Para penjelajah
bahari Nusantari berlayar hingga Madagaskar. Para tokoh bangsa pun
sempat membayangkan Republik Indonesia terbentang sampai ke sana.
ORANG
Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian
teranyar yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B,
21 Maret lalu. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia
Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA
mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang
berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar
(Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina.Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.
Penelitian DNA ini memperkuat penelitian-penelitian
sebelumnya. Secara arkeologis dibuktikan dengan temuan perahu bercadik
ganda, peralatan besi, alat musik xylophone atau gambang, dan
makanan tropis seperti tanaman ubi jalar, pisang, dan talas.
Dari sisi linguistik, kebanyakan leksikon
penduduk Madagaskar berasal dari bahasa Ma’anyan yang digunakan di
daerah lembah Sungai Barito di tenggara Kalimantan, dengan beberapa
tambahan dari bahasa Jawa, Melayu, atau Sanskerta. Menurut Robert
Dick-Read dalam Penjelajah Bahari, kemiripan ini kali pertama
dikemukakan misionaris-cum-linguis Norwegia Otto Dahl pada 1929
setelah meneliti kamus Ma’anyan karya C. Den Homer (1889) dan karya
Sidney H. Ray (1913). “Tapi, kita harus melihat lebih teliti lagi sebab
asal-usul Ma’anyan masih diperdebatkan,” tulis Dick-Read.
Anehnya, Dahl sendiri menyebut kemiripan
itu tak memecahkan semua misteri bahasa Malgache (Malagasi). Sebab,
terdapat beberapa unsur dalam Malgache yang mengarah ke Celebes
(Sulawesi), terutama suku Bajo dan Bugis yang dikenal sebagai
pelaut ulung. “Nenek moyang dari suku-suku inilah yang kemungkinan besar
adalah para pelaut Indonesia yang telah berhasil menjelajah lautan
hingga ke Afrika,” tulis Dick-Read.
Bahkan, tak hanya ketiga suku tersebut. Menurut S. Tasrif
dalam Pasang Surut Kerajaan Merina, “mereka kemungkinan
campuran dari ras Sumatra, Jawa, Madura, Sulawesi, atau orang-orang
Indonesia Timur. Di sana, mereka berbaur membangun kebudayaan Malagasi.
Para pendatang itu kemudian dominan di Madagaskar, karena penduduk
aslinya sangat sedikit. Di kemudian hari, datang pendatang baru dari
Arab, Pakistan, India, dan orang-orang Prancis yang membawa buruh-buruh
Afrika hitam. Jadilah Madagaskar sebuah negeri multiras,” demikian
dikutip Tempo, 21 September 1991.
Senada dengan pendapat Tasrif, ahli sejarah
Afrika, Raymond Kent, dalam Early Kingdoms in Madagascar 1500-1700,
menyimpulkan, “... pasti telah terjadi pergerakan manusia dalam
jumlah besar yang datang secara sukarela dan bertahap dari Indonesia
pada abad-abad permulaan milenium pertama. Sebuah pergerakan yang dalam
istilah Malagasi kuno disebut lakato (pelaut sejati) karena
mereka tidak berasal dari satu etnis tertentu.”
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa, intelektual
pertama yang membahas hubungan Nusantara dan Madagaskar adalah Moh.
Nazif yang menulis disertasi De Val van het Rijk Merina pada
1928 di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Adanya hubungan Indonesia
dengan Madagaskar kemudian digunakan sebagai “politik kesatuan” oleh
beberapa tokoh bangsa sejak 1920-an.
Pada
peresmian Lembaga Pertahanan Nasional di Istana Negara, Jakarta, 20 Mei
1965, Sukarno, merujuk karya Nazif, mengemukakan: “...bangsa Indonesia
itu adalah sebenarnya qua ras inter related dengan
bangsa-bangsa yang mendiami Kepulauan Pasifik, Indocina, sampai
Madagaskar.” Dalam beberapa kesempatan Sukarno kerap menyebut andil
Indonesia dalam terbentuknya Madagaskar.
