SITUS CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG
BATU TONGGAK DI GUNUNG CADAS NANGTUNG PASANGGRAHAN, SUMEDANG SELATAN,
SITUS BCB-KAH ATAU SEKEDAR HASIL PROSES GEOLOGI SEMATA ?
1. Kearifan LokalPepatah
mengatakan “Lain Lubuk Lain Ikannya, Lain Padang Lain Pula Belalangnya”
, ungkapan peribahasa yang menunjukkan betapa tajamnya nenek moyang
kita di dalam mengngungkapkan masalah anekaragam data istiadat
masing-masing daerah pada berbagai wilayah di (Kepulauan) Nusantara ini.
Secara
sadar ataupun nirsadar sebenarnya ungkapan itu merupakan suatu cerminan
tindakan sangat hati-hati bila kita mendatangi atu menilai daerah
(baca: etnis) lain di dalam lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang
bersifat ‘mukti etnis’; yang menampilkan cara yang berbeda–beda pula,
baik dalam proses pembentukan maupun pembekuan unsur-unsur
tradisionalnya.
Berbicara tentang fenomena warisan aktivitas
kebudayaan di Tatar Sunda (BCB), secara langsung berhadapan kepada
berbagai permasalahan epistemologis yang fundamental:
-
Apakah kita, bertolak dari keyakinan bahwa gagasan teoritis dalam
pengetahuan Ilmu Sosial Budaya universal, seperti Ilmu Pengetahuan Alam,
atau terikat kepada kebudayaan dimana gagasan itu dicanangkan? Ataukah
harus diteruskan dengan pertanyaan
- “Apakah kebudayaan suatu
masyarakat/individu/ kelompok sosial merupakan suatu sistem yang
dihayati warganya sehingga pemahaman tentang lingkungan sosial dan
biofisika harus dianggap seragam?”
- Ataukah pula masing-masing
warga memiliki pemahaman sendiri-sendiri yang tidak perlu dan belum
tentu sama dari satu warga ke warga yang lain ?
Layaknya
pepatah kuna mengatakan “ciri sabumi cara sadesa” menyiratkan pengertian
amat mendalam bahwa setiap masyarakat pendukung budaya di Nusantara
mengembangkan kelengkapan ‘supraorganik’ atau perlatan ‘nonragawi’ yang
merupakan perwujudan atas seluruh tanggapan aktifnya terhadap lingkungan
hidupnya. Variasi lingkungan hidup di berbagai wilayah tersebut
menimbulkan aneka-ragam cara memahami, memperkirakan dan menilai
lingkungan serta menentukan nilai dan gagasan vital yang menjadi pedoman
pola tingkah laku anggota masyarakat.
Maka dalam rangka
IDENTIFIKASI SITUS sekalipun, ‘ntah yang dimengerti oleh atau secara
umum atau ke dalam ujudnya yang lebih formal (akademis), harus dipandang
dan diselaraskan sesuai kepada latar kebudayaan tiap-tiap alam
lingkungan kebudayaan dan kerangka waktu pendukung budayanya.
Sebagaimana
umumnya masyarakat Nusantara, masyarakat Tatar Sunda sejak sebelum masa
Tarumanagara (protosejarah) hingga hadirnya berbagai inovasi, akrab dan
mandiri dengan ciri budaya berladang dengan segenap perangkat
kepercayaannya. Ciri khas budaya berladang adalah orientasi kuat
terhadap lingkungan alam dengan segala kandungannya (kesuburan), serta
iklim.
Karena masyarakat dengan budaya berladang memenuhi
hidupnya secara langsung terlibat dengan memnafaatkan lingkungan alam,
sehingga mereka berusaha mendekatkan diri dengan lingkungannya. Yang
selanjutnya dibakukan ke dalam konsep (pikukuh) pemeliharaan bumi dengan
segala isinya yang hakekatnya adalah simbolisasi hubungan antara
dirinya kepada PenciptaNYA.
2. Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan
Gunung/Pasir
Reungit secara geografis (GPS) pada koordinat 06° 51’ 43”-51°43”
Lintang Selatan (LS) dan 107° 53’59,9” Bujur Timur (BT) ketinggian dari
permukaan laut (dpl) 525 m. Terletak di Kampung Seulareuma (dahulu
Salareuma) menempati lahan tertinggi dari sekitarnya diapit dua kampung
lainnya yang mengisi dataran lebih rendah yaitu Kampung Lebak Huni
(sebelah barat) dan Kampung Legok Bungur (sebelah timur). Lokasi yang
dirujuk berupa suatu bukit yang oleh penduduk bersangkutan disebut Pasir
(Sunda: Pasir=gunung kecil) di lingkungan pegunungan Perbukitan
Sumedang Selatan yang terdiri dari
Gunung/Pasir Nangtung,
Gunung/Pasir Konci, Pasir Peti,
Gunung/Pasir Ciguling,
Gunung/Pasir Palasari dan Gunung Palasari.
Di
lingkungan perbukitan tersebut hingga kini terdapat Makam Kuno Karamat
Eyang Jagabhaya di Gunung/Pasir Nangtung dan Batukorsi (Stonesit )
Gunung/Pasir Ciguling.
Pasir Reungit merupakan salah satu
bukit (Pasir) di lingkungan Sumedang Selatan yang kini dalam kondisi
digali khususnya lereng dan dinding bukit bagian selatan (menghadap
jalan raya Sumedang–Bandung). Penggalian berkaitan dengan usaha
penambangan sumberdaya bahan bangunan rumah dan alat-alat sehari-hari
diprakarsai oleh Perusahaan Bangunan CV. Stone-House. Sekitar 50 % lahan
bukit bagian selatan nampak terbuka oleh hasil pengupasan sengaja pihak
perusahaan bersangkutan, dan memperlihatkan sejumlah besar bongkahan
batu dengan bentuk khas berupa sejumlah besar tonggak dengan ukuran yang
spektakuler.
Dari
catatan ringkas (arsip PolWil Priangan) tentang Gunung/Pasir Reungit
diberikan oleh seorang bernama Rohman (Bojongmenje-Cangkuang, Rancaekek,
Bandung) yang berkunjung pada 17 Oktober 2002. Ia membuat catatan
ringkas (arsip Polwil Priangan BripKa.Asep Harijadi) tentang
Gunung/Pasir Reungit atas dasar apa yang dilihatnya dengan dilengkapi
keterangan wawancara dengan sesepuh penduduk setempat bernama Aki Jenar
(87 tahun). Selain bongkah batu tonggak di Gunung/Pasir Reungit
ditemukan terowongan dari sungai Cipeles yang menembus hingga ke Pasir
Reungit, di dalam terowongan ada jalan berupa teras-teras undakan yang
disusun menuju ke atas bukit, dan berfungsi sebagai pintu gerbang.
Disebutkan
oleh Aki Jenar kepada Rochman bahwa pada tiap-tiap bulan (Islam) Maulud
dan bulan Rajab khususnya di malam Jum’at di puncak Gunung/Pasir
Reungit ini kerap muncul cahaya berkilauan seperti cahaya lampu neon.
