Maulana Malik Ibrahim yang makamnya
terdapat di Gresik, selain disebut sebagai Sunan Gresik, juga sering
disebut-sebut sebagai walisanga yang pertama, yang tampaknya hanyalah
didasarkan kepada tahun kewafatan yang tertulis pada nisannya, yakni 822
Hijriah, yang berarti 1419 Masehi.
Dibandingkan dengan Sunan Ngampel Denta yang dianggap sebagai
perintis dan pelopor, dan tahun kewafatannya diduga sekitar tahun 1467,
kiranya data semacam ini mengundang sebutan bahwa Malik Ibrahim adalah
wali yang pertama di antara para walisanga. Meski hanya dugaan, legenda
akan tetap beredar demi pengukuhan.
Di antara banyak legenda, kita periksa saja yang ditemukan oleh
Husein Djajadiningrat dalam disertasinya Tinjauan Kritis tentang Sajarah
Banten (1913). Sebetulnya yang diteliti oleh Djajadiningrat adalah
tentang sifat-sifat penulisan sejarah Jawa, dengan Sajarah Banten
sebagai kasusnya, tempat antara lain terdapatnya kisah-kisah walisanga,
termasuk juga tentang Maulana (Djajadiningrat mengeja Molana) Malik
Ibrahim yang jelas disebutnya sebagai dongeng.
Disebutkan dalam Sajarah Banten bahwa Malik Ibrahim adalah penyebar
Islam tertua, yang kisahnya berjalin dengan kisah “saudara sepupu”-
nya, Putri Suwari yang juga disebut sebagai Putri Leran. Konon Molana
Ibrahim ulama sohor dari Arab, keturunan Zeinulabidin, cicit Nabi
Muhammad, menetap dengan sesama orang beriman lainnya di Leran. Lantas
datang saudara sepupu lain, raja Cermen dari tanah seberang, yang
bermaksud mengislamkan Angkawijaya raja Majapahit – jika berhasil,
bahkan ia berniat menghadiahkan putrinya menjadi istri raja Majapahit.
Ringkas cerita, bersualah kedua raja ini di perbatasan, raja Cermen yang
diiringi 40 wali mem-persembahkan sebuah delima, diterima tidaknya
menjadi ukuran apakah raja itu akan masuk Islam. Disebut betapa raja
Majapahit merasa heran, mengapa seorang raja dari seberang
mempersembahkan buah delima, seolah-olah buah semacam itu tak ada di
Jawa. Mengetahui yang dipikirkan raja Majapahit, raja Cermen pamit untuk
kembali ke Leran, hanya Molana Magfur, putera Malik Ibrahim, tinggal di
Majapahit. Ketika buah dibelah, di dalamnya terdapat permata, maka
segeralah raja meminta agar Molana Magfur menyusul raja Cermen agar
balik ke Majapahit. Raja Cermen ternyata menolak. Ketika sampai di Leran
berjangkit penyakit yang membunuh banyak orang. Tiga dari lima orang
saudara sepupu yang bersamanya datang dari seberang, Jafar, Sayid Kasim,
dan Sayid Ghart tewas pula karenanya – makam mereka terkenal dengan
nama kuburan panjang.
Tak ketinggalan sakit pula Putri Leran, putrinya, yang berencana ia
nikahkan dengan raja Majapahit. Adapun doanya kepada Tuhan adalah,
mohon kesembuhan putrinya agar bisa dinikahkan, tetapi kalau raja
Majapahit tak bisa masuk Islam mohon agar usia putrinya dipendekkan saja
– dan itulah yang terjadi. Ternyata Angkawijaya menyusul ke Leran, dan
ketika mendengar kematian ketiga “pangeran” ia disebutkan menilai rendah
kepercayaan raja Cermen, karena tidak bisa menghalangi kematian para
pangeran yang masih muda.
Sampai di sini Malik Ibrahim berperan lagi, dengan memberi jawaban
bahwa ketidakpahaman raja yang seperti itu tentunya diakibatkan
penyembahan kepada dewa-dewa, dan bukan kepada Tuhan yang hakiki.
