Pasca Perang Dunia II, AS melihat Rusia sebagai satu-satunya pihak yang bisa menghalangi hegemoninya atas dunia. Diluncurkanlah Marshall Plan sebagai upaya membendung pengaruh komunisme yang kian lama kian meluas, dari Eropa Timur ke arah Asia selatan, sebuah wilayah yang sangat strategis dari sisi perdagangan dunia dan geopolitik, juga sangat kaya dengan sumber daya alam dan juga manusianya. AS sangat cemas jika wilayah tersebut dikuasai Soviet. Dari semua negeri di wilayah itu, Indonesia-lah negara yang paling strategis dan paling kaya. AS sangat paham akan hal ini, sebab itu di wilayah ini Indonesia merupakan satu-satunya wilayah yang disebut dalam Marshall Plan.
Namun untuk menundukkan Indonesia, AS jelas
kesulitan karena negeri ini tengah dipimpin oleh seorang yang sukar
diatur, cerdas, dan licin. Dialah Bung Karno. Tiada jalan lain, orang
ini harus ditumbangkan, dengan berbagai cara. Sejarah telah mencatat
dengan baik bagaimana CIA ikut terlibat langsung berbagai pemberontakan
terhadap kekuasaan Bung Karno. CIA juga membina kader-kadernya di bidang
pendidikan (yang nantinya melahirkan Mafia Berkeley), mendekati dan
menunggangi partai politik demi kepentingannya (antara lain lewat PSI),
membina sel binaannya di ketentaraan (local army friend) dan
sebagainya. Setelah berkali-kali gagal mendongkel Bung Karno dan bahkan
sampai hendak membunuhnya, akhirnya pada paruh akhir 1965, Bung Karno
berhasil disingkirkan.
Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, secara de facto,
Jenderal Suharto mengendalikan negeri ini. Pekan ketiga sampai dengan
awal 1966, Jenderal Suharto menugaskan para kaki tangannya membantai
mungkin jumlahnya mencapai jutaan orang. Mereka yang dibunuh adalah
orang-orang yag dituduh kader atau simpatisan komunis (PKI), tanpa
melewati proses pengadilan yang fair. Media internasional
bungkam terhadap kejahatan kemanusiaan yang melebihi kejahatan rezim
Polpot di Kamboja ini, karena memang AS sangat diuntungkan.
Jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto
dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon
menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara”. Satu negeri
dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam,
segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan
dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan’ bagi kejayaan
imperialisme Barat.
Benar saja, Nopember 1967, Jenderal Suharto
menugaskan satu tim ekonom pro-AS menemui para ’bos’ Yahudi
Internasional di Swiss. Disertasi Doktoral Brad Sampson, dari Northwestern University AS
menelusuri fakta sejarah Indonesia di awal Orde Baru. Prof. Jeffrey
Winters diangkat sebagai promotornya. Indonesianis asal Australia, John
Pilger dalam The New Rulers of The World, mengutip Sampson dan menulis:
“Dalam bulan November 1967, menyusul
tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia
setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil
tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori
konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari
membahas strategi pengambil-alihan Indonesia.
Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis
yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller.
Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan
bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland,
British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian
Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya.”
Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto
yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut
sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.
“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan
sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah
menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di
Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta
yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang
hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya.
Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah,
cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”
Masih dalam kutipan John Pilger, “Pada hari
kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.” Prof. Jeffrey
Winters menyebutnya, “Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler.”
“Mereka membaginya dalam lima seksi:
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di
kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang
mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para
investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini
berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami
inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada
dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya
produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah
mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk
dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri.”
Freeport mendapatkan gunung tembaga di
Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan
Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat.
Sang raksasa Alcoa mendapatkan bagian terbesar dari bauksit Indonesia.
Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapatkan
hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.
Pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik sebagai Presiden RI ke-2. Tiga bulan kemudian, dia membentuk Tim Ahli Ekonomi Kepresidenan yang terdiri dari Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardhana, Prof Dr. Moh. Sadli, Prof Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr. Subroto, Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Drs. Radius Prawiro. Seluruhnya pro kapitalisme.
Nopember 1967, Suharto mengirim tim ekonomi ini ke
Swiss menemui para CEO Yahudi Internasional. Lahirlah UU PMA 1967 yang
sangat menguntungkan imperialis Barat. Prinsip kemandirian ekonomi
Indonesia yang dijaga mati-matian Bung Karno, oleh Jenderal Suharto
dihabisi dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat
tergantung pada Barat sebagai kekuatan kapitalis dunia.
“Indonesia Baru” yang lebih pro-kapitalisme
sesungguhnya telah dirancang sejak tahun-tahun 1950-an. David Ransom
dalam artikelnya yang populer berjudul “Mafia Berkeley dan Pembunuhan
Massal di Indonesia: Kuda Troya Baru dari Universitas-Universitas AS
Masuk ke Indonesia” (Ramparts, 1970) memaparkan jika AS menggunakan dua
strategi untuk menaklukkan Indonesia, tentu saja dengan menyingkirkan
Bung Karno. Pertama, membangun satu kelompok intelektuil yang berpikiran
Barat. Dan kedua, membangun satu sel dalam tubuh ketentaraan yang siap
bekerjasama dengan AS.