Maka Rochman menambahkan pada bagian akhir catatannya gunung/Pasir
Reungit adalah “situs”:
1) ada keajaiban berupa cahaya pada lahan tertinggi Gunung/Pasir Reungit;
2) ada lubang berupa terowongan dari Sungai Cipeles hingga tembus ke lokasi tumpukan batu–batu
di atas, dan batu-batu yang berbentuk “persegi” adalah buatan manusia.
Keterangan
yang sama diperoleh dari penduduk bernama Sukandar (43 tahun), ketika
ayahnya masih hidup (Juned bin Juned meninggal dalam usia 74 tahun)
menceritakan Pasir Reungit semula leuweung geledegan – hutan rimba mulai
digali dan diketahui mengandung batu-batu tonggak ketika pada tahun
1954 membuka lahan ini untuk pertanian. Pada bagian selatan lahan
kawasan Pasir Reungit terpotong jalan raya Sumedang-Bandung terdapat
irigasi (sungai) Cipeles guna mengairi lahan permukiman dan persawahan
penduduk Kampung Seulareuma. Diantara irigasi menuju lahan Pasir Reungit
terdapat terowongan tanah yang menembus hingga ke bagian dalam Pasir
Reungit.
Dari kondisi yang telah ditampakkan CV Stone-House
Gunung/Pasir Reungit mengandung sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak
dalam jumlah besar; yang ketika digali posisinya demikian tersusun
rapi, jenis batuan andesit yang keras dan kokoh, dan berwarna hitam.
Maka permasalahan yang hadir “apakah kawasan Pasir Reungit ini hasil
karya manusia (artefak) ataukah hadir semata karena gejala alam?”
Karena
alasan kondisi inilah pihak keamanan setempat yang berwenang di wilayah
Pringan Timur – PolWil.Priangan dipimpin (KaPolWil.Priangan) Kolonel
Anton, menimbang dan mencurigai kemungkinan tidaknya Gunung (Pasir
Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan sebagai “Situs Bersejarah”.
Menegaskannya,
perlu Tenaga Ahli yang secara profesional memiliki latarbelakang
pengetahuan disiplin ilmu bersangkutan. Bersamaan dengan itu penyidik
dari pihak PolWil Priangan mengundang beberapa Tenaga Ahli (Ilmuwan)
dari berbagai disiplin ilmu, yang khusus dimintai pendapatnya tentang
identifikasi dan status Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam
yang tampak sebagaimana adanya kini.
Keterangan disampaikan
beberapa oleh Tenaga Ahli tersebut direkam sesuai proses verbal menurut
pihak Kepolisian Wilayah dan disimpan sebagai bukti saksi (istilah
penyidik PolWil) atas status Pasir Reungit. Secara lisan diterangkan
oleh Kompol Elman Limbong (salah seorang penyidik PolWil.Priangan) bahwa
pihak PolWil.Priangan belum memperoleh ketegasan tentang status
Gunung/Pasir Reungit.
Permasalahan yang menanti jawaban
adalah identifikasi Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan
dengan seluruh kandungan sumberdayanya yang dinilai cukup mencurigakan
itu apakah dapat dikaitkan dengan warisan aktivitas budaya yang disebu
“SITUS” atau harus dipandang sebagai gejala alam hasil proses geologis
semata?
Penggalian CV.Stone House telah menampakkan
Gunung/Pasir Reungit dengan kandungan sumberdaya alam berupa
bongkah-bongkah batu andesit yang berbentuk tonggak dengan ukuran sangat
besar dan kokoh. Lahan bukit yang telah ditampakkan tersebut sekitar 50
%, beberapa dintaranya dibaringkan di bagian bawah bukit di halaman
rumah milik Ade Rahmawati (30 tahun), satu-satunya bangunan rumah yang
berada di lereng Pasir Reungit; sebagian besar lainnya lagi masih berada
pada tempatnya (intax sesuai matrixnya).
Sejumlah besar batu yang telah nampak ditemukan sebelum dijadikan tambang bangunan telah
banyak dipergunakan penduduk setempat selain dijadikan bahan bangunan rumah mereka, juga
untuk
menyanggah tebing sungai (Cipeles). Pemanfaatan batu-batu tonggak baik
oleh perusahaan maupun masyarakat setempat karena jenis batunya sangat
keras tidak mudah retak meskipun dibanting dan dijatuhkan dengan keras,
namun belakangan Perusahaan CV.Stone-House menggunakan mesin berat dan
besar yaitu Buldozer yang kini masih terparkir di halaman rumah
penduduk.
Ketika diamati lebih seksama batu tonggak memiliki
bentuk hampir serupa namun dengan ukuran tinggi dan diameter
berbeda-beda. Batu-batu tonggak yang masih terletak utuh pada tempatnya,
berposisi “seakan-akan’ sengaja disusun berbaris dan menyandar pada
dinding (lereng) Gunung/Pasir Reungit dengan tatanan yang cenderung
miring 60° ke arah timur. Dari pengamatan Batu Tonggak yang telah
dipindahkan dan berada di halaman rumah penduduk, ujung badan bagian
bawah (menempel ke tanah) bentuknya rata “seperti usai dipangkas”
sedangkan ujung badan bagian batu tonggak yang menghadap atas bentuk-
nya “kerucut semu” seperti sengaja dipangkas kasar. Ukuran panjang
batu-batu tonggak berkisar antara 7 – 8 m; sedangkan diameternya antara
60-70 cm.
Pada
bagian lereng bawah Gunung/Pasir Reungit (dibawah susunan batu tonggak)
masih terhampar kerakal andesit dan kericak sebagian masih tersusun
rapih seperti lantai dan sebagian lagi terserak bercampur kerikil
(kerikcak). Dibalik dinding susunan batu tonggak ditemukan tatanan batu
lainnya seperti “susunan kue lapis” yang mengisi bagian dalam
Gunung/Pasir Reungit.
Lahan paling atas tatanan batu tertutup
tanah dengan partikel padat sekitar 50 cm dari batas tatanan batu,
diikuti hamparan pasir pada bagian permukaan. Bagian selatan kawasan
Gunung/Pasir Reungit kurang lebih 1-1.5 km mengalir sungai besar disebut
Cipeles, aliran sungai tersebut mengalir arah timur-barat dan bermuara
di Cimanuk.
Diantara dinding ruas jalan (Sumedang –
Bandung) dan sungai Cipeles terdapat sungai irigasi yang sekaligus
menjadi batas lahan Gunung/Pasir Reungit. Pada lahan ini ditemukan
lubang terowongan (diameter terowongan 80-100 cm) Kendati besaran
ukurannya cukup untuk dimasuki manusia, namun keadaannya kini telah
terisi tanah dan bahkan kerap berisi air dan dihuni binatang (sero)
sehingga sulit untuk diamati.