Dikisahkan betapa Angkawijaya menjadi murka dan terpaksa ditenangkan
para pengikutnya. Pulanglah ia ke Majapahit dan tidak mau mengingat lagi
peristiwa yang terjadi tahun 1313 (tentunya penanggalan Saka, meski
hanya dalam dongeng) itu. Disebutkan bahwa Malik Ibrahim kemudian pindah
dari Leran ke Gresik, setelah meninggal dimakamkan di gerbang timur
kota pelabuhan itu. Makam dan pembongkaran Masih ada lagi legenda
tentang Malik Ibrahim, tetapi mirip cerita sinetron laga, sehingga bagi
pembaca Intisari yang budiman lebih berguna disajikan cerita tadi saja,
karena pembongkarannya akan menjelaskan beberapa hal. Pertama, tentang
dihubung-hubungkannya Malik Ibrahim dengan Putri Leran. Cerita ini
terbentuk tentu karena terdapatnya kuburan atau makam panjang di Leran,
yang tanggalnya lebih tua tiga abad. Dalam penelitian J.P. Moquette,
batu nisan Malik Ibrahim berasal dari Cambay di Gujarat, sedangkan
Djajadiningrat menyebutkan tentang makam di Leran, bahwa “Batu-batu
nisan semacam itu masih tiga abad lagi lamanya dipesan di luar Jawa,
yaitu di India.” Belum bisa disimpulkan apa pun dari data ini, kecuali
pengenalan bahwa untuk setiap pernyataan dalam ilmu sejarah dituntut
pendasaran yang kuat. Dalam hal makam panjang di Leran, bisa diikuti
misalnya beberapa cuplikan dari uraian ahli epigrafi (ilmu tentang
prasasti) Louis-Charles Damais dalam artikel “Epigrafi Islam di Asia
Tenggara” (1968) dari buku Epigrafi dan Sejarah Nusantara (1995):
“Prasasti paling tua yang dikenal di Jawa berasal dari suatu zaman
ketika kebanyakan orang-orang Muslim di pulau itu berasal dari luar;
kemungkinan besar mereka adalah pedagang, entah mereka menetap atau
hanya singgah, walaupun kemungkinan yang kedua itu jelas lebih besar.
Yang dimaksud di sini ialah nisan seorang gadis di kuburan Leran,
beberapa kilometer dari Gresik di Jawa Timur, sebelah barat laut
pelabuhan besar Surabaya (ucapan Jawanya adalah Suroboyo). “Oleh karena
kami di sini tidak mungkin dapat memerinci dan membahas hasil bacaan
Moquette yang telah berjasa sebagai orang pertama yang menafsirkan
prasasti itu, ataupun hasil pembacaan Ravaisse yang telah mengadakan
beberapa perubahan, cukuplah kami kemukakan bahwa almarhumah bernama
binti Maymun, sebagaimana cukup terbukti. Tanggalnya Jumat 7 Radjab 475
tahun Hijriah, atau 2 Desember 1082 M, artinya keesokan hari padanan
teoretis menurut Tabel-tabel. Tanggal ini telah menimbulkan perdebatan,
oleh karena 70 dan 90 mudah dikacaukan dalam tulisan Arab yang tidak ada
tanda diakritiknya dan oleh karena epitaf itu mengandung kesalahan;
yang tertulis sesungguhnya ialah ….., jadi harus dibetulkan. Akan tetapi
hari pekan yang tercantum itu beserta kemungkinan paleografinya menurut
kami merupakan kunci masalah itu, dan padanannya dengan tarikh Julius
bagi kami tidak meragukan lagi, seperti telah kami uraikan sebabnya
dalam tulisan lain. “Tidak diketahui siapa gerangan gadis itu. Menurut
dongeng setempat, ia adalah seorang putri raja, yaitu Putri Dewi Suwari
atau Putri Leran. Unsur ini sudah tentu tidak tepat, karena
sengkalan-sengkalan (kalimat yang menunjuk tahun – Red) yang
bersangkutan dengan gadis itu menunjuk angka-angka tahun yang kira-kira
tiga abad lebih muda, sedangkan prasasti itu sekurang-kurangnya jelas
mengenai angka abad dalam tahun Hijriah. Sebuah dongeng dalam teks yang
disebut oleh Knebel pada tahun 1906 dan yang ketika itu milik juru kunci
makam itu, mengemukakan umpamanya sebuah sengkalan yang diartikan sama
dengan 1308 Saka = 1386 (-87) M. Sebuah sengkalan lain sama dengan 1313
Saka = 1391 (-92) M. Lagipula, seandainya binti Maymun itu seorang putri
raja, derajatnya pasti tertera pada nisannya, sedangkan di sini tidak.
