Seperti
yang dilansir sejumlah media, jumlah orang miskin makin merisaukan
seiring kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010. Pasalnya,
kenaikan TDL memberikan efek domino berupa kenaikan harga sembako,
ancaman PHK dan pengangguran.
Berdasarkan
standar BPS (Maret 2007), kategori miskin di antaranya seorang dengan
penghasilan di bawah Rp 167.000,-/bulan/orang atau Rp
5.500,-/hari/orang. Dengan stadar BPS, angka kemiskinan saat ini hanya
sekitar 13 persen atau sekitar 30 juta orang. Namun, menurut Bank Dunia,
salah satu kriteria orang miskin di Indonesia adalah mereka yang
berpenghasilan di bawah 2 dolar/Rp 19.000,- perhari (sekitar Rp 500
ribu/bulan). Jika menggunakan ukuran World Bank ini, angka kemiskinan di
Indonesia bisa di atas 43 persen dari sekitar 240 juta penduduk
Indonesia; kira-kira mendekati 100 juta jiwa. Inilah fakta keseharian
kehidupan rakyat yang amat menyedihkan. Padahal bukankah mereka hidup di
sebuah negeri yang subur serta kaya dengan kandungan mineral dan
sumber daya alam lainnya?
Pemerintah Tak Peduli
Di negeri ini, penerapan sistem ekonomi Kapitalisme-yang akhir-akhir ini makin mengarah pada liberalisme ekonomi-menjadi akar
munculnya kemiskinan yang terus meningkat. Dalam sistem ekonomi
liberal, Pemerintah tidak lagi memerankan fungsinya sebagai pemelihara
urusan-urusan dan kebutuhan dasar rakyatnya. Bahkan di tengah
kemiskinan rakyat, Pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang makin membebani rakyat. Mulai April lalu, misalnya, Pemerintah
menaikkan harga pupuk urea isi 50 kilogram sebesar 50 persen, yakni
dari Rp 60 ribu menjadi Rp 90 ribu. Kenaikan ini muncul karena anggaran subsidi yang semula Rp 11,3 triliun dikurangi menjadi Rp
4,2 triliun. Padahal tahun 2009 lalu, besarnya subsidi pupuk mencapai
Rp 17,6 triliun. Dampak dari kenaikan harga pupuk ini sudah terasa Juni
lalu. Harga produk pertanian melambung tinggi, sementara pendapatan
masyarakat malah turun karena harga pokok produksi hanya naik 10
persen. Bagaimana para petani bisa untung?
Namun,
masalahnya tidak hanya berhenti di sini. Pasalnya, dalam sistem
ekonomi liberal, saat Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap
nasib rakyat, Pemerintah justru lebih berpihak kepada para pemilik
modal, termasuk pihak asing. Contoh: terkait kenaikan tarif listrik.
Kasus terbaru menunjukkan bagaimana Pemerintah negeri ini mengelola
Proyek Gas Donggi Senoro. Pemerintah memutuskan bahwa untuk proyek gas
Donggi Senoro, 30% dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan
70% untuk ekspor. Padahal yang 30% itu saja belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan gas PT PLN. Artinya, kebutuhan dalam negeri untuk PLN dan
industri lainnya seperti industri pupuk sesungguhnya masih sangat besar.
Sungguh ironis, saat kebutuhan akan gas di dalam negeri begitu besar,
Pemerintah justru mengalokasikan 70% untuk ekspor. Padahal jika
kebutuhan pasokan gas domestik mendapat prioritas maka kekurangan
pasokan gas untuk PLN, pabrik pupuk dan pabrik lainnya akan terpenuhi.
Hal ini secara pasti akan membuat harga produksi listrik turun sehingga
harga TDL tidak perlu dinaikkan, bahkan bisa diturunkan. Lebih dari
itu, dengan ketersediaan bahan bakar pembangkit yang jauh lebih murah
dan sangat besar, seperti batu bakar dan gas, Pemerintah melalui PT PLN
dapat segera memperbesar kapasitas produksi listrik dan ini akan
segera dapat mengatasi kekurangan pasokan serta menambah luasnya
jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat.