Hasil pengamatan terhadap Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan menunjukkan:
- lahan terbuka yang masih intax lekat pada matrixnya, dan yang tidak mungkin dipindahtempatkan
atau diubah oleh manusia
- Mengandung sumberdaya alam sangat potensial berupa batu andesit dari bahan yang sangat keras
juga dari berbagai bentuk diantaranya bentuk tonggak dalam jumlah yang sangat banyak memenuhi
bukitnya; kerakal dan kerikil juga dengan jumlah yang banyak; kandungan pasir dan tanah
- Gunung/Pasir Reungit terletak di lingkungan pegunungan atau perbukitan yang masih termasuk ke
dalam jajaran pegunungan Dataran Tinggi Parahiyangan
- Didekatnya mengalir sungai besar Cipeles yang bermuara di Cimanuk
Dapat
disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan
lebih merupakan lingkungan dengan kandungan batuan, tanah, air dan
tetumbuhan sebagai sumberdaya aalm yang dibutuhkan oleh manusia demi
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang bukan merupakan
ciptaan atau dibuat oleh manusia, namun berkenaan dengan upaya dan usaha
kehidupan berkebudayaan, manusia sebagai makhluk historis manusia
memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dan tinggal dalam lingkungan
dengan seluruh kandungan sumberdaya tersebut, sebagaimana adanya
sekarang. Lalu bagaimana situasi dan kondisi pemanfaatan lahan
Gunung/Pasir Reungit dan keberada- annya? Ke dalam pengertian
Gunung/Pasir Reungit di dalam tatanan ruang budaya Sumedang Larang sejak
awal hingga sekarang?
Karena manusia di dalam upaya
memanfaatkan lingkungan pada dasarnya selalu mempertimbangkan pemilihan
lahan atau lokasi dari manusia menempatkan dirinya dalam suatu
lingkungan fisik. Pertimbangan ini mencerminkan bahwa dalam batas-batas
tertentu masyarakat mengikuti aturan umum yang berlaku (normative),
sehingga tidak berperilaku acak dalam memilih suatu lahan atau lokasi
pemukiman, melainkan berpola, maka pemolaan aktivitas manusia tercermin
pada keruangannya, waktu dengan ciri dan karakter budaya dalam suatu
lingkungan tertentu.
3. Apakah yang disebut Situs, Bagaimana Kaitannya dengan Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan ?
Seorang
pakar Arkeologi Prof.Dr. Moendardjito di dalam salah satu artikelnya
berjudul “Perencanaan Tata Ruang Situs Arkeologi” salah satu makalah di
dalam Laporan Pelaksanaan Workshop Pelestarian Dan Pengembangan Kawasan
Percandian Situs Batujaya, Kabupaten Karawang” (Cikampek, 15-19 April
2002), Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalan Jawa Barat,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Tahun
2002 (8 halaman).
Mengemukakan secara rinci tentang apa dan
bagaimana ketentuan suatu SITUS kedalam pengertian Arkeologi, pada
lembar 3 aliena 10 ia menuturkan, sebagai berikut: “Nama Situs di
Indonesia pada umumnya diberikan menurut nama lokasi administratifnya,
meskipun tidak konsisten. Kadangkala menurut nama kampung, atau nama
desa, kecamatan, dst. Seringkali juga menurut nama yang diberikan
penduduk . . . Perlukah kita memberi nama secara sistematis seperti
sekarang, atau kita memberi nama dengan cara lain, atau membebaskannya
menurut keinginan masing-masing peneliti, perencana, atau penduduk.
Tingkat
pengetahuan mengenai isi situs bertambah ketika mendalaminya, sehingga
penamaan yang diberikan seringkali jadi berubah. Misalnya bukit yang
dinamakan penduduk sebgai Unur Jiwa selanjut nya oleh peneliti
menyebutkannya situs Unur Jiwa, setelah dilakukan penggalian dan
ditemukan candi, peneliti menyebutkannya situd Candi Jiwa.
Tetapi
mungkin ada peneliti yang menamakannya situs Segaran I karena berada di
wilayah administratif Desa Segaran. Mungkin ini menguntungkan dari
sudut pengelolaan secara administratif. Namun kerugiannya, jika desa
tersebut berganti nama, akan menimbulkan permasalahan baru…”
Disebutkan
bahwa kata ‘situs’ di Indonesia menimbulkan kerancuan dalam
pemakaiannya, karena tidak konsisten dengan prinsip taksonomi keruangan
yang sifatnya hirarkial. Untuk kota kuna Trowulan misalnya dengan luas 9
x 11 km ditnamakan ‘situs’ dengan tambahan keterangan yang menunjukkan
keistimewaannya sebagi situs yang luas sebesar kota, yaitu ‘situs kota’
(city-site, urban-site).
Istilah ini memang tidak salah
benar karena ada dalam kepustakaan arkeologi. Hal ini mungkin disebab
kan selama kita menganut definisi situs sebagai ‘sebidang lahan yang
mengandung atau diduga meng andung tinggalan arkeologi’, tanpa merinci
kompleksitasnya, dan keluasannya (apakah 1 meter persegi atau 1 hektar
persegi),kepadatan penduduknya,dsb.
Penggunaan definisi
tersebut di tasa tidak hanya dipakai di kalangan arkeolog-peneliti,
tetapi juga arkeolog-pelestari sebagaimana tersurat dalm Undang Undang
tentang Benda Cagar Budaya Tahun 1992. satuan ruang yang dinyatakan
dalam undang-undang tersebut hanya ‘situs’, bukan ‘kawasan’. Kini, sudah
ada upaya untuk memasukkan istilah, pengertian dan konsep ‘kawasan’ di
dalam wacana para arkeolog Indonesia, tetapi belum dalam
perundang-undangan…”
Moendardjito (2002:4) memperjelas keterangannya:
bahwa
pengertian ‘kawasan arkeologi’ secara sederhana diartikan ‘sebidang
lahan yang relatif luas, yang mengandung sejumlah situs arkeologi yang
letaknya berdekatan (spatial clustering sites), seperti kawasan Batujaya
dan Pakisjaya tidak hanya berdekatan dal hal keruangannya (space), juga
memiliki kedekatan dalam hal bentuk (form), dan waktu (time).
Situs-situs
yang berada dalam ‘kawasan’ tersebut dapat mengandung warisan aktivitas
budaya (baca: arkeologi) yang sejenis atu aneka jenis, semasa atau
lintas masa, tunggal atau banyak atau multi- componentsites, besar atau
kecil. Di situs-situs itu juga terdapat sejumlah warisan aktivitas
arkeologi berupa bangunan dan fitur, artefak, ekofak dan lingkungannya.
Menurutnya,
di berbagai bagian dunia lain para arkeolog ‘Perencanaan Tata Ruang
Situs Arkeologi’ dikatagorikan dalam empat satuan ruang dengan
berdasarkan kepada keluasan atu kompleksitasnya:
1) satuan ruang ‘situs (site)’;
2) satuan ruang yang lebih luas dari situs yaitu ‘locality’;
3) satuan ruang yang lebih luas dari locality, yaitu ‘region’ dan
4) satuan ruang yang lebih luas dari region, yaitu ‘area’.