Jadi, sudah boleh dianggap pasti bahwa pada waktu itu yang bersangkutan
adalah anak orang asing yang menetap untuk sementara waktu, tetapi yang
tidak kita ketahui apa-apanya.” Intisari sendiri juga belum memeriksa,
bagaimana diketahui bahwa yang disebut sebagai gadis itu bukannya
nenek-nenek. Kedua, dan dengan begitu, layak diperiksa pula fakta
mengenai Maulana Malik Ibrahim itu sendiri, apakah sesuai dengan
dongengnya, masih memanfaatkan penelitian Louis-Charles Damais yang
diterbitkan dua tahun setelah pria Prancis yang menikah dengan perempuan
Indonesia itu meninggal pada 1966: “Yang dikemukakan sekarang ialah
prasasti lain, dari daerah yang sama, dari masa tiga abad sesudah
prasasti binti Maymun, sebab tanggalnya Senin 12 Rabi al-awwal 822 H =
10 April 1419 M (dua hari sesudah padanannya yang teoretis). Prasasti
itu terdapat di sebuah kuburan di Gresik yang bernama Gapura Wetan.
Menurut suatu tradisi setempat, makam itu makam salah seorang tokoh yang
dianggap termasuk penyebar agama Islam yang pertama di Jawa, yang
sering dinamakan Wali Sanga. Bahwasanya dia termasuk salah seorang
penyebar utama agama Islam, agaknya patut diragukan, mengingat bahwa
penyebaran agama itu di Jawa Timur telah berlangsung jauh lebih awal,
akan tetapi sudah tentu tidaklah mustahil bahwa tokoh itu, jika memang
berwibawa, telah dapat mengajak orang masuk agama Islam, sehingga hal
itu masih dikenang orang. Dia juga dianggap keturunan Nabi yang datang
dari Tanah Arab. Dan salah satu namanya menurut dongeng, yang malah
menganggapnya sebagai seorang paman Dewi Putri Suwari, adalah Mawlana
Maghribi, “Guru dari Barat”. Tetapi hal itu tidak tertulis pada
nisannya. Prasasti berbahasa Arab itu, yang keadaannya masih baik
sekali, tidak menyebutkan asal-usulnya, tetapi kita dapat membaca
namanya dengan jelas, yaitu Malik Ibrahim, sebuah nama yang juga masih
bertahan dalam tradisi setempat.” Islamisasi: faktor Gresik Dengan
begitu menjadi jelas perbedaan teks, antara yang mengemukakan fakta
dengan yang berimajinasi, bahwa antara Malik Ibrahim dan Maymun
(Djajadiningrat menyebutnya Fatimah binti Maimun, tapi ia mengacu
epigraf M. van Berchem yang mengikuti petunjuk Snouck Hurgronje, dosen
pembimbingnya yang tersohor) ternyata tak ada hubungannya sama sekali,
meskipun fakta keduanya terhubungkan dalam konteks spekulasi lain, bahwa
Gresik atau tepatnya Garesik yang bentuk krama-nya dalam prasasti dan
naskah ditulis sebagai Tandes, adalah kota pelabuhan yang menjadi jalan
masuk agama Islam di Jawa. Kalau kita ikuti kembali hasil penelitian
Graaf dan Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari
Majapahit ke Mataram (1974), terbaca laporan dari berita-berita kuno
yang tersusun sebagai berikut: “Menurut berita-berita Cina, Gresik
didirikan sebagai kota pelabuhan pada paruh kedua abad ke-14 di sebidang
tanah pantai yang terlantar. Penduduk pertama ialah pelaut dan pedagang
Cina. Pada abad ke-15 perkampungan baru itu mungkin telah menjadi
makmur; pada tahun 1411 seorang penguasa Cina di situ telah mengirim
utusan yang membawa surat-surat dan upeti ke keraton Kaisar di Cina.
