Tuesday, October 23, 2012

Riset Gunung Padang : Sebuah Pendekatan & Pemikiran kerakyatan


Munculnya kritik dan sekaligus dukungan atas penelitian disitus Gunung Padang karena dianggap pendekatan arkeologi banyak ditinggalkan. Pada kenyataannya, meski tidak presisi betul anggapan tersebut, yang bisa disampaikan adalah, penelitian ini banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki minat yang kuat di lapangan (dan merupakan bagian dari warga negara yang informed), dibandingkan pendekatan keilmuan semata apalagi sudah menutup diri dengan satu cabang ilmu pengetahuan saja.

Karenanya pertanyaan-pertanyaan seperti apakah relevansinya penelitian Gunung Padang dengan masalah yang kita dihadapi saat ini, siapa yang diuntungkan dari penelitian selain peneliti, dan bagaimana manfaat yang bisa dicapai? Bagaimana para peneliti mengetahui apa yang mereka bicarakan? Apakah mereka hanya mengarang cerita ? adalah pertanyana yang hanya bisa dijawab dengan satu kalimat, apapun metode dan siapapun dan dari latar belakang manapun, bahkan ekstrimnya adalah dari negara mana saja, jawabnya adalah penelitian ini hasilnya harus untuk kesejahteraan rakyat, tidak hanya Cianjur Jawa Barat, namun untuk keseluruhan rakyat Indonesia. Inilah yang saya maksud dengan pemikiran dan pendekatan kerakyatan dari Tim Terpadu dan Mandiri Gunung Padang.
Tim ini meski belum selesai, harapannya dengan keterpaduan dan kolaborasi yang mandiri dapat dihasilkan banyak hal.
Diantaranya, pertama, melanjutkan program untuk penelitian masa depan dilokasi atau daerah berdasarkan laporan dan temuan di Gunungadang. Kedua, mampu melakukan evaluasi studi arkeologi dari segi desain penelitian, pendekatan teoretis, dan logika. Ketiga melakukan evaluasi secara etika (dan sampai pada batas hukum tertentu) hal hal seputar dokumentasi, pelestarian situs, interpretasi, dan “kepemilikan” dari peninggalan arkeologis. Keempat, membangun solusi sebagai bentuk bentuk koordinasi baru, sebagai pengalaman penelitian mengapa para peneliti harus mempertimbangkan (kadang-kadang dissenting) atas perspektif pemangku kepentingan yang berbeda.
Penting sedikit saya sampaikan, sedikit ikhtisar tentang Arkeologi, mengingat dalam riset Gunung Padang, kehadirannya sungguh merupakan pencaharian minat, dan didalam perjalanannya seolah arkeologi diranah publik kaitannya dengan penelitian ini, seolah menjadi ilmu yang monade (tanpa pintu dan jendela).
Arkeologi adalah disiplin yang relatif muda dalam humaniora, diciptakan dari studi klasik evolusi sosial di akhir abad kesembilan belas, melalui karya awal seperti John Lubbock dan Pitt Rivers Augustus. Dalam banyak hal, adalah anak dari kedua Charles Darwin dan Karl Marx, yang telah membentuk pengaruh perkembangannya sampai sekarang. Secara metodologis dan teoritis pada pertengahan abad kedua puluhdikembangkan secara khusus oleh Gordon Childe (McNairn 1980). Seperti perkembangan ilmu sosial lainnya teori arkeologi telah melalui serangkaian transformasi sejak tahun 1960, dari ‘sejarah budaya’ (studi perubahan budaya melalui difusi dan migrasi) ke Arkeologi Baru (studi ‘arkeologi prosesual’ ) dan arkeologi pasca-prosesual (berbagai perspektif postmodern dan post-strukturalis). Arkeologi baru mengembangkan kesadaran sosial di tahun 1980-an dan 1990-an
Mari kita coba periksa, seperti menjadi pengetahuan bersama, masa lalu adalah salah satu perbatasan pengetahuan yang besar, dimana eksplorasi dan penemuan masih dapat menggetarkan dan mengejutkan kita dalam mencari asal-usul dan perkembangan kemanusiaan kita. Dimasa kini dalam skala kecil cara untuk mencari tahu siapa kita dengan cara di mana kita telah datang merupakan “warisan” dari generasi generasi sebelumnya.