Namun
di Indonesia ‘region’ dan ‘area’ disepadankan dengan istilah ‘kawasan’
atau ‘wilayah’ dipakai secara bergantian (rancu) di dalam
tulisan-tulisan berupa laporan atau makalah/artikel; sedangkan
‘daerah’ dipakai sebagaimana adanya kini,
ada juga istilah ‘mintakat’ untuk menyepadankan ‘zona’ :
Ada ‘Zona I’ atau ‘Zona Inti’ yang merujuk kepada ’sanctuary area’;
‘Zona II’ atau Zona Penyangga yang merujuk kepada’buffer area’;
‘Zona III’ atau ‘Zona Fasilitas’ yang merujuk kepada ‘facility area’ zona merupakan daerah sarana penunjang;
di luar zona-zona atu mintakat-mintakat tersebut adapula ‘Zona IV’ atau ‘Zona Lansekap Sejarah’
yang merujuk kepada ’historical landscape’ tentunya dimaksudkan untuk mempertahankan lingkungan
Mengacu
kepada paradigma ‘situs atau lahan situs’ yang diajukan Moendardjito
tersebut, disebutkan bahwa Gunung (Pasir Reungit) Cadas Nangtung
Pasanggrahan dengan situs-situs yang terletak diselilingnya berada dalam
lahan yang tidak berjauhan, lahan-lahan yang secara tegas disebut
‘situs’ dengan posisi ‘mengelilingi’ dengan mengambil pusat lahan Gunung
(Pasir Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan, maka:
1. Situs Sanghyang Kolak di Gn. Palasari 1349.27 m
2. Situs Batu Lingga Cikondang di Kampung Cikondang , Desa Pasanggrahan Baru (524m)
3. Situs Batu Kursi di Kampung Pasirpeti, Desa Margalaksana (1641.61 m)
4. Situs Geger Hanjuang (Patilasan Kraton dan Makam Sunan Guling) Kampung Ciguling, Desa
Margalaksana (1651.27 m)
5. Situs Cadas Gantung di Kampung Pasirpeti , Desa Margalaksana (1404.61 m)
6. Situs Patilasan Ibukota Sumedanglarang di Kampung Ciguling, Kelurahan Pasanggrahan
(1358.78 m)
7. Situs Makam Prabu Pagulingan raja Sumedanglarang ke-4 di Kampung Nangtung,
Desa Ciherang (1291.07 m)
8. Situs Makam Bagus Suren di Kampung Jamban, Desa Girimukti (594.25 m)
Kedekatan
antar ‘situs-situs’ tidak hanya ditunjukkan dalam keruangan (space)
juga bentuk (form) dan waktu (time) yang secara ringkas :
- Skala
ruang ditunjukkan oleh jarak yang tidak lebih dari 2 km (jarak yang
cukup dekat) terletak pada delapan arah mata angin, dengan Gunung (Pasir
Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan berada ditengah-tengah
‘situs-situs’ tersebut;
- Skala bentuk ditunjukkan oleh
pemanfaatan batu-batu alam dengan bentuk yang sangat alami dengan
“mengimposisi kepada lingkungan alam’. Seperti kenyataannya di Pasir
Reungit terdapat singkapan lava bersifat basaltis dengan struktur kekar
kolom (columnar joint), oleh penduduk setempat disebut Batu Tonggak dan
diyakini batuan andesitis. Kekar kolom (columnar joint) ini lazim
terbentuk di daerah gunung api, hasil pembekuan magma yang keluar ke
permukaan yang disebut lava. dengan bentuk yang bervariasi segilima,
segienam ataupun segi delapan dengan arah kolom yang dapat
berdiri/tegak, miring maupun rebah, tergantung dari arah dan pola aliran
lavanya.
Dengan adanya kekar kolom, maka diketahui arah
aliran lava, karena arah aliran lava tegak lurus dengan sumbu memanjang
dari kolom kedudukan kekar kolomnya berdiri, meski miring sekitar 60o.
Di
Situs bekas Ibukota Sumedanglarang di Ciguling terdapat batuan basaltis
dengan kedudukan terguling/rebah, yang bertumpuk sejajar dan searah,
yang pada dasarnya juga merupakan kolom-
kolom dari lava basaltis.
Yang
perlu dipelajari secara rinci adalah, apakah penumpukan tersebut
merupakan hasil karya leluhur Kabuyutan, atau secara alami.
Jika
penumpukan tersebut hasil karya leluhur, sangat mungkin bahannya
diambil dari daerah sekitar yang tidak jauh, sebagaimana disebutkan
seluruh tempat terdapatnya situs-situs merupakan batuan lava basaltis
dengan struktur kekar kolom (columnar joint). Namun jika penumpukan
dengan kedudukan terguling/rebah adalah hasil kegiatan alam, artinya
terdapat pola dan arah aliran lava yang berbeda dengan di Situs Batu
Nantung, karena menghasilkan pola kekar kolomnya tidak berdiri/ tegak
seperti tonggak, melainkan terguling/ rebah.
Demikian pula
penamaan situs di daerah ini oleh masyarakat Sunda Sumedang masa lampau
(Kabuyutan) sebagai Batu Nantung (Batu Tonggak/Berdiri) sangat sesuai
dengan keadaan alam,
batuan di situs tersebut berdiri tegak, atau
Batu Tonggak memang terbentuk secara alamiah sebagai hasil pembekuan
lava basaltis di permukaan, hasil kegiatan volkanisme pada Kala
Plestosen (sampai sekitar 1,5 juta tahun yang lalu).
Batuan
lava basaltis yang membentuk kekar kolom kiranya dimanfaatkan oleh
Kabuyutan yang kini dapat dimaknai sebagai situs budaya masa lampau
seperti di Situs Batu Menhir di Cikondang, Situs Ciguling, Situs
Petilasan Kraton dan Situs Bagus Suren di Desa Girimukti. Selurus
situs–situs itu terletak di suatu daerah bukit atau perbukitan yang
diketahui jelas adanya suatu tubuh kekar kolom dari batuan basaltis
digunakan Kabuyutan untuk kepentingan tertentu berhubungan sesuai nilai
kehidupan kala itu.
- Skala waktu (time) ditunjukkan oleh
sejumlah data tertulis (textual data) yang terdiri dari naskah prasasti,
naskah karyasastra dan tradisi tutur — hisdtoriografi tradisional yang
mengetengahkan peristiwa kontemporer Pasir Reungit selaras zamannya.
Digunakannya sumber tertulis dalam rangka mengidentifikasi Gunung (Pasir
Reungit) Cadas Nangtung Pasanggrahan adalah sesuai sifat dan data
Arkeologi yang didapat dengan melakukan pendaftaran, pencatatan dan
pemugaran kemudian membahas masalah-masalah yang ada dibalik data
kontekstual (artefak-artefak).
Akan tetapi penafsiran terhadap
artefak-artefak atau data kontekstual selalu dilakukan kepada
penjelasan-penjelasan sumber tertulis (data tekstual). Karena Arkeologi,
disamping sebagai bidang
ilmu yang berdiri sendiri juga
dipandang bagian pengkhususan dari Antropologi, maka permasalahan
perkembangan seni dalam kedua bidang tersebut didekati dengan cara yang
sama.
Di belahan dunia lain Arkeologi sebagai bidang ilmu
sebagian besar meliputi masa Prasejarah, maka warisan aktivitas budaya
dipelajari tidak mengandung data tekstual (sumber tertulis). Dengan
demikian penafsirannya bersandar pada analisis artefak dengan berbagai
cara, ataupun pada analogi dengan data Etnografi. Di Indonesia membahas
Arkeologi mengggunakan pendekatan 1) Arkeologi Prasejarah dan pendekatan
Antropologi, 2) Oudheidkundige dan Art History.