Pada tahun 1387 M. Gresik sudah dikenal sebagai wilayah kekuasaan
maharaja Majapahit. Ini terbukti dari Piagam Karang Bogem, yang berisi
ketetapan tentang kawula, budak, atau orang tebusan di keraton yang
berasal dari Gresik. “Mungkin maharaja Majapahit yang bersemayam di
pedalaman Jawa Timur beranggapan bahwa daerah-daerah pantai juga
termasuk wilayahnya dan di situ kekuasaannya sebagai penguasa wilayah
juga diakui. Hubungan antara raja pribumi dan pedagang asing yang
menetap di negara mereka yang ingin mempertahankan hubungan mereka
dengan tanah leluhurnya, lebih-lebih dari sudut kepentingan perdagangan,
dapat diduga dengan adanya berita-berita tentang perutusan dari
seberang lautan ke Cina. Seperti yang diberitakan pada permulaan abad
ke-15 sehubungan dengan Gresik, perutusan yang menghadap kaisar Tiongkok
(biasanya orang Cina peranakan), mengambil peranan yang penting.”
Dengan membandingkan angka-angka tahun, kita bisa meraba konteks
keberadaan Malik Ibrahim, yang oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa:
Silang Budaya 2, Jaringan Asia (1990), disebutkan, “… mungkin sekali
pedagang dari Gujarat.” Namun dengan pertimbangan angka tahun itu pula,
kelompok makam panjang di Leran kehilangan konteks yang penting dalam
pembahasan tentang penyebaran Islam di Jawa. Menjadi misterius memang
apa yang sebetulnya terjadi sehingga orang-orang ini bermakam panjang
pada abad ke-11 di Leran. Memang diyakini mereka Muslim, kemungkinan
pedagang asing yang singgah, dan tidak dipertimbangkan sama sekali
sebagai penyebar Islam, meski kuburan mereka adalah yang tertua. Dalam
bahasa Damais pun, “Di sini tidak ikut kami perhitungkan makam di Leran,
yang dilihat dari segala segi merupakan kelompok tersendiri.”
Pertanyaannya, ketika Majapahit masih berkuasa penuh, apakah itu berarti
Islam hanya beredar di pesisir seperti Gresik, itu pun di antara para
pedagang asing? Kuburan Matahari Louis-Charles Damais memeriksa
setidaknya 36 berkas laporan, oleh para peneliti maupun pejabat
pemerintah Hindia Belanda, untuk akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa
para ahli kepurbakalaan Belanda telah melewatkan fakta penting di depan
hidung mereka, betapa pada puncak kejayaan Majapahit, yakni masa
pemerintahan Hayam Wuruk, sebagian anggota keluarga kerajaan telah
memeluk agama Islam, seperti dibuktikannya melalui pembahasan epigrafis
tujuh makam di Tralaya. Melalui berkas “Makam Islam di Tralaya” (1955),
kita bisa mengikuti penelusuran Damais atas berbagai data menyangkut
tujuh makam yang dituliskannya,” … disebutkan pertama kali 75 tahun
lalu; meskipun demikian nilai purbakala dan sejarahnya selalu
diabaikan.” Secara ringkas, yang terutama diabaikan adalah fakta
terdapatnya tulisan Arab pada nisan-nisan tersebut, karena selalu
dianggap sebagai tambahan baru pada nisan lama yang berangka tahun Saka.
Dengan sangat rumit, bahkan disebut seperti perhitungan matematis,
Damais akhirnya bisa membuktikan bahwa pada kelompok makam yang oleh
penduduk disebut Kuburan Srengenge tempat dimakamkannya Pangeran Surya,
boleh diyakini terdapatnya para anggota kerajaan Majapahit yang telah
memeluk Islam, dan dimakamkan masing-masing tahun 1376, 1380, 1418,
1407, 1427, 1467, 1475, 1467, 1469, dan yang agak meloncat, yakni 1611.