Hambatan dari teknik ini adalah kita harus mempelajari orang tua kita sebelum sebelumnya yang telah lama mati, yang mungkin telah meninggalkan beberapa catatan atau tidak tertulis dari kehidupan mereka sebelumnya. Keyrbatasa perspektif generasi ini yang membuat modal sosial bangsa ini terhadap posisi sejarah dan budaya menemukan hambatannya. Usia cerita dan dokumentasi rata rata dibawah tujuh generasi bahkan kurang, tentu bukanlah tugas yang mudah.
Karenanya, batu yang dianggap bisu merupakan tantangan luar biasa bagi para peneliti. Tantangan tersebut harus dijawab dengan melakukan mobilisasi beragam bahan sumber dan metode. Tugas mengungkap sisa-sisa peristiwa, orang dan proses yang membentuk jalur yang telah menyebabkan dari awal hingga akhir diyakini sebagai pengetahuan yang hilang yang cepat atau lambat harus segera ditemukan.
Penemuan kembali sejarah pengetahuan ini saat ini sedang dilakukan dengan penelitian disitus Gunung Padang. Para peneliti meyakini, kesejahteraan rakyat Indonesia dan kejayaan nusantara akan terwujud lebih cepat dengan hasil penelitian ini nantinya. Mobilisasi teknik ilmiah yang canggih – georadar, geolistrik, radiokarbon, analisis kimia, analisis geofisika, pengukuran isotop, analisis DNA kuno dan modern, Palinologi, analisis fauna, Osteologi manusia, simulasi komputer, statistik multivariat, analisis metalurgi, dll – diarahkan untuk menjawab pertanyaan tentang kemanusiaan dan ide ide kesejahteraan rakyat.
Sedikit mengurai temuan sementara dari tim, tentang gunung padang. Dari analisis bentang alam memperlihatkan bahwa bukit di bawah Situs Gunung Padang ini tidak selaras dengan sekitarnya, mirip dengan G. Sadahurip tapi lebih “subtle”. Sebagaimana G. Sadahurip, interpretasi geologi yang paling masuk akal untuk bukit yang “solitaire” ini adalah merupakan suatu intrusi batuan beku atau sebuah gunung api purba. Namun, hasil survey pencitraan bawah permukaan Gunung Padang dengan memakai GPR (Ground Penetration radar), Geolistrik, dan Geomagnet tidak menunjang kearah dugaan bentukan proses geologi melainkan tapi malah lebih mengindikasikan suatu struktur bangunan buatan manusia.
Kemudian hasil untuk GPR menggunakan peralatan georadar dari GSSI (USA), geolistrik memakai teknologi multi-channel SuperSting R-8 (USA), dan geomagnet memakai peralatan dari GEM-Ovenhausser yang sangat sensitive dan biasa dipakai oleh para arkeolog dunia.
Dari banyak lintasan pengukuran geolistrik dengan berbagai konfigurasi ketelitian dan “depth of penetration” yang berbeda untuk memperoleh penampang struktur “resistivity” Utara-Selatan dan Barat – Timur. Singkatnya, data geolistrik tidak memperlihatkan struktur intrusi magma, volcanic plug ataupun gunung purba, melainkan satu geometri yang sangat unik dan kelihatannya tidak alamiah.
Di bawah situs justru memperlihatkan ada lapisan dengan resistivity ribuan Ohm-meters (warna merah) dengan tebal sekitar 20-30meter, miring ke Utara tapi uniknya bagian atas lapisan ini seperti TERPANCUNG RATA (di kedalaman 20 meteran dari puncak) dan membaji pas di ujung selatan Situs. Ini kuat mengindikasikan bahwa dari kedalaman 20 meter ke atas merupakan struktur (bangunan) yang dibuat manusia. Lapisan high resistivity (merah) biasanya adalah batuan keras massif – seperti batuan andesit-basalt. Kemudian yang lebih mencengangkan lagi di bawah lapisan merah ini juga kelihatannya sukar untuk dikatakan bentukan geologi. Di bawah lapisan merah ada lapisan yang “low-resistivity” dengan bentukan-bentukan membulat dari zona very low resistivity (mendekati 1 ohm-m = true conductor).
