisi selatan sudah
dijumpai lapisan permukaan batuan beku. Keadaan tanah berupa lapisan
pelapukan batuan beku berwarna coklat kemerahan yang masih dijumpai
akar. Penggalian diakhiri hingga kedalaman t3 97 cm, t4 95 cm, b 92 cm, c 101 cm, d 74 cm, dan e 59 cm. Pada spit ini juga tidak dijumpai artefak lainnya.
PEMBAHASAN
Rekonstruksi Bentuk
Gejala
awal yang terlihat pada situs Rajegwesi menunjukkan kesamaan dengan
situs-situs di daerah Batujaya dan Cibuaya, Karawang. Situs Batujaya
berada pada area yang cukup luas meliputi dua desa yaitu Desa Segaran
dan Telagajaya. Indikasi temuan arkeologi adalah berupa sejumlah
gundukan-gundukan tanah yang dalam istilah setempat disebut unur.
Di desa Segaran unur tersebut berjumlah 9, sedangkan di desa Telagajaya
berjumlah 12. Berdasarkan hasil ekskavasi, unur-unur tersebut adalah
merupakan bentukan tanah sedimentasi alami yang menutup struktur
reruntuhan bangunan candi (Falah, 1995: 15). Di situs Cibuaya juga
terdapat beberapa gundukan anah pada areal persawahan. Berdasarkan
ekskavasi terlihat bahwa gundukan tanah tersebut merupakan runtuhan
bangunan dari bata. Hingga tahun 1994 telah ditampakkan 6 runtuhan
bangunan yaitu bangunan sektor 1 hingga 6. Bangunan sektor 2 oleh
masyarakat setempat disebut Lemah Duwur Wadon, dan bangunan sektor 3
disebut Lemah Duwur Lanang (Falah, 1996). Dari gejala awal yang sama
dengan unur di Batujaya dan Cibuaya tersebut diduga bukit kecil yang
terdapat di situs Rajegwesi juga merupakan runtuhan bangunan. Dugaan ini
juga didasari adanya sebaran bata kuna.
Berdasarkan
survei permukaan secara cermat serta didukung pelaksanaan ekskavasi,
bukit kecil di Rajegwesi mempunyai struktur yang berbeda dengan yang ada
di Batujaya. Bukit kecil di Rajegwesi bukan terjadi karena proses
sedimentasi tetapi merupakan puncak intrusi batuan beku. Dengan demikian
bila di Batujaya semula ada bangunan kemudian runtuh dan tertutup
tanah, kalau di Rajegwesi semula memang sudah ada bukit kecil sebagai
hasil intrusi batuan beku, baru kemudian dibangun candi pada puncak
bukit itu.
Dari
hasil ekskavasi menunjukkan sebaran bata yang ada sudah tidak
terstruktur lagi. Kerusakan ini terjadi karena terangkat oleh akar-akar
pohon yang tumbuh pada lokasi itu. Di samping itu transformasi yang
dilakukan manusia ketika menyusun kembali bata untuk dibentuk menjadi
semacam jirat makam Prabu Songsong menambah parah tingkat kerusakan.
Tiga kotak gali yang telah dibuka tidak menemukan sisi atau sudut
bangunan. Sebaran bata yang terlihat dari hasil ekskavasi menunjukkan
sudah parahnya tingkat kerusakan. Dengan demikian bentuk denah dan
ukurannya sudah tidak dapat direkonstruksi kembali secara tepat. Namun
berdasarkan radius sebaran, ukuran bangunan diperkirakan sekitar 6 X 6
m.