Mengapa data angka kematian lebih dari tujuh? Karena Damais berhasil
juga menemukan tumpang tindihnya nisan-nisan tersebut, bahwa yang
sepertinya di tempat kaki ternyata untuk kepala juga misalnya, sehingga
ia berpendapat sebetulnya terdapat sepuluh makam di sana. Perhatikan
pula bahwa angka tahun yang tertua hanya sebelas tahun lebih muda dari
Nagarakrtagama yang ditulis Prapanca. Sayang sekali tidak cukup ruang
untuk menceritakan kembali bagaimana mengagumkannya Damais menguak
misteri, bahkan ketika sebagian nisan berprasasti itu disebutnya sudah
hilang, sehingga ia menafsir hanya dari yang tersisa maupun dari
foto-foto yang diambil para peneliti dan petugas dinas purbakala Hindia
Belanda, yang telah mencatat terdapatnya kuburan tersebut se-jak abad
ke-19. Dengan meneliti ke-36 berkas ilmiah maupun laporan dinas atas
kelompok makam tersebut, Damais menemukan misalnya dalam konteks makam
ke-9, “Kami tidak melihat nisan itu disebutkan di mana pun, sebab para
ilmuwan, yang telah meneliti situs Tralaya, tidak pernah menunjukkan
minat sedikit pun pada prasasti Arab. Padahal teks pendek itu sangat
penting karena menunjukkan bahwa di samping angka tahun berangka Jawa
kuno, sekurang-kurangnya ada satu yang bertahun Hijriah dan berasal dari
periode yang sama.” Bahwa kuburan itu kuburan bangsawan Majapahit,
tertandai dari apa yang disebut medalion yang dilingkari “kalangan
bersinar dari Majapahit”. Suatu tanda yang rupanya telah mengarahkan
penyebutan Kuburan Srengenge (Matahari) atau Pangeran Surya itu. Juga
dari lokasinya yang begitu dekat dengan pusat pemerintahan di Trowulan.
Menarik sekali analisis Damais atas kesalahan tulis kalimah syahadat
pada salah satu nisan itu, yang terarah kepada tukang pahatnya, bahwa
mungkin saja pengetahuannya sangat kurang atau nihil, mampu mengucapkan
syahadat tapi tidak mengetahui aturan ejaan bahasa Arab, dan mungkin
pula salah menafsirkan tanda dari sebuah contoh model bahasa Arab
tertulis. Terutama sekali Damais mengoreksi kesalahan teknis maupun
keluputan tafsir para ilmuwan pendahulunya, yang tampak sulit melepaskan
diri dari stigma bahwa kejayaan Majapahit memustahilkan terdapatnya
pemeluk Islam dari kalangan penduduk asli. Kesimpulan Damais memang
sebaliknya, “Secara pribadi kami tidak dapat berbuat lain kecuali
menganggap angka tahun pada nisan-nisan Tralaya sebagai bukti keberadaan
orang Islam, yang mungkin sekali berbangsa Jawa, di ibu kota Majapahit,
sejak tahun-tahun akhir abad ke-13 Saka. Jadi, pada hemat kami tidak
dapat dikatakan, seperti halnya Krom, bahwa situs itu ‘dilihat dari
dirinya sendiri tidak mempunyai arti arkeologis’. Justru sebaliknya,
dalam suatu kajian sistematis mengenai makam-makam Islam tertua di Jawa –
yang masih harus dilakukan – situs itu tidak pelak lagi akan meng-ambil
tempat yang penting.” Dengan demikian, dari ziarah pustaka edisi ini
pembaca Intisari terhadapkan bukan saja dengan Malik Ibrahim, yang angka
pada nisannya (1419) melahirkan dongeng dirinya sebagai “walisanga
pertama”; tetapi juga dengan kelompok makam panjang Leran yang jauh
lebih tua (1082) dan diduga sebagai makam orang asing yang sebetulnya
hanya singgah; maupun dengan makam Islam di Tralaya yang juga sebagian
besar lebih tua (1376/1611) dari zaman Majapahit, yang kali ini diduga
kuat adalah makam orang Jawa. Demikianlah ilmu-ilmu sejarah menyingkap
mitos, seperti yang sudah semestinya menjadi tugas ilmu pengetahuan.
Sumber: INTISARI, April 2006
No comments:
Post a Comment