Kebijakan
Pemerintah ini tentu patut dipertanyakan. Apakah karena ada
kepentingan para pemungut rente yang tidak ingin kehilangan
penghasilannya dari pasokan BBM ke PT PLN selama ini? Juga apakah ada
kepentingan pemungut rente karena komisi dari penjualan ekspor gas
keluar negeri? Hal ini menjadi sangat
mungkin mengingat besarnya rente yang akan dinikmati para makelar yang
mengatasnamakan kebijakan negara. Kalau ini benar, inilah dampak nyata
dari sistem kapitalis yang menyuburkan kolusi antara pengusaha dan
pengusaha, dengan mengorbankan rakyat banyak.
Penguasa dan Pejabat Bermewah-mewahan
Presiden
SBY mengajak warga masyarakat Indonesia agar tetap berhemat dalam
menggunakan energi, baik energi listrik, gas, maupun minyak bumi serta
energi lainnya. “Kita sama-sama lakukan hemat energi, jangan boros, dan
sejak anak-anak harus sudah mulai berhemat energy, apapun bentuknya,”
ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Ajakan
itu sebenarnya sudah basi. Pasalnya, penghematan di jajaran
pemerintahan tak pernah terlihat. Masyarakat masih ingat bagaimana uang
Rp 22.55 miliar untuk tahun anggaran tahun 2009 dihamburkan hanya untuk
merenovasi pagar Istana. SBY sendiri tak memberikan contoh bagaimana
dirinya melakukan hemat energi itu; misalnya ia naik kendaraan umum saja
ke Istana atau seluruh listrik Istana dimatikan pada malam hari. Itu
tidak terjadi. Inilah sikap ‘munafik’ penguasa.
Pada
tahun 2011, Pemerintah pun berencana membeli pesawat kepresidenan
jenis Boeing 737-800 NG, dengan harga dipatok US$ 84,5 juta, sekitar Rp
800 miliar lebih. Selain itu, dalam kurun waktu 2001-2011 Presiden SBY
menghabiskan Rp 1,173 triliun untuk anggaran “plesiran”-nya ke luar
negeri. Anggaran “jalan-jalan” Presiden SBY tahun 2011 saja dipatok
sebesar Rp 181 miliar. Ini jauh di atas anggaran presiden sebelumnya di
era GusDur yang total menghabiskan Rp 48 miliar dan semasa Megawati Rp
48,845 miliar. Lalu untuk kebutuhan baju Presiden saja, anggarannya
mencapai Rp 893 juta pertahun atau Rp 74 juta perbulan atau sekitar Rp
18 juta perminggu. Padahal gaji Presiden Indonesia saat ini saja sudah
amat besar, hanya terpaut sedikit saja dari gaji tertinggi sejumlah
kepala negara di dunia, terutama jika dikaitkan dengan tingkat
kemakmuran rakyatnya. Sebagaimana diketahui, total gaji Presiden SBY
saat ini adalah sebesar Rp 62.740.000,-. Adapun kepala negara dengan
gaji tertinggi di dunia adalah Presiden Singapura, Hongkong, Amerika
Serikat, Irlandia dan Prancis. (Http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3409487).
Sebelumnya,
DPR meloloskan proyek gedung megah yang nilainya Rp 1,8 triliun. Ini
menunjukkan bahwa penguasa, baik kalangan eksekutif maupun legislatif,
betul-betul telah hilang kepekaannya terhadap rakyat. Mereka lebih
mementingkan diri sendiri daripada rakyatnya.
Selain
itu, wajah APBN kita pun tidak pro rakyat. Ini bisa disimak dari APBN
Perubahan 2010. Di sana tergambar jelas bahwa APBN itu lebih ditujukan
untuk kepentingan pragmatis elit politik dan pejabat, ketimbang untuk
rakyat. DPR, misalnya, berhasil mengajukan anggaran fantastis sebesar Rp
1,8 triliun untuk pembangunan gedung barunya. Angka ini lebih besar
dari anggaran program keluarga harapan yang hanya senilai Rp 1,3 triliun
untuk 810 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Padahal anggaran Rp
1,8 triliun ini bisa dimanfaatkan oleh 1,1 juta RTSM melalui program
keluarga harapan, dibandingkan untuk gedung baru DPR yang hanya
dinikmati 560 anggotanya.