Dalam hal
inilah Oudheidkundige memberikan penjelasan mengenai artefak-artefak
seni kuna meng- gunakan data tekstual berupa sumber-sumber tertulis yang
memberi keterangan-keterangan pemikiran, khususnya tentang
gagasan-gagasan keagamaan yang nyata dan secara faktual melandasi karya-
karya seni tersebut. Sumber tertulis terutama digunakan untuk
meletakkan suatu karya dalam titik waktu tertentu (kronologi) dalam
tatanan Sejarah Kebudayaan.
4. Gunung (Pasir Reungit) Cadas
Nangtung Pasanggrahan adalah ‘Datum Point’ Kabuyutan (Ceremonial
Center): Gerbang (Madyapada) Yang Berlaku Dalam Unsur Keyakinan
Keagamaan Masyarakat Tatar Sunda
Tatanan mengelilingi dengan
pusat (puseur) di Gunung/Pasir Reungit adalah sesuai konsep Sang
Sewasogata, Gunung/Pasir Reungit merupakan Pancatantramantra (lima unsur
halus), yang secara
gaib terdiri dari tujuh susun berupa
kesirnaan/lenyap, tujuh susun bersuasana sunyi/hampa. Sedangkan di
bagian selatan terletak Situs Batu Pangcalikan, simbol sakala (alam
dunia) “Bhuhloka/Madyapada”(dunia tempat manusia).
Secara
horizontal tatanan Gunung/Pasir Reungit dan situs-situs di sekitarnya
yang mengilinginya di arah delapan mata angin merupakan pancer sebagai
tonggak dangiang layaknya sarang lebah di
dunia nyata “jagat leutik/buana leutik”; dan secara vertikal melambangkan jagat gede/jagat
ageung- alam semesta sesuai Kropak 422 dan teks naskah Sang Hyang Hayu, tata ruang jagat (kosmos) terbagi menjadi tiga susunan:
(1) susunan dunia bawah, saptapatala ‘tujuh neraka’,
(2) bhuhloka adalah bumi tempat kita saat ini yang disebut madyapada; dan
(3) susunan dunia atas, saptabuana atau buanapitu ‘tujuh sorga’ bhuwarloka.
Tempat
di antara saptapatala dengan sapta-buana itulah yang disebut madyapada,
yakni pratiwi ‘dunia tempat manusia’. Senarai konsep tata ruang
masyarakat Sunda yang secara kosmologis selalu bersifat triumvirate
‘tiga serangkai, tritunggal’.
Dalam tatanan tersebut,
Masyarakat Sunda mencari makna dunia menurut eksistensinya: menyangkut
keluasan atau lingkupnya yang mengandung segala macam dunia dengan
seluruh bagian dan aspeknya sehingga tidak ada sesuatu pun dikecualikan.
Artinya masyarakat Sunda memiliki pandangan tentang kesejajaran
makrokosmos dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia.
Di
sini Gunung/Pasir Reungit atau Cadas Nangtung Pasanggrahan ataupun
Selareuma merupakan Madyapada ‘bhuwarloka’ yang menjadi jembatan (Sunda:
rawayan) batas antara alam pratiwi ‘dunia manusia’ atau bhuhloka menuju
ke Swahloka atau buana. Dinamai Selareuma bukanlah semata mengacu pada
ucapan asal-asalan dan semen-mena, melainkan tetap harus dikembalikan
konsep dasar kosmologi Sunda.
Dijelaskan istilah selareuma
secara morfologi terdiri atas dua kata, yakni sela dan reuma. Kata sela
dalam bahasa Sunda artinya ‘celah atau jarak antara dua benda terpisah’,
homofon dengan kata séla yang artinya ‘batu’. Kata reuma adalah varian
bentuk dari istilah huma artinya ‘lahan perladangan/ perkebunan’,
homofon dengan kata réma artinya ‘jari-jemari atau ujung rambut’ (R.
Satjadibrata: KBS, 1954; Panitia Kamus LBSS: KBS, 1990; R.A. Danabrata:
KBS, 2006).
Demikian pula istilah sela dikenal dalam bahasa
Jawa berarti ‘sela, bersela, lapang, senggang’, sedang kan kata séla
artinya ‘batu, kemenyan, intan, pelana, sela, ringka, ringga (gajah)’
(Prawiroatmojo, BJI. 1981). Dalam bahasa Jawa Kuno, sela dapat diartikan
‘selang, celah, antara; sedangkan séla adalah ‘batu’ (Mardiwarsito,
KJKI. 1978; Zoetmulder, OJED. 1982). Akan tetapi Baik dalam bahasa Jawa
masa kini maupun bahasa Jawa Kuno tidak ditemukan kata réma juga reuma
atau pun huma.
Namun secara morfologi ditemukan bahwa dalam
bahasa Sunda, kata Selareuma artinya ‘celah atau jarak di antara lahan
perladangan atau perkebunan’; atau sélareuma ‘batu atau bebatuan di
lahan perladangan/perkebunan’. Selaréma juga merujuk arti ‘celah atau
jarak antara jari-jemari atau ujung rambut’; sélaréma artinya ‘batu atau
bebatuan bercelah seperti jari-jemari/ujung rambut’. Dengan demikian,
istilah selareuma, selaréma, juga selahuma merupakan bentukan kata asli
dalam bahasa Sunda.
Selareuma atau sélareuma identik dengan
selahuma mengandung pengertian sebuah tempat ladang bebatuan yang tegak
berderet bagaikan jari-jemari; sementara itu istilah pasanggrahan secara
morfologis terdiri atas kata dasar sanggrah yang artinya ‘menyimpan
sementara (barang atau orang) sementara waktu’ mendapat gabungan awalan
pa- dan akhiran –an yang berfungsi membentuk kata tempat atau lokasi.
Jadi pasanggarahan artinya ‘tempat atau rumah peristirahatan sementara
untuk bermalam para pejabat atau tamu penting’.
Senarai
data tekstual (sumber tertulis) dan data kontekstual (data arkeologi)
kini nyata bahawa Gunung/Pasir Reungit – Selareuma – Pasangggrahan
merupakan tempat sementara persinggahan
“axis mundi” karena itu
Selahuma (baca : Selareuma) dalam Serat Purusangkara disebutkan sebanyak
25x penyebutan, pada bagian yang menyebutkan istilah Selahuma merujuk
pada nama tempat atau lokasi yang bersifat mitos-legendaris. Istilah
yang sangat Sunda mencakup berbagai makna yang teramat dalam yang
merujuk kepada kegiatan berladang (agraris) di dalam melangsungkan
kehidupan sehari-hari (sensorable-message) yang juga dipakai untuk
menamai hingga ke alam kalanggengan (unsensorable-message).
Gunung/Pasir
Reungit adalah ‘AXIS MUNDI’ alam sela/Madyapada, dan bukan kebetulan
pula jika bentuk-bentuk tonggak batu menjulang “menhir” ini disediakan
alam (proses geologi), sesuai konsep kepercayaan Sunda, layaknya untaian
reuma ‘alam celah’ pemberhentian sejenak, perjalanan jiwa/sukma/roh
selanjutnya menuju ke alam lebih tinggi yaitu buanasapta atau saptaloka
yang dalam tatanan Kabuyutan Sumedanglarang adalah Gunung Tampomas.