Secara
vertikal sebaran bata juga tidak menunjukkan adanya struktur
bertingkat. Sisa tinggalan komponen bangunan yang terdapat di situs
Rajegwesi hanya menunjukkan bagian batur. Dengan demikian dapat
diasumsikan bahwa yoni yang ditemukan masyarakat di Gunung Leutik (jarak
sekitar 100 m sebelah selatan situs Rajegwesi) dahulunya adalah objek
pemujaan yang terdapat di atas batur Candi Rajegwesi. Asumsi ini juga
didasarkan pada keterangan masyarakat setempat bahwa pada sekitar tahun
1945 terlihat adanya batu panjang yang tertancap. Kemudian pada tahun
1955 ditemukan yoni. Dengan demikian batu yang tertancap tersebut
kemungkinan besar adalah lingga. Dahulu kemungkinan objek pemujaan
tersebut dilindungi bangunan yang terbuat dari bahan yang mudah rusak.
Di
daerah Pangandaran, Ciamis terdapat runtuhan bangunan candi yang
disebut Candi Pananjung. Hasil ekskavasi yang dilakukan Puslit Arkenas
menunjukkan bahwa bangunan berdenah bujur sangkar dengan ukuran 12 X 12
m. Struktur batu hanya terdiri 3 lapis demikian hanya berupa batur.
Bagian atas (tubuh dan atap) bangunan kemungkinan dibuat dari bahan yang
mudah rusak seperti misalnya tiang kayu atau bambu, dengan penutup atap
dari ijuk atau daun-daunan (Ferdinandus, 1990; Munandar, 1992). Bila
dibandingkan dengan Candi Pananjung, Candi Rajegwesi mempunyai bentuk
dasar yang sama yaitu bagian permanen hanya pada batur.
Bentuk
candi berupa batur dengan objek pemujaan juga dijumpai di situs
Cibuaya, Karawang. Bangunan sektor 3 yang oleh masyarakat setempat
dinamakan Lemah Duwur Lanang merupakan bangunan berbentuk batur
berukuran 9 X 9,6 m dari bahan bata terdiri 31 lapisan. Pada puncak
bangunan terdapat lingga setinggi 1,11 m dari bahan batuan andesitik.
Pada sisi barat laut terdapat tangga masuk yang sekarang telah hancur
(Falah, 1996: 91).
Bentuk
candi berupa batur tunggal sebagaimana Candi Rajegwesi, juga dijumpai
pada beberapa candi di Jawa Timur misalnya Candi Kedaton (1370 M) yang
berada di lereng barat Gunung Hyang. Candi tersebut juga berupa batur
tunggal yang di atasnya terdapat altar persajian. Bentuk semacam ini
juga dijumpai di Candi Kotes, Blitar dan beberapa tempat persajian di
Gunung Penanggungan (Kempers, 1959: 97). Para arkeolog banyak yang
menghubungkan Candi Kedaton dengan mandala (lingkungan suci) Mula-Sagara yang disebutkan dalam berbagai sumber tertulis. Nagarakrtagama pupuh 78:7 menyebutkan bahwa mandala Sagara dan Kukub merupakan tempat suci bagi para rsi. Di dalam Tantu Panggelaran nama mandala Sagara disebutkan berkali-kali, dan dianggap sebagai salah satu mandala awal yang didirikan langsung oleh dewa (Munandar, 1992).
Mengenai arah hadap candi pada masa awal klasik di Indonesia, candi menghadap ke utara atau selatan – mengikuti orientasi kosmis – namun pada masa akhir Majapahit terjadi perubahan yaitu menghadap ke unsur alam seperti misalnya gunung (orientasi ktonis).
Meskipun bangunan tersebut berlatarkan Hindu namun ungkapan
arsitekturnya mencerminkan ciri-ciri bangunan megalitik, punden
berundak. Menurut Sri Soejatmi Satari, pada masa ini telah terjadi
perkembangan kultus yaitu pemujaan kepada sesuatu yang dianggap
mempunyai kekuatan magis. Oleh para penganutnya kekuatan itu dipakai
sebagai lambang untuk memperoleh kesuburan maupun kesempurnaan hidup.