Yang pertama didalangi oleh berbagai yayasan
beasiswa seperti Ford Foundation dan Rockeffeler Foundation, juga
berbagai universitas ternama AS seperti Berkeley, Harvard, Cornell, dan
juga MIT. David Ransom menulis, dua tokoh Partai Sosialis Indonesia
(PSI), sebuah partai kecil yang berhaluan sosialis-kanan, yakni
Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi ujung tombak pembentukan
jaringan intelektuil pro-Barat di Indonesia. Mereka, demikian Ransom,
dibina oleh AS sejak akhir tahun 1949-an.
Sedang tugas kedua dilimpahkan kepada CIA. Salah
satu agennya bernama Guy Pauker yang bergabung dengan RAND Corporation
mendekati sejumlah perwira tinggi lewat salah seorang yang dikatakan
berhasil direkrut CIA, yakni Deputi Dan Seskoad Kol. Soewarto. Dan Intel
Achmad Soekendro juga dikenal dekat dengan CIA. Lewat orang inilah,
demikian Ransom, komplotan AS, mendekati militer. Suharto adalah murid
dari Soewarto di Seskoad.
Di Seskoad inilah para intelektuil binaan AS diberi
kesempatan mengajar para perwira. Terbentuklah jalinan kerjasama antara
sipil-militer yang pro-AS. Paska tragedi 1965 dan pembantaian rakyat
Indonesia, yang dituduh komunis, dan kelompok ini mulai membangun
‘Indonesia Baru’. Para doktor ekonomi yang mendapat binaan dari Ford
kembali ke Indonesia dan segera bergabung dengan kelompok ini, di antara
Emil Salim.
Jenderal Suharto membentuk Trium-Virat
(pemerintahan bersama tiga kaki) dengan Adam Malik dan Sultan
Hamengkubuwono IX. Ransom menulis, “Pada 12 April 1967, Sultan
mengumumkan satu pernyataan politik yang amat penting yakni garis
besar program ekonomi rejim baru itu yang menegaskan mereka akan
membawa Indonesia kembali ke pangkuan Imperialis. Kebijakan tersebut
ditulis oleh Widjojo dan Sadli.”
Ransom melanjutkan, “Dalam merinci lebih lanjut
program ekonomi yang baru saja di gariskan Sultan, para teknokrat
dibimbing oleh AS. Saat Widjojo kebingungan menyusun program
stabilisasi ekonomi, AID mendatangkan David Cole, ekonom Harvard yang
baru saja membuat regulasi perbankan di Korea Selatan untuk membantu
Widjojo. Sadli juga sama, meski sudah doktor, tapi masih memerlukan
“bimbingan”. Menurut seorang pegawai Kedubes AS, “Sadli benar-benar
tidak tahu bagaimana seharusnya membuat suatu regulasi Penanaman Modal
Asing. Dia harus mendapatkan banyak dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ini merupakan tahap awal dari program Rancangan
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) Suharto, yang disusun oleh para
ekonom Indonesia didikan AS, yang masih secara langsung dimbing oleh
para ekonom AS sendiri dengan kerjasama dari berbagai yayasan yang ada.
Juni 1968, Jenderal Suharto secara diam-diam dan
mendadak mengadakan reuni dengan orang-orang binaan Ford, yang dikenal
sebagai “Mafia Berkeley” (untuk merancangkan susunan Kabinet Pembangunan
dan badan-badan penting tingkat tinggi lainnya): sebagai Menteri
Perdagangan ditunjuk Dekan FEUI Sumitro Djojohadikusumo (Doctor of
Philosophy dari Rotterdam), Ketua BPPN ditunjuk Widjojo Nitisastro
(Doctor of Philosophy Berkeley, 1961), Wakil Ketua BPN ditunjuk Emil
Salim (Doctor of Philosophy, Berkeley, 1964 ), Dirjen Pemasaran dan
Perdagangan ditunjuk Subroto (Doctor of Philosophy dari Harvard, 1964),
Menteri Keuangan ditunjuk Ali Wardhana (Doctor of Philosophy, Berkeley,
1962), Ketua Team PMA Moh. Sadli (Master of Science, MIT, 1956), Sekjen
Departemen Perindustrian ditunjuk Barli Halim (MBA Berkeley, 1959),
sedang Sudjatmoko, penasehat Adam Malik, diangkat jadi Duta Besar di
Washington, posisi kunci poros Jakarta-Washington.
Tim ekonomi “Indonesia Baru” ini bekeja dengan arahan langsung dari Tim Studi Pembangunan Harvard (Development Advisory Service, DAS) yang dibiayai Ford Foundation. “Kita bekerja di belakang layar,” aku Wakil Direktur DAS Lister Gordon. AS segera memback-up
penguasa baru ini dengan segenap daya sehingga stabilitas ekonomi
Indonesia yang sengaja dirusak oleh AS pada masa sebelum 1965 bisa
sedikit demi sedikit dipulihkan.
Mereka inilah yang berada dibelakang Repelita yang
mulai dijalankan pada awal 1969, dengan mengutamakan penanaman modal
asing dan swasembada hasil pertanian. Dalam banyak kasus, pejabat
birokrasi pusat mengandalkan pejabat militer di daerah-daerah untuk
mengawasi kelancaran program Ford ini.
No comments:
Post a Comment