Alam sementara atau alam sejenak adalah adalah alam gaib yang dalam Serat Purusangkara disebutkan sebagai berikut:
“.
. . Duh Paduka Sang Jagad Yang Berkuasa, mengenai turunannya Brahma dan
juga Kala itu sekarang menjadi raja di Tanah Selahuma. Merajai semua
raksasa yang melindungi seluruh tempat di sana. Negerinya pasti dinamai
Selahuma, sedangkan yang menjadi raja adalah Kala, dengan julukan
(Hal.135) Prabu Yaksadewa. Brahma itu menjadi gada yang dibawa Prabu
Yaksadewa, sedangkan yang menjadi keinginannya adalah memusnahkan semua
keturunan Wisnu”. Sanghyang Girinata bertanya kembali, “Mengapa sampai
tiba-tiba hendak berbuat salah kepada sesama makhluk? Sekarang Brahma
dan Kala itu sama-sama tidak patuh pada aturan saya . . . ”
Kutipan
tersebut menunjukkan bahwa Selahuma mengacu pada sebuah nama tempat di
bumi yang merujuk pada suatu lokasi lingkungan sebagaimana telah
diuraikan di muka. Namun demikian, para penghuni tempat tersebut dapat
dikategorikan sebagai mahluk dunia gaib, yakni: Sanghiyang Girinata,
Sanghiyang Naradha (penghuni Suryalaya), Sanghiyang Kala dan Sanghiyang
Brahma (penghuni Suryalaya yang turun ke Selahuma). Dunia gaib itu dalam
naskah Sang Hyang Hayu termasuk alam saptabuana atau buanapitu. Artinya
bahwa lokasi Selahuma atau Selareuma merupakan tempat yang memiliki
fungsi magis dalam tatanan ruang bagi masyarakat yang tinggal di
sekelilingnya.
Tidak perlu dipertanyakan dan diragukan mengapa
pada lahan Gunung/Pasir Reungit tidak ditemukan artefak (hasil buatan
manusia) kecuali benda-benda yang merupakan sumber daya alam.
Artefak-artefak (situs-situs) ditemukan justru berada dan terletak
disekeliling Gunung/Pasir Reungit. Karena Gunung/Pasir Reungit merupakan
lahan dalam kosmologi Sunda merupakan gerbang ke alam Kahiyangan
sebelum menuju ke Gunung Tampomas.
Selaras pemilihan dan
penmpatan lahan lingkungan (ecological factor:faktor ekologis) sebagian
besar Kabuyutan Tatar Sunda menempati lahan gunung, bukit-bukit, atau
dataran-dataran tinggi di lingkungan pegunungan; juga dekat aliran atau
pertemuan sungai besar; juga bentuk dan konsep continuity, bangunan
kabuyutan dilandasi kepercayaan yang dianut masyarakat dengan budaya
Megalitik yakni penghormatan kepada leluhur.
Lahan-lahan ekologis yang dipilih tersebut merupakan pusat atau sumber dan sarat dengan
kandungan daya dalam menunjang sarana kehidupan manusia, tidak hanya berlaku bagi
bangunan
suci, juga hunian sekaligus mencerminkan landasan keyakinan pokok yakni
menghormati leluhur (Karuhun; Rumuhun) yang diistilahkan Hiyang.
Para
pakar sependapat bahwa pengaruh India di Nusantara identik dengan
hadirnya agama Hindu-Buda ditandai oleh sejumlah besar bangunan dengan
latar keagamaannya, mengakibatkan kekunaan sejarah selalu diukur dan
dinilai melalui penetrasi kebudayaan Hindu-Buda. Mengesankan seakan-akan
seluruh masyarakat Nusantara memeluk Hindu-Buda padahal kenyataannya
tidaklah demikian.
Seorang sarjana Belanda bernama C.M.Pleyte
(cf. Danasasmita l975:37) pernah menegaskan: ““Hinduisme i.e. Sivaism
made its entry into the Pasundan but wether it ever became popular
is
rather doubtful, as not more about half a score of images belonging to
the Sivaitic pantheon have been discovered, whilst such temples and
monasteries as ain Middle and Eastern Java sought for in vain. It is
fair to conclude therefore, that while a few of the native princes did
perhaps adopt the foreign religion, the bulk of the population remained
true to their original creed founded on animism and ancestor worship”.
Sejak
awal Masyarakat Sunda akrab dengan kehidupan berladang dan identik
dengan sebutan masyarakat peladang tidak memberi peluang subur untuk
pertumbuhan kultur Hindu melainkan sebaliknya tradisi megalitiklah yang
tetap bertahan sebagai esensi dari kehidupan spiritualnya.
Leluhur (hiyang) adalah unsur pemujaan tertinggi yang mewarnai pusat-pusat keagamaan
(kabuyutan) di Tatar Pasundan, Jawa Barat.
Kabuyutan
merupakan khas carek masyarakat Tatar Sunda yang dituliskan di dalam
beberapa sumber tertulis, diantaranya karyasastra Kabuyutan ti
Galunggung dan piagam resmi kerajaan sebagai Piteket dang dikeluarkan
oleh Sri Baduga Maharajadhiraja Sri Sang Ratudewata. Raja yang untuk
kesekian kalinya memimpin dan mempersatukan pusat Kerajaan Galuh
(wetan–kidul) dengan pusat Kerajaan Sunda (kulon-kaler) ke dalam satu
panji kekuasaan mutlak Pakwan Pajajaran.
Kedudukannya
sebagai ‘maharaja’ inilah yang membuatnya memiliki kedudukan mutlak
sebagai pemimpin politik dan pemimpin keagamaan. Karena itu beliau
bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan alam dan segenap rakyatnya,
diantaranya dengan membuat ‘piteket’ mengamankan seluruh gunung sebagai
sumberdaya alam dimana di dalamnya terdapat (ditempatkan) bangunan suci
kerajaan ‘khas’ Sunda yakni Kabuyutan yang tersebar di seluruh wilayah
kekuasaannya.
Berkaitan kepada konsep yang hingga kini tetap
diberlakukan dengan ketat pada komunitas Kanekes (Baduy di Banten
Selatan) bahwa ngabaratapakeun nusa “apa yang telah dianugrahkan oleh
Sang Cipta tidak boleh dirubah melainkan harus diperlakukan dan
dipulasara sebagaimana adanya, tanpa merubah apalagi dengan
mengeksploitasinya”. Maka Kabuyutan di Tatar Sunda selalu mengimposisi
kepada lingkungan dan bukan memodifikasi, jikalaupun ada atau diperlukan
perubahan akan dilakukan seperlunya tanpa merusak tatanan aslinya.
Kabuyutan
dengan corak tradisi Megalitik adalah representasi pengulangan tingkah
laku ke dalam simbol-simbol keagamaan yang khas Sunda. Bangunan
keagamaan didirikannya dengan ciri dan karakter sesuai latar belakang
budayanya. Sebagaimana istilah kabuyutan identik dengan istilah Sunda
Wiwitan, ajaran yang menjadi landasan dasar paling azasi dan mewarnai
sebagian besar warisan aktivitas budaya Tatar Sunda.