Kultus ini tumbuh di suatu daerah yang berada jauh dari pusat kerajaan.
Pandangan Stutterheim pada masa itu terdapat juga kultus Bhima. Bhima
muncul sebagai tokoh yang dikultuskan karena selalu berhasil
menyelamatkan sesuatu dari malapetaka dan dipandang sebagai tokoh yang
mempunyai sifat mistis-magis. Kehadiran tokoh Bhima berkaitan dengan
tampilnya konsepsi tentang pemujaan gunung. Tokoh Bhima mempunyai
kedudukan penting pada situs-situs yang ditemukan di gunung-gunung
(Tjahjono, 1992; Satari, 1975; Stutterheim, 1956).
Arah
hadap Candi Rajegwesi sangat susah ditentukan. Hal ini antara lain
karena tidak dijumpai adanya tangga. Mengingat bentuknya berupa batur
tunggal dengan objek pemujaan di atasnya serta dengan ketinggian yang
tidak begitu tinggi, dapat diasumsikan bahwa kegiatan ritual ketika itu
tidak berada pada atas batur tetapi pada halaman di sekitar batur.
Dengan demikian arah hadap candi tidak dipastikan dari tangga naik/masuk
tetapi dari posisi objek pemujaanya. Bila diperbandingkan dengan
candi-candi masa akhir Majapahit yang berorientasi ktonis,
lingkungan sekitar Candi Rajegwesi memang bergunung-gunung. Gunung
tertinggi di sekitar lokasi berada di sebelah utara situs yaitu pasir Pangrampogan. Namun demikian antara Candi Rajegwesi dengan pasir Pangrampogan terdapat Sungai Citanduy, maka konsep orientasi ktonis tampaknya tidak berlaku. Dengan demikian untuk memastikan arah hadap Candi Rajegwesi masih perlu data yang lebih kuat lagi.
Hubungan Dengan Tinggalan Arkeologis Lainnya
Tinggalan
arkeologis disekitar situs Rajegwesi yang berlatarkan klasik hanya
prasasti Mandiwuŋa. Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan data
baru. Prasasti Mandiwuŋa merupakan satu-satunya prasasti penetapan sîma
yang ditemukan di Jawa Barat. Penetapan suatu daerah menjadi sîma
merupakan peristiwa penting karena menyangkut perubahan status sebidang
tanah dan beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah
lainnya. Daerah yang ditetapkanenjadi sîma mempunyai hak dan kewajiban
tertentu. Di dalam prasasti Waringin Pitu (1447 M) hak bagi pemilik
tanah sima antara lain tidak boleh didatangi oleh petugas pajak. Dengan
kata lain tanah tersebut terbebas dari pajak yang membebaninya. Di
samping itu pemilik tanah sîma mempunyai kewajiban melakukan upacara
korban (Indradjaja, 1998; Boechari, 1980; Dwijanto, 1992; Suhadi, 1994).
Suatu lahan yang sudah ditetapkan menjadi sîma bukan berarti terbebas
sama sekali dari kewajiban mengeluarkan pajak, tetapi berkewajiban
mengeluarkan biaya bagi pelaksanaan ritual dan pemeliharaan bagi
bangunan suci tertentu.
Berkaitan
dengan prasasti Mandiwuŋa, prasasti tersebut juga menyatakan penetapan
daerah Mandiwuŋa sebagai sima. Daerah yang dijadikan sima bisa
berdekatan dengan bangunan suci yang dimaksud, tetapi juga bisa
berjauhan. Berdasarkan perbandingan toponim di sekitar situs Rajegwesi
tidak dijumpai adanya lokasi bernama Mandiwunga. Dirman Surachmat
menghubungkan Mandiwunga dengan Pulau Handiwung yang terdapat di rawa
Onom desa Purwaraharja. Mungkin jaman dahulu rawa itu sebagai kawasan
yang ada kaitannya dengan sumber kehidupan masyarakat dariperiode yang
lebih tua lagi (Surachmat, 1985). Antara rawa Onom dengan lokasi situs
Rajegwesi memang tidak begitu jauh. Melalui jalan sungai bisa melewati
Sungai Citapen yang bermuara di Sungai Citanduy. Namun apakah benar
bahwa Mandiwunga adalah Pulau Handiwung belum dapat dipastikan. Di
samping itu apakah sima di Mandiwunga dimaksudkan untuk keperluan Candi
Rajegwesi juga belum dapat dipastikan. Dengan demikian untuk melihat
hubungan antara Candi Rajegwesi dengan prasasti Mandiwunga masih perlu
data yang lebih akurat.
