Ada sebuah pertanyaan penting
yang cukup mendasar bagi setiap kaum muslimin yang telah mengakui
dirinya sebagai seorang muslim. Setiap muslim selayaknya bisa
memberikan jawaban dengan jelas dan tegas atas pertanyaan ini, karena
bahkan seorang budak wanita yang bukan berasal dari kalangan orang
terpelajar pun bisa menjawabnya. Bahkan pertanyaan ini dijadikan oleh
Rasulullah sebagai tolak ukur keimanan seseorang. Pertanyaan tersebut
adalah “Dimana Allah?”.
Jika
selama ini kita mengaku muslim, jika selama ini kita yakin bahwa Allah
satu-satunya yang berhak disembah, jika selama ini kita merasa sudah
beribadah kepada Allah, maka sungguh mengherankan bukan jika kita tidak
memiliki pengetahuan tentang dimanakah
dzat yang kita sembah dan kita ibadahi selama ini. Atau dengan kata
lain, ternyata kita belum mengenal Allah dengan baik, belum benar-benar
mencintai Allah dan jika demikian bisa jadi selama ini kita juga belum
menyembah Allah dengan benar. Sebagaimana perkataan seorang ulama
besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: “Seseorang
tidak dapat beribadah kepada Allah secara sempurna dan dengan keyakinan
yang benar sebelum mengetahui nama dan sifat Allah Ta’ala” (Muqoddimah Qowa’idul Mutsla).
Sebagian orang juga mengalami
kebingungan atas pertanyaan ini. Ketika ditanya “dimanakah Allah?” ada
yang menjawab ‘Allah ada dimana-mana’, ada juga yang menjawab ‘Allah ada
di hati kita semua’, ada juga yang menjawab dengan marah sambil
berkata ‘Jangan tanya Allah dimana, karena Allah tidak berada
dimana-mana’. Semua ini, tidak ragu lagi, disebabkan kurangnya
perhatian kaum muslimin terhadap ilmu agama, terhadap ayat-ayat Allah
dan hadits-hadits Rasulullah yang telah jelas secara gamblang
menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini, bak mentari di siang hari.
Allah Bersemayam di Atas Arsy
“Dimanakah Allah?” maka jawaban yang benar adalah Allah bersemayam di atas Arsy, dan Arsy berada di atas langit. Hal ini sebagaimana diyakini oleh Imam Asy Syafi’I, ia berkata: “Berbicara tentang sunnah
yang menjadi pegangan saya, murid-murid saya, dan para ahli hadits
yang saya lihat dan yang saya ambil ilmunya, seperti Sufyan, Malik, dan
yang lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah,
serta bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya” (Kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah,
Bab 4). Demikian juga diyakini oleh para imam mazhab, yaitu Imam Malik
bin Anas, Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal
(Imam Hambali), tentang hal ini silakan merujuk pada kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah karya Muhammad bin Abdirrahman Al Khumais.
Keyakinan para imam tersebut
tentunya bukan tanpa dalil, bahkan pernyataan bahwa Allah berada di
langit didasari oleh dalil Al Qur’an, hadits, akal, fitrah dan ‘ijma.
1. Dalil Al Qur’an
Allah Ta’ala dalam Al Qur’anul Karim banyak sekali mensifati diri-Nya berada di atas Arsy yaitu di atas langit. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy” (QS. Thaha: 5)
Ayat ini jelas dan tegas menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang di langit (yaitu Allah) kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang” (QS. Al Mulk: 16)
Juga ayat lain yang artinya:
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij: 4). Ayat pun ini menunjukkan ketinggian Allah.
2. Dalil hadits
Dalam
hadits Mu’awiyah bin Hakam, bahwa ia berniat membebaskan seorang budak
wanita sebagai kafarah. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji budak wanita tersebut. Beliau bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di atas langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda utusan Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda yang artinya:
“Setelah selesai menciptakan makhluk-Nya, di atas Arsy Allah menulis, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku’ ” (HR. Bukhari-Muslim)
3. Dalil akal
Syaikh
Muhammad Al Utsaimin berkata: “Akal seorang muslim yang jernih akan
mengakui bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan maha suci dari segala
kekurangan. Dan ‘Uluw (Maha Tinggi) adalah sifat sempurna dari Suflun (rendah). Maka jelaslah bahwa Allah pasti memiliki sifat sempurna tersebut yaitu sifat ‘Uluw (Maha Tinggi)”. (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha)
4. Dalil fitrah
Perhatikanlah
orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan, kemana ia
akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon pertolongan?
Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya, akan
menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon kepada
Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.
Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah tidak serupa dengan makhluknya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)
Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang berada di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa mendeskripsikan atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya. Imam Malik pernah ditanya dalam majelisnya tentang
bagaimana caranya Allah bersemayam? Maka beliau menjawab: “Bagaimana
caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam Qur’an dan Sunnah), sedangkan
istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya, menanyakan tentang bagaimananya
adalah bid’ah, dan saya memandang kamu (penanya) sebagai orang yang
menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya keluar dari majelis”.
(Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)
Allah Bersama Makhluk-Nya
Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah bersamamu di mana pun kau berada” (QS. Al Hadid: 4)
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala
berada di segala tempat. Karena jika demikian tentu konsekuensinya
Allah juga berada di tempat-tempat kotor dan najis, selain itu jika
Allah berada di segala tempat artinya Allah berbilang-bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka yang benar, Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat bersama hambanya. Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan antara dua pernyataan tersebut.
Karena kata ma’a
(bersama) dalam ayat tersebut, bukanlah kebersamaan sebagaimana
dekatnya makhluk dengan makhluk, karena Allah tidak serupa dengan
makhluk. Dengan kata lain, jika dikatakan Allah bersama makhluk-Nya
bukan berarti Allah menempel atau berada di sebelah makhluk-Nya apalagi
bersatu dengan makhluk-Nya.
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin
menjelaskan hal ini: “Allah bersama makhluk-Nya dalam arti mengetahui,
berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain
yang menyatakan ke-rububiyah-an Allah sambil bersemayam di atas Arsy di atas makhluk-Nya” (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha) .
Ketika berada di dalam gua bersama Rasulullah karena dikejar kaum musyrikin, Abu Bakar radhiallahu’anhu merasa sedih sehingga Rasulullah membacakan ayat Qur’an, yang artinya:
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Taubah: 40)
Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan
maksud ayat ini: “ ’Allah bersama kita’ yaitu dengan pertolongan-Nya,
dengan bantuan-Nya dan kekuatan dari-Nya”. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah), sesungguhnya Aku qoriib (dekat). Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu” (QS. Al Baqarah: 186)
Dalam ayat ini pun kata qoriib
(dekat) tidak bisa kita bayangkan sebagaimana dekatnya makhluk dengan
makhluk. Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini:
“Sesungguhnya Allah Maha Menjaga dan Maha Mengetahui. Mengetahui yang
samar dan tersembunyi. Mengetahui mata yang berkhianat dan hati yang
ketakutan. Dan Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang berdoa, sehingga
Allah berfirman ‘Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepada-Ku’ ”.
Kemudian dijelaskan pula: “Doa ada 2 macam, doa ibadah dan doa
masalah. Dan kedekatan Allah ada 2 macam, dekatnya Allah dengan
ilmu-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya, dan dekatnya Allah kepada
hambaNya yang berdoa untuk mengabulkan doanya” (Tafsir As Sa’di).
Jadi, dekat di sini bukan berarti menempel atau bersebelahan dengan
makhluk-Nya. Hal ini sebenarnya bisa dipahami dengan mudah. Dalam
bahasa Indonesia pun, tatkala kita berkata ‘Budi dan Tono sangat
dekat’, bukan berarti mereka berdua selalu bersama kemanapun perginya,
dan bukan berarti rumah mereka bersebelahan.
Kaum muslimin, akhirnya telah
jelas bagi kita bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada dekat dan selalu
bersama hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui isi-isi hati kita. Allah tahu
segala sesuatu yang samar dan tersembunyi. Allah tahu niat-niat buruk
dan keburukan maksiat yang terbesit di hati. Allah bersama kita, maka
masih beranikah kita berbuat bermaksiat kepada Allah dan meninggakan
segala perintah-Nya?
Allah tahu hamba-hambanya yang
butuh pertolongan dan pertolongan apa yang paling baik. Allah pun tahu
jeritan hati kita yang yang faqir akan rahmat-Nya. Allah dekat dengan
hamba-Nya yang berdoa dan mengabulkan doa-doa mereka. Maka, masih
ragukah kita untuk hanya meminta pertolongan kepada Allah? Padahal
Allah telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Kemudian, masih
ragukah kita bahwa Allah Ta’ala sangat dekat dan mengabulkan doa-doa kita tanpa butuh perantara? Sehingga sebagian kita masih ada yang mencari perantara dari dukun, paranormal, para wali dan sesembahan lain selain Allah. Wallahul musta’an.
No comments:
Post a Comment