Rangkaian
tingkahlaku yang secara ”nirsadar” telah terbentuk dari endapan
pengalaman pribadi di masa lampau, dengan dipilihnya corak tradisi
megalitik, tiada lain adalah penstrukturan kepribadian sejalan motivasi
dan kemampuan. Di dalam upaya Masyarakat Tatar Sunda menjembatani diri,
memberi arah kehidupan sesuai tuntutan sosial budaya keagamaan.
Continuity
kentalnya tradisi megalitik pada hakekatnya mencerminkan perilaku
kognitif kesinambungan pengakuan peran leluhur terhadap keberadaan
kehidupan dunia. Dengan kata lain kabuyutan adalah kepribadian
Masyarakat Tatar Sunda di dalam dimensi ruang, bentuk dan waktu.
Kiranya
perlu dikemukakan bahwa tidak satu kata maupun istilah yang pernah
disebut dalam seluruh sumber tertulis (textual data) yang berhasil
ditemukan di Mandala Sunda (Tatar Sunda), yang mencantumkan kata “Candi”
untuk menyebut bangunan suci atau pusat upacara keagamaan, melainkan
Kabuyutan. Istilah logis mengacu konsepsi dasarnya yakni penghormatan
kepada leluhur, dengan aspek dan perangkat pusat upacara keagamaan
termasuk faktor keselarasan lingkungan turut dipertimbangkan sehingga
memperlihatkan ciri dan karakter khas sesuai lingkup lahannya.
Bangunan
keagamaan yang bentuk dan gayanya sangat jauh berbeda dengan bangunan
suci pengaruh Hindu-Buda yang disebut Candi. berhasil ditemukan
dicirikan oleh kemegahan artefak-artefaknya yang artifisial, bentuk yang
jauh berbeda dengan bangunan keagamaaan di Tatar Sunda yang sebagian
besar warisan aktivitasnya ketika ditemukan itu tidak lebih daripada
sejumlah besar bongkah dan kerakal andesit berserakan, tidak tampak
sebagai bangunan tertentu melainkan lahan dipenuhi batu.
Inilah ciri atau variabel yang sekaligus menegaskan khas bangunan Kabuyutan:
- selalu ditemukan pada suatu dataran tinggi, bukit atau gunung atau lahanlahan tertinggi diantara
sekitarnya yang sarat dengan sumberdaya alam
- kabuyutan merupakan mandala gaib puseur dangiang, tahta para leluhur, atau karuhun, karenanya
bukit atau gunung dimana pun berada dipercaya sebagai pusat paragi ngahiyang (parahiyangan)
- gunung, bukit atau dataran tinggi identik dengan kabuyutan itu sendiri umumnya terletak sebagai
batas desa atau batas suatu pemukiman
Bangunan
Kabuyutan, di satu pihak secara tegas menggugurkan asumsi di Tatar
Sunda tidak ada atau sangat jarang ditemukan bangunan keagamaan, dilain
pihak memberi peluang intentitas budaya tentang bagaimana sesungguhnya
Kabuyutan masyarakat Tatar Sunda pada masa tatanan pemerintahan masih
bercoarak kerajaan (Monarki absolut).
Bukit/[Pasir] Reungit
dengan keberadaan dan kandungan sumberdaya alam berupa batu-batu tonggak
tersusun rapi dengan kemiringan sekitar 60° ke arah timur. Lahannya
terletak di lingkungan pegunungan termasuk dalam rangkaian Dataran
Tinggi Parahiyangan yang marupakan “benteng pakidulan” dan kawasan hulu
(girang) aliran sungai-sungai Tatar Sunda; seperti kenyataannya bahwa
aliran (sungai) Cipeles bermuara ke timur yakni Cimanuk.
Semua
tatanan fisiografis tersebut bukan semata kebetulan belaka, melainkan
fakta bahwa Pasir Reungit berorientasi ke timur “Leluhur alias Karuhun”
yang mengawali kehidupan. Selaras tataran waktu, sejarah mencatat
raja-raja Sumedang keturunan raja-raja yang pernah berjaya di masa lalu
berpusat di wetan yakni Kerajaan-kerajaan pendahulunya Talaga hingga ke
GALUH yang menjadi PANGRUHUM kerajaan-kerajaan di PAKIDULAN atau
PRIANGAN TIMUR.
Batu tonggak yang tersusun rapih tersebut
sebagian besar menunjukkan ciri khusus yakni bagian badan yang
diletakkan di bawah (di atas tanah) menunjukkan permukaan yang rata,
sedangkan bagian badan mendongak ke atas berpermukaan kerucut semu
“seperti bekas dipangkas kasar” bukan pula kebetulan, namun berkait
kepada pola alami bahan bangunan yang secara umum ditemukan pada
sebagian besar Kabuyutan di Tatar Sunda khususnya yang mengambil corak
tradisi Megalitik.
Kabuyutan adalah mandala kerajaan maka
setiap kerajaan selalu memilikinya., karena itu Kabuyutan disebutkan
dalam karyasastra Kabuyutan ti Galunggung sebagai timbang taraju
jawadwipa mandala.
Maka bukan asal berkata jikalu Warga
Pribumi yang termasuk dalam katagori senior (sesepuh) yang menjabat
sebagai ketua yayasan Kraton Sumedang Larang menyampaikan kepada
KaPolWil Priangan Kolonel Anton (pers.com mobile: 12 November 2009)
bahwa Pasir Reungit bagi masyarakat Sumedang merupakan “Cadas Nangtung
Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.
Selaras dengan yang
digambarkan oleh Pantun Lutung Kasarung: “Gunung Cupu Mandala-hayu,
Mandala Kasawiatan, di Hulu Dayeuh, dina cai nu teu inumeun, dina areuy
nu teu tilaseun, dina jalan teu sorangeun, sakitu kasaramunan..”
Bahkan lebih tegas dinyatakan oleh pakar Sunda (almarhum) Prof.Dr. Ayatrohaedi:
“Bangunan
suci masayarakat Tatar Sunda tidak selalu harus diidentifikasi sebagai
bangunan dengan artefak atau struktur seperti bangunan suci yang
dimengerti masyarakat umumnya (candi); atau bangunan lengkap dengan
fondasi, dinding dan atap, melainkan lahan bukit alam atau dibuat
lambang suatu bukit (bukit buatan = gugunungan) dengan vegetasi hutan
yang dibiarkan tumbuh alami…”
Maka sesuai kenyataannya bahwa
sautu Kabuyutan selalu ditemukan pada suatu bukit, gunung, dataran
tinggi di lingkungan pegunungan, sekaligus menjadi batas/ujung lahan
suatu pemukiman/
hunian (hulu dayeuh) di sekitarnya, sehingga
yang nampak tidak seperti megahnya “bangunan candi Borobudur” melainkan
tiada lain gunung yang dipenuhi serakan batu berbagai bentuk di
tengah-tengah kawasan hutan lebat. Sejauhmana dan bagaimana bentuk dan
tatanan Pasir Reungit ketika masih berfungsi dan digunakan pemangku
budaya, tidak dapat dijelaskan.