KESIMPULAN
Penelitian
di situs Rajegwesi berhasil mendapatkan beberapa data arkeologis yang
sangat penting. Namun demikian dari data yang berhasil diperoleh belum
dapat mengungkapkan permasalahan yang muncul. Hal ini disebabkan karena
faktor kondisi yang ada. Arsitektur candi Rajegwesi yang terungkap dari
data yang ada menunjukkan bahwa candi tersebut berlatarkan Hinduistis.
Adanya yoni yang ditemukan masyarakat setempat di dekat lokasi tersebut
merupakan indikator kuat yang menunjukkan latar belakang keagamaannya.
Bentuk
bangunan diperkirakan berupa batur tunggal dari bahan permanen (bata)
sedangkan tubuh dan atap candi dari bahan yang mudah rusak seperti bambu
atau kayu. Candi dengan rancang bangun demikian juga ditemukan di situs
Batujaya dan Cibuaya, Karawang serta beberapa candi dari masa Majapahit
akhir. Secara konstruktif candi Rajegwesi tidak dibangun di atas
fondasi tetapi langsung di atas tanah. Keadaan geologis setempat yang
merupakan puncak intrusi batuan beku sangat memungkinkan
pendirian dengan teknik demikian. Karena sudut-sudut bangunan tidak
ditemukan maka denah candi belum dapat diketahui. Melihat persebaran
runtuhan yang ada mungkin denah candi berbentuk segi empat dengan ukuran
sekitar 6 X 6 m.
Arah
hadap candi belum dapat dipastikan. Secara umum arah hadap candi baik
Hindu maupun Buddha ke timur atau barat sesuai dengan konsep kosmis (matahari terbit dan tenggelam). Pada masa Majapahit akhir ¾ dan masa klasik akhir di Jawa pada umumnya ¾ di mana unsur agama asli Indonesia “membalut kuat” ajaran agama Hindu/Buddha, konsep ktonis
yaitu konsep mengenai tempat-tempat suci seperti gunung, ikut mewarnai
perencanaan pembangunan candi. Gejala demikian juga terlihat pada masa
klasik Jawa Barat. Namun dilihat dari keletakannya, tampak konsep
tersebut tidak diterapkan. Sehingga karena tidak ditemukan sisa-sisa
jalan masuk dan kepastian konsep yang melatarbelakanginya, maka masih
sulit untukmenentukan arah hadap candi.
Prasasti Mandiwuŋa yang ditemukan di Dusun Cipadung, Desa Purwaraharja, Kec. Cisaga berkaitan dengan penetapan sima
atau daerah perdikan. Keberadaan prasasti tersebut menunjukkan bahwa di
sekitar daerah tersebut terdapat bangunan suci. Penetapan daerah
menjadi sima dimaksudkan bahwa daerah tersebut dibebaskan dari pajak dengan harapan hasilnya untuk kepentingan mengurus bangunan suci. Sima
yang dimaksudkan dalam prasasti adalah daerah yang bernama Mandiwuŋa.
Berdasarkan telaah toponimi, belum ditemukan adanya kampung atau desa
yang namanya mengacu pada Mandiwuŋa. Dengan demikian untuk memastikan
apakah ada hubungan antara prasasti Mandiwuŋa dengan candi Rajegwesi
masih diperlukan penelaahan yang lebih mendalam lagi.