Yang lebih unik lagi lapisan biru ini dialasi oleh suatu struktur high resistivity (batuan keras) yang berbentuk seperti cekungan atau “cawan raksasa”. Posisi cawan ini kira-kira sekitar 100 meter dari puncak atau setara dengan level tempat parkir dipermulaan tangga untuk naik ke situs.
Kenampakan struktur cawan ini sangat konsisten terlihat di lintasan Utara-Selatan dan Barat-Timur dan diberbagai konfigurasi survey. Sebagai informasi, keberadaan struktur seperti cawan atau kolam ini juga terdapat di penampang resistivity hasil survey geolistrik di Gunung Sadahurip.
Dugaan dari hasil survey Geolistrik bahwa lapisan sekitar 20 meter ke bawah dari atas situs adalah sebuah konstruksi bangunan ditunjang oleh Survey GPR. Survey GPR dilakukan berbagai lintasan atas situs dengan memakai antenna MLF 40 MHz dari SIR-20 GSSI yang dapat menembus kedalaman sampai sekitar 25-30 meteran. Dari GPR terlihat ada bidang “very high reflector” di kedalaman sekitar 3-5 meter dari permukaan di semua teras. Bidang ini sangat horizontal dan juga membentuk undak-undak seperti situs di atasnya.
Dibawah bidang ini struktur lapisan tidak kalah unik. Ada lapisan melintang yang memotong lapisan-lapisan horizontal yang tidak mungkin merupakan struktur geologi untuk lingkungan di bukit ‘vulkanik’. Singkatnya, penampang georadar sangat mendukung adanya struktur bangunan sampai kedalaman 20 m.
Tim juga kemudian melakukan survey geolistrik 3-D di atas situs yang dimaksudkan untuk mendapatkan sub-surface structure yang lebih detil sampai kedalaman 25 meteran. Survey 3-D berhasil meng-iluminasi struktur di bawah situs dengan baik. Salah satu hasil yang membuat kami terperangah adalah kenampakan tiga tubuh “very-high resistivity” (lebih dari 50.000 ohm.m) di bawah situs. Dengan nilai resistivitas setinggi ini kemungkinannya ada dua: tubuh yang sangat solid/pejal atau merupakan ruang (“CHAMBER”).
Dalam konteks-nya dengan struktur disekitarnya yang paling mungkin adalah merupakan ruang kosong atau chamber. Dimensi chamber tersebut kelihatannya sangat besar. Ada satu yang kira-kira 10x10x10 meter. yang menakjubkan adalah hasil survey geomagnet memperlihatkan ada anomaly magnetic yang tinggi di beberapa lokasi. Salah satunya yang besar terletak persis disamping struktur yang diduga chamber besar. Anomali magnetic tinggi bisa berasosiasi dengan timbunan barang-barang terbuat dari bahan metal/logam.
Penelitian belum selesai, namun dimensi kerakyatan dari penelitian ini semakin menjadi jadi. Secara kongkrit belum akan disimpulkan dan disampaikan. Namun hipotesis bahwa kita berada dikawasan yang memiliki peradaban adiluhur sudah menjadi cakrawala kami.
Yang baru kami lakukan barulah mendorong prinsip kesimbangan antara scientific progress dan publikasi umum dari peneliitian Gunung Padang. Kami meyakini bahwa sebelum teks dan menjadi referensi atas pemikiran dan pendekatan terhadap sejarah dan budaya, ada konteks yang memulai, ada rakyat dengan sistem yang melingkupinya.
Sebelum kita dekati “batu bisu” dengan “teori sejarah”, mengapa kita tidak mulai dengan “batu bicara” tentang “sejarah teori”, mulainya kemakmuran lantas kemunduran dikelak kemudian, dengan bencana yang bersifat katastrof sebagai fakta “keras” hidup dalam geohazard yang terbuka.
Dr. Dani Hillman Natawidjaja dan tim sedang menuntaskan penelitian, mari kita tunggu kemajuannya.
Kita Bisa Karena Merdeka, salam
Andi Arief

Ditulis Oleh:Andi Arief

No comments:

Post a Comment