Jelas Gunung/Pasir Reungit
dengan seluruh yang nampak ke permukaan, ditunjang letaknya di wilayah
Dataran Tinggi Parahiyangan sebagai “BENTENG PAKIDULAN’ dengan tatanan
alami yakni “mengimposisi” pada (alam) lahan bukit, juga kandungan
benda-bendanya yang dimanfaatkan sesuai bentuk alaminya, yang merupakan
variabel –varibel penunjang, maka tegas disebutkan Gunung/ Pasir Reungit
adalah Situs “Cadas Nangtung Nu Ngajadi Ciriwanci Sumedang Larang”.
Dalam pengertian seluasluasnya Gunung/Pasir Reungit adalah salah satu Kabuyutan Cadas Nangtung disebut:
“Mandala Kasawiatan nu aya di Hulu Dayeuh,
dina cai teu inumeun,
dina areuy teu tilaseun,
dina jalan sorangeun
sakitu kasaramunan”
Kawasan
yang dahulu merupakan hutan lebat “leuweung geledegan” kondisi dan
karakter lahan seperti inilah tempat dan lokasi yang senantiasa dipilih
dan ditempatkan Kabuyutan bagi masyarakat Tatar Sunda sejak masa paling
awal,
Berdasar pernyataan tentang BCB 1992 bahwa “dalam wacana
para Arkeolog sepakat bahwa pengertian ‘situs’ sebagai kawasan adalah
lahan yang relatif luas, yang berada dan mengandung sebaran sejumlah
situs arkeologi yang letaknya berdekatan atau dalam satuan ruang
(spatial clustering sites)…”. Gunung/Pasir Reungit dengan situs-situs
Kabuyutan yang terletak di sekelilingnya (dalam bentang keruangan
delapan arah mata angin) tidak hanya berdekatan dalam hal keruangannya
(space), juga memiliki kedekatan dalam bentuk (form) dan waktu dalam
sejarah kebudayaan Sumedanglarang”
Hasil kegiatan lapangan
membuktikan pula Gunung/Pasir Reungit merupakan SITUS ke dalam katagori
Locality Site dalam Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas Nangtung di
lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan budaya
lintas masa Sejarah Sumedanglarang.
5. Penutup
Kiranya,
setiap situs memiliki karakter yang unik dan khas sesuai pengalaman
pengetahuan budaya masyarakat pendukung yang telah dijiwai sejarah masa
lampaunya, maka tidak semua situs arkeologi dapat digeneralisasi begitu
saja, apalagi dengan kondisi pengetahuan si peneliti yang kerap terbatas
hanya pada pilihan bidang-bidang minat spesialisasi tertentu.
Andaikan
di era globalisasi saat ini masih terbersit hasrat untuk melirik
sejarah dan kearifan lokal budaya masa silam, hal itu cukup arif, karena
jika kita cermati secara seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat
serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun terdahulu
yang bisa kita gali dan kita ungkapkan di masa kini. Lain daripada itu,
harus diakui bahwa di era globalisasi sekarang, ada kecenderungan bahwa
masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya ‘pituin’
kita sendiri.
Globalisasi memang tidak bisa kita hindari,
namun kita dituntut agar pandai memilih dan memilah budaya asing yang
masuk, serta lebih menghargai peninggalan warisan budaya karuhun kita di
atas kepentingan pribadi, karena warisan budaya nenek moyang kita jauh
lebih berharga dan tidak bisa diukur dengan materi semata.
Salah
satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah
naskah, karena naskah dapat dipandang sebagai dokumen budaya yang berisi
berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan
sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok sosial budaya
tertentu.
Oleh karena itu beberapa hal menarik dari naskah,
prasasti, maupun tradisi lisan, baik itu tuntunan moral, sistem
pemerintahan, kepemimpinan, kosmologis, topografi, pandangan hidup,
situs atau ‘kabuyutan’, maupun unsur budaya lain yang dapat memberi
sedikit gambaran sistem pemerintahan dan kepemimpinan serta kosmologis
masa lampau yang masih sangat relevan untuk dicermati dan dikaji guna
menunjang mengungkapakan data arkeologi yang sifatnya sangat terbatas.
Maka sebagai sumber informasi, dipastikan naskah-naskah buhun termasuk
salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial
budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya.
Terutama
karena menyangkut isinya yang menyiratkan aspek-aspek kehidupan
masyarakat meliputi kondisi sosial dan budaya, religi, teknologi,
ekonomi, kemasyarakatan, pendidikan, bahasa, dan seni.
Dalam
kaitan ini warisan karuhun orang Sunda disebut ‘kabuyutan’ Gunung/Pasir
Reungit ada hubungannya dengan salah satu naskah Sunda berjudul Puru
Sangkara yang secara faktual mengungkapkan keadaan sosial pendukung
budaya tatkala ‘kabuyutan’ tersebut masih berfungsi. Ditunjang oleh
tradisi lisan berupa folklore yang berkembang di masyarakat sekitar
daerah tempat Gunung/Pasir Reungit berada.
Hal itu membuktikan
bahwa naskah bukan isapan jempol belaka, tidak dianggap dan tidak
dihargai, apalagi diremehkan keberadaannya. seluruh kabuyutan yang ada
di daerah Sumedang Selatan, maka terlihat bahwa sebagian besar kabuyutan
terletak di daerah perbukitan landai, dan hanya sedikit di perbukitan
terjal, dan tidak ada di daerah lembah yang datar, sehingga kalau
dihubungkan dengan aspek arkeologis, kosmologis, antropologis dan
lain-lain, maka sangat wajar dan menunjukkan “KEHEBATAN DAN KEGENIUSAN
PENGALAMAN PENGETAHUAN PARA BUYUT” YANG MAMPU MEMILIH LOKASI YAKNI
KEHIDUPAN YANG MENYATU DENGAN ALAM, MEMBUAT MEREKA SANGAT MEMAHAMI ASPEK
LINGKUNGAN DAN DAPAT MEMILIH DAERAH “YANG RAMAH LINGKUNGAN” UNTUK
SELURUH KEHIDUPANNYA TERMASUK ASPEK RITUALITASNYA!
Dari
hasil kegiatan lapangan (data kontekstual) ditunjang berdasarkan (data
tekstual) kutipan teks naskah Carita Ratu Pakuan, tercatat nama
Sumedang-larang (dalam teks lengkap dicatat 4x), Pagulingan, dan
Cadasgantung ditulis dengan Cadas Gumantung di samping juga Cadas Putih
Gumalasar.
Dicatat pula Sanghiyang Karang Curi yang artinya
sama dengan Batu Tegak atau Batu Tiang. Gunung Tamporasih adalah nama
lain dari Gunung Tampomas yang tercatat dalam teks naskah Kisah Bujangga
Manik (tiga kali). Tegas dan nyata bahwa Gunung/Pasir Reungit merupakan
SITUS ke dalam katagori Locality Site Tatanan Mandala Kabuyutan Cadas
Nangtung di lingkungan Gunung Tampomas dengan seluruh kandungan warisan
budaya lintas masa Sejarah Kebudayaan Sumedanglarang.