Friday, January 6, 2012

Perempuan-Perempuan Perkasa


 
 
Setelah 80 tahun Hari Ibu diperingati (22 Desember 1928-2008), apa yang sudah dicapai oleh Ibu Indonesia? Mungkin kita tercengang. Kemajuan yang diperoleh perempuan melampaui apa yang diharapkan. Perempuan kini, tidak hanya menjelajah berbagai aspek kehidupan. Apa yang dulu hanya dikerjakan lelaki juga sudah dikerjakan perempuan. Itukah kesetaraan?

Tanpa mempertentangkan bias gender, kita harus bangga. Perempuan Indonesia ada yang menduduki jabatan Presiden. Di negara majupun, jabatan itu masih terbatas. Belum lagi dengan peluang 30% quota perempuan dalam parlemen. Pahlawati nasional, bahkan juga, sopir-sopir bus kota, pemain sepak bola, dan tentu saja tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri melengkapi profil wanita Indonesia kini.

Dalam kaitan dengan Kongres Wanita Depok 2008, barangkali perlu direnungkan bersama. Apakah peran-peran “setara” seperti itu yang layak dilanjutkan. Karena justru persoalan pengangguran laki-laki lebih berbahaya. Kemajuan peran perempuan harus tetap bertumpu pada sunatullah yang berdasarkan firman Allah (Al Qur’an). Sehingga, walau kadang kita masih sulit memahami; kesetaraan yang ditiupkan berdalih women liberation perlu terus dicermati.

Kita patut prihatin wanita yang bekerja diluar negeri sebagai TKW. Walaupun secara ekonomis hal ini sangat membantu negara, tetapi tidak untuk keharmonisan keluarganya. Berbagai kasus menunjukkan, lebih banyak kerugian akibat wanita bekerja diluar rumah. Sementara lelaki, sebagai kepala keluarga menjadi penunggu rumah. Kita tidak sepakat seluruhnya, bahwa peran domestik itu terjadi karena akibat konstruksi sosial belaka.

http://unik13.info/wp-content/uploads/2010/10/wanita-perkasa-2.jpg



Berevolusi
 
Dunia kerja saat ini memang sedang berevolusi. Pelan tetapi pasti, struktur lapangan kerja telah berubah. Bahkan, hal-hal yang dulu sangat ditentang, kini dapat “dipahami”. Misalnya, wanita tuna susila (WTS) menjadi pekerja seks komersial (PSK). Penghalusan kata penuh permisifisme, menjadi racun atas nama kesetaraan.

Sepertinya ada skenario yang terencana. Seperti dijelaskan oleh Samuel P. Huntington. Dunia ini sedang terjadi perang peradaban (clash civilization) antara Barat dan Timur. Dalam terminologi lain bisa disebut sebagai perang pemikiran (ghozwul fikir). 

Indikasinya, Lembaga donor internasional begitu gencar dan murah hati ketika mendukung gerakan feminisme. Tetapi sangat pelit untuk pengembangan budaya ketimuran. Sistem ekonomi dunia juga mengarahkan, agar perempuan lebih banyak bekerja diluar rumah.

Semestinya negaralah yang harus menciptakan struktur peluang kerja, agar lelaki lebih banyak bekerja diluar rumah. Sehingga dengan demikian para Ibu dengan damai mendidik anak-anaknya dirumah. Saat ini, diberbagai pekerjaan, khususnya industri; mayoritas pekerja adalah perempuan.

Berdasarkan data (2007), pekerja perempuan pada Februari 2007 bertambah 2,12 juta orang dibanding Februari 2006. Kenaikan sangat signifikan. Bandingkan, jumlah pekerja laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang. Secara ekonomis partisipasi perempuan dalam dunia kerja meningkat.

Dalam hal pengangguran, pada Februari 2007 tercatat sebesar 9,75 % dari total penduduk. Jumlah tersebut turun 10,28 % dibanding Agustus 2006 (10,28 %), dan turun 10,40 % dibanding Februari 2006. Tingkat pengangguran tertinggi masih terjadi di Pulau Jawa sebesar 10,39 % pada Februari 2007, dan terendah di Bali dan Nusa Tenggara sebesar 5,49 %. Dan tentu saja, dampak pengangguran laki-laki lebih berbahaya. 

http://img696.imageshack.us/img696/7007/batu1s.jpg



Ibu, kasihani bayi kita
 
Dengan kesibukan mencari nafkah, kini terjadi gejala perempuan lengah terhadap  lembaga keluarga. Padahal, secara kodrati hanya perempuan yang mempunyai fasilitas menyusui bayi. Semaskulin perempuan, masih mempunyai keunggulan sebagai pemberi ASI (air susu ibu). Demikian pula, sefeminim laki-laki, tidak mungkin dia dapat menyusui anaknya sendiri.

Jika semua sibuk diluar rumah, lalu siapa yang harus menyusui bayi hingga 2 tahun? Siapa yang membantu anak belajar? Tuntutan ekonomi terkadang telah meluruhkan naluri kasih kita kepada anak. Bisa jadi dengan semua orang tua bekerja, kita menjadi serba berkecukupan. Tetapi kita harus pula siap membayar akibatnya. Karena anak-anak akan kering modal ruhiahnya. Anak-anak diurus pembantu, sejak bangun tidur hingga tidur kembali. Sehingga, secara tidak sadar kita mengajarkan kepada generasi penerus, demikianlah siklus kehidupan.

Adalah lebih mudah menginjak gas daripada menginjak pedal rem, ketika kendaraan melaju kencang. Analogi ini disampaikan, agar kita tidak terjebak kepada euforia. Bukankah kita terlalu hiruk pikuk tatkala menyambut reformasi. Sehingga reformasi dipacu begitu kencang, dan akhirnya melampaui apa yang diharapkan. Ketika kita ingin mengendalikannya, maka sudah banyak persoalan yang ditinggalkan. Sehingga sulit mengendalikan.

Itu pula yang dialami bangsa Eropa terhadap gerakan women lib. Setelah revolusi industri, setelah menemukan masa pencerahan (enlightenment, aufklarung), mereka mengejar modernisasi luar biasa. Termasuk pula gerakan wanita. Tapi apa yang diperoleh mereka? Apakah budaya itu yang akan dijadikan acuan.

Di Eropa hampir tidak ada masyarakat yang mempermasalahkan sex bebas. Di Eropa orang lanjut usia (lansia) lebih nyaman tinggal dipanti jompo. Di Eropa kesetaraan dan kebebasan adalah harga mati. Tetapi dengan budaya seperti itu pula kriminalitas sex merajalela.

Tanpa bermaksud menggurui, kita patut prihatin gejala westernisasi yang dipoles dengan kesetaraan gender itu. Karena, Firman Allah sudah jelas (Al Baqoroh 120). Tidak akan rela “mereka” kepada budaya religius yang dibawa Islam, hingga ummat Islam mengikuti isme mereka. (Penulis adalah peneliti pada LKPD, tinggal di Cipayung Jaya, Depok)

No comments:

Post a Comment