KEPUSTAKAAN
Boechari. 1980. “Candi dan Lingkungannya”. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Deetz, James. 1967, Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press.
Djafar, Hasan. 1991. “Prasasti-prasasti dari Masa Kerajaan-kerajaan Sunda”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor 11 – 13 November (belum diterbitkan).
Djubiantono, Tony; W. Anwar Falah, Agus. 1997/1998. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Penanggulangan Kasus Kepurbakalaan Di Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Balai Arkeologi Bandung.
Dwijanto, Djoko. 1992. “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX – XV Masehi”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Falah,
W Anwar. 1995. “Kaki Candi SED.V (Unur Blandongan) Di Situs Batujaya
Karawang: Satu Tafsir Penjajagan Konteks Arkeologi Kesejarahan”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 2/November/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
-----, 1996 “Penelitian (Awal) Kronologi Budaya Situs Cibuaya Karawang Jawa Barat”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 4/November/1996. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Ferdinandus, Pieter E.J. 1990. “Situs Batu Kalde di Pangandaran, Jawa Barat”. Dalam Monumen. Depok: Fakutas Sastra Universitas Indonesia.
-----, 1998 Laporan Penelitian Arkeologi Kabupaten Ciamis (Karangkamulyan, Banjar, Kawali, dan Pamarican). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (tidak diterbitkan).
Idjam. 1991. “Patilasan Sanghiyang Ibu Ratu Galuh”. (catatan tidak diterbitkan).
Indradjaja, Agustijanto. 1998. “Beberapa Masalah Perubahan Status Tanah di Jawa Barat Menurut Sumber Prasasti”. Dalam Dinamika Budaya Asia Tenggara-Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: Harvard University Press.
Krom, N.J. 1915. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1914. Batavia: Albrecht & Co.
Munandar, Agus Aris. 1992. “Bangunan Suci Pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis”. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, Batu, Malang: 26-30 Juli 1992. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Nastiti, Titi Surti. 1996. “Prasasti Kawali”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 4/November/1996.
Renfrew, Colin; Paul Bahn. 1991. Archaeology: Theories, Methods, and Practice. London: Thames and Hudson.
Satari, Sri Soejatmi. 1975. “Seni Rupa dan Arsitektur Zaman Klasik di Indonesia”. Dalam Kalpataru. Jakarta: Puslit Arkenas.
Stutterheim, W.F. 1956. An Ancient Javanese Bhima Cult. Studies in Indonesian Archaeology. The Hague: Martinus Nijhoff.
Suhadi, Machi. 1994. “Hak dan Kewajiban Kepada Tanah Sima Dalam Masa Majapahit”. Dalam Berkala Arkeologi Th. XIV. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Sumadio, Bambang (ed.). 1992. “Jaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
Surachmat, Dirman. 1985. “Prasasti Cisaga”. Makalah dalam Seminar Sejarah Nasional IV. Yogyakarta 16 – 19 Desember 1985. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Tim Penelitian Arkeologi. 1983. Laporan Sementara Penelitian Arkeologi di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (tidak diterbitkan).
[1] Kode titik pada kotak lainnya tetap seperti pada kotak LU 1. Pengukuran ketinggian/kedalaman berpatokan pada Datum Point (DP) dengan posisi 0 di dekat titik tertentu + 15 cm.
[2] Akhir spit 1 ditetapkan pada kedalaman titik terendah bagian yang digali + 20 cm yaitu pada kedalaman 60 cm.
CATATAN: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Cakrawala Arkeologi".
hlm. 46 - 60. Editor: Dr. Fachroel Aziz dan Dra. Etty Saringendyanti W,
M. Hum. Penerbit: Ikatan Arkeologi Indonesia, Bandung: 2000.
No comments:
Post a Comment