Pemerintah
juga kembali mengajukan tambahan anggaran untuk remunerasi (kenaikan
gaji pejabat) senilai Rp 3,3 triliun sehingga total menjadi Rp
13,9 triliun. Padahal terbukti kenaikan gaji pejabat tidak mampu
menghentikan kebiasaan korupsi yang bercokol di birokrasi. Di sisi
lain, triliunan uang tersebut bisa digunakan untuk 76,4 juta Jaminan
Kesehatan Masyarakat Miskin selama 3 tahun, atau 1,9 juta balita gizi
buruk dan 1,8 miliar liter beras.
berikut bentuk kerja keras mereka
ketika mereka berkonsentrasi
pada saat rapat membahas rakyat
Saatnya Hentikan Sistem/Rezim Tak Amanah
Gaya
hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari
mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa
dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka,
jabatan identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang
penghasilan yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan
jabatan/kekuasaan.
Sikap
mereka ini berbeda dengan para khalifah (kepala negara Khilafah) dulu.
Bagi para khalifah, jabatan adalah amanah. Karena itu,
jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang menjadi hak
rakyatnya. Bagi mereka, martabat dan kehormatan justru terletak pada
ketakwaan, dan salah satu ukuran ketakwaan terletak pada sikap amanah
dalam mengurus rakyat, bukan pada kemewahan. Karena itu, kesederhanaan
mereka tidak membuat mereka kehilangan martabat dan kehormatan. Wajar
jika kisah kesederhanaan para khalifah kaum Muslim pada masa lalu banyak
menghiasi sejarah peradaban Islam nan agung ini. Imam as-Suyuthi
menuturkan dalamTarikh al-Khulafa’-nya
tentang kisah kesederhanaan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.,
misalnya, yang tidak pernah malu berpakaian dengan banyak tambalan,
bukan dengan kain yang sama, tetapi dengan kain yang berbeda, bahkan
dengan kulit
hewan. Khalifah Umar ra. juga biasa tidur nyenyak di atas hamparan
pasir, dengan berbantalkan pelepah kurma di sebuah kebun kurma, tanpa
seorang pun pengawal. Namun, di balik kebersahajaan itu, Khalifah Umar
dan para khalifah kaum Muslim itu mempunyai prestasi yang luar biasa.
Mereka berhasil memakmurkan rakyatnya sekaligus menjadikan
Islam dan Khilafah Islam memimpin dunia selama berabad-abad dengan
segala kemuliaan dan keagungannya. Bandingkanlah dengan para penguasa
kaum Muslim saat ini, termasuk di negeri ini. Mereka hidup mewah,
tetapi miskin prestasi, bahkan menjadi musibah bagi rakyatnya.
‘Ala kulli hal, umat belum terlambat untuk menyadari bahwa sistem sekular-kapitalis-liberal inilah yang menjadi penyebab hilangnya karakter para pemimpin yang sederhana dan zuhud, sekaligus yang menjadi penyebab suburnya para pemimpin yang tamak akan ‘sekerat tulang’ dunia.
Karena
itu, umat belum terlambat untuk segera menerapkan sistem (syariah)
Islam sebagai wujud ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Hanya dengan
ketakwaanlah Allah SWT menjamin keberkahan hidup bagi mereka,
sebagaimana firman-Nya:
وَلَو أَنَّ أَهلَ القُرىٰ ءامَنوا وَاتَّقَوا لَفَتَحنا عَلَيهِم بَرَكٰتٍ مِنَ السَّماءِ وَالأَرضِ وَلٰكِن كَذَّبوا فَأَخَذنٰهُم بِما كانوا يَكسِبونَSekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Sebaliknya,
jika umat ini tetap berpaling dari peringatan Allah SWT, enggan
menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan dalam
institusi Khilafah, maka kesempitan akan selalu menjadi ‘hiasan hidup’ mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَمَن أَعرَضَ عَن ذِكرى فَإِنَّ لَهُ مَعيشَةً ضَنكًا وَنَحشُرُهُ يَومَ القِيٰمَةِ أَعمىٰSiapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam Keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
No comments:
Post a Comment