Setelah
80 tahun Hari Ibu diperingati (22 Desember 1928-2008), apa yang sudah
dicapai oleh Ibu Indonesia? Mungkin kita tercengang. Kemajuan yang
diperoleh perempuan melampaui apa yang diharapkan. Perempuan kini,
tidak hanya menjelajah berbagai aspek kehidupan. Apa yang dulu hanya
dikerjakan lelaki juga sudah dikerjakan perempuan. Itukah kesetaraan?
Tanpa
mempertentangkan bias gender, kita harus bangga. Perempuan Indonesia
ada yang menduduki jabatan Presiden. Di negara majupun, jabatan itu
masih terbatas. Belum lagi dengan peluang 30% quota perempuan dalam
parlemen. Pahlawati nasional, bahkan juga, sopir-sopir bus kota, pemain
sepak bola, dan tentu saja tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri
melengkapi profil wanita Indonesia kini.
Dalam
kaitan dengan Kongres Wanita Depok 2008, barangkali perlu direnungkan
bersama. Apakah peran-peran “setara” seperti itu yang layak
dilanjutkan. Karena justru persoalan pengangguran laki-laki lebih
berbahaya. Kemajuan peran perempuan harus tetap bertumpu pada
sunatullah yang berdasarkan firman Allah (Al Qur’an). Sehingga, walau
kadang kita masih sulit memahami; kesetaraan yang ditiupkan berdalih women liberation perlu terus dicermati.
Kita
patut prihatin wanita yang bekerja diluar negeri sebagai TKW. Walaupun
secara ekonomis hal ini sangat membantu negara, tetapi tidak untuk
keharmonisan keluarganya. Berbagai kasus menunjukkan, lebih banyak
kerugian akibat wanita bekerja diluar rumah. Sementara lelaki, sebagai
kepala keluarga menjadi penunggu rumah. Kita tidak sepakat seluruhnya,
bahwa peran domestik itu terjadi karena akibat konstruksi sosial belaka.
Berevolusi
Dunia
kerja saat ini memang sedang berevolusi. Pelan tetapi pasti, struktur
lapangan kerja telah berubah. Bahkan, hal-hal yang dulu sangat
ditentang, kini dapat “dipahami”. Misalnya, wanita tuna susila (WTS)
menjadi pekerja seks komersial (PSK). Penghalusan kata penuh
permisifisme, menjadi racun atas nama kesetaraan.
Sepertinya
ada skenario yang terencana. Seperti dijelaskan oleh Samuel P.
Huntington. Dunia ini sedang terjadi perang peradaban (clash civilization) antara Barat dan Timur. Dalam terminologi lain bisa disebut sebagai perang pemikiran (ghozwul fikir).
Indikasinya,
Lembaga donor internasional begitu gencar dan murah hati ketika
mendukung gerakan feminisme. Tetapi sangat pelit untuk pengembangan
budaya ketimuran. Sistem ekonomi dunia juga mengarahkan, agar perempuan
lebih banyak bekerja diluar rumah.
Semestinya
negaralah yang harus menciptakan struktur peluang kerja, agar lelaki
lebih banyak bekerja diluar rumah. Sehingga dengan demikian para Ibu
dengan damai mendidik anak-anaknya dirumah. Saat ini, diberbagai
pekerjaan, khususnya industri; mayoritas pekerja adalah perempuan.
Berdasarkan
data (2007), pekerja perempuan pada Februari 2007 bertambah 2,12 juta
orang dibanding Februari 2006. Kenaikan sangat signifikan. Bandingkan,
jumlah pekerja laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang. Secara
ekonomis partisipasi perempuan dalam dunia kerja meningkat.
Dalam
hal pengangguran, pada Februari 2007 tercatat sebesar 9,75 % dari
total penduduk. Jumlah tersebut turun 10,28 % dibanding Agustus 2006
(10,28 %), dan turun 10,40 % dibanding Februari 2006. Tingkat
pengangguran tertinggi masih terjadi di Pulau Jawa sebesar 10,39 % pada
Februari 2007, dan terendah di Bali dan Nusa Tenggara sebesar 5,49 %.
Dan tentu saja, dampak pengangguran laki-laki lebih berbahaya.
Ibu, kasihani bayi kita
Dengan kesibukan mencari nafkah, kini terjadi gejala perempuan lengah terhadap lembaga
keluarga. Padahal, secara kodrati hanya perempuan yang mempunyai
fasilitas menyusui bayi. Semaskulin perempuan, masih mempunyai
keunggulan sebagai pemberi ASI (air susu ibu). Demikian pula, sefeminim
laki-laki, tidak mungkin dia dapat menyusui anaknya sendiri.
Jika
semua sibuk diluar rumah, lalu siapa yang harus menyusui bayi hingga 2
tahun? Siapa yang membantu anak belajar? Tuntutan ekonomi terkadang
telah meluruhkan naluri kasih kita kepada anak. Bisa jadi dengan semua
orang tua bekerja, kita menjadi serba berkecukupan. Tetapi kita harus
pula siap membayar akibatnya. Karena anak-anak akan kering modal
ruhiahnya. Anak-anak diurus pembantu, sejak bangun tidur hingga tidur
kembali. Sehingga, secara tidak sadar kita mengajarkan kepada generasi
penerus, demikianlah siklus kehidupan.
Adalah
lebih mudah menginjak gas daripada menginjak pedal rem, ketika
kendaraan melaju kencang. Analogi ini disampaikan, agar kita tidak
terjebak kepada euforia. Bukankah kita terlalu hiruk pikuk tatkala
menyambut reformasi. Sehingga reformasi dipacu begitu kencang, dan
akhirnya melampaui apa yang diharapkan. Ketika kita ingin
mengendalikannya, maka sudah banyak persoalan yang ditinggalkan.
Sehingga sulit mengendalikan.
Itu pula yang dialami bangsa Eropa terhadap gerakan women lib. Setelah revolusi industri, setelah menemukan masa pencerahan (enlightenment, aufklarung),
mereka mengejar modernisasi luar biasa. Termasuk pula gerakan wanita.
Tapi apa yang diperoleh mereka? Apakah budaya itu yang akan dijadikan
acuan.
Di
Eropa hampir tidak ada masyarakat yang mempermasalahkan sex bebas. Di
Eropa orang lanjut usia (lansia) lebih nyaman tinggal dipanti jompo. Di
Eropa kesetaraan dan kebebasan adalah harga mati. Tetapi dengan budaya
seperti itu pula kriminalitas sex merajalela.
Tanpa
bermaksud menggurui, kita patut prihatin gejala westernisasi yang
dipoles dengan kesetaraan gender itu. Karena, Firman Allah sudah jelas
(Al Baqoroh 120). Tidak akan rela “mereka” kepada budaya religius yang
dibawa Islam, hingga ummat Islam mengikuti isme mereka. (Penulis adalah peneliti pada LKPD, tinggal di Cipayung Jaya, Depok)
No comments:
Post a Comment