Dalam sambutan Kongres Indonesia Muda pertama tahun 1930,
dikutip R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia, tokoh
pergerakan Kuncoro Purbopranoto mengatakan, “Indonesia merupakan satu
negeri, dengan satu bangsa, dari Madagaskar hingga Filipina, dengan satu
sejarah, sejarah Sriwijaya dan Majapahit...”
Tan Malaka setali tiga uang. Dalam Madilog,
keyakinan Tan akan para pelaut Nusantara yang menjelajah hingga
Madagaskar membuatnya memimpikan Republik Indonesia Raya sampai
Madagaskar. “Tan Malaka dulu membayangkan wilayah Republik Indonesia
Raya merdeka itu akan terbentang dari Pulau Madagaskar melintasi seluruh
semenanjung Melayu, kepulauan Filipina, seluruh Hindia Belanda,
termasuk Timtim sampai ke ujung Timur Papua,” tulis Sultan Hamengku
Buwono X dalam Merajut Kembali Keindonesiaan Kita.
Saking penasaran,
Mohammad Yamin sampai pergi ke Madagaskar pada 1957. “Di Pulau
Madagaskar bangsa Indonesia berkuasa mendirikan kerajaan Merina, yang
diruntuhkan oleh tentara Prancis dalam tahun 1896, dan sampai kepada
kerajaan ini tidaklah terkenal Konstitusi yang dituliskan,” tulis Yamin
dalam Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.
Namun, menurut Dick-Read, Merina yang
merupakan penduduk mayoritas di Madagaskar, berasal dari nenek moyang
berdarah campuran yang bermigrasi pada permulaan abad ke-16, yakni kaum
Anteimoro yang kemungkinan berasal dari dataran tinggi Ethiopia bagian
selatan dan kaum Hova.
“Besar
kemungkinan bahwa kaum Hova merepresentasikan satu-satunya unsur
Indonesia murni di Madagaskar,” tulis Raymond Kent.
Hubungan Indonesia-Madagaskar
lebih terang dilihat dari bahasa. Yamin, tulisan Lombard, senang
mencari persamaan antara bahasa-bahasa di Indonesia dan Malagasi. Yamin
menyontohkan, “kerajaan Indonesia di Madagaskar yang telah dijadikan
museum namanya: Rua. Perkataan Indonesianya: ruang, balairung.”
Contoh lain, “sebutan untuk bilangan dua,
tiga, empat, lima. Dalam bahasa Malagasi disebut rua, telu, efat,
dan limi. Ini mirip ucapan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda,
dan Bali,” tulis Tempo, 21 September 1991. “Lalu kata anak,
mati, padi, dan tembok. Dalam bahasa Malagasi disebut anaka, maty,
pary, dan tambuk.”
Atau “tenko dan baratang, bahasa Makassar
untuk cadik dan tiang/galah cadik; dalam bahasa Malagasi disebut tengo
dan baratengo,” tulis Dick-Read.
Marcopolo-lah yang menamai Madagaskar pada
akhir abad ke-13. Dia menuliskannya Magaskar. Dia sendiri tak
mengunjungi pulau itu. Gambaran pulau itu dia peroleh dari para pedagang
Arab. Karena itu, menurut Dick-Read, dia keliru menyebut pulau itu
subur, banyak gajah dan singa, dan makanan utama penduduknya daging
unta.
Menurut Dick-Read, jika melihat kesejajaran kata Bajun (istilah setempat untuk orang di atas perahu) dengan Bajoo dan Manda (pulau yang dihuni oleh suku Bajun di Afrika Timur) dengan Mandar, “tidakkah cukup beralasan bila kita berpendapat bahwa kata Madagaskar memiliki hubungan dengan suku bangsa pelaut lain di Sulawesi, yang terkait dengan suku Bugis, Bajo, dan Manda –Makassar?”
No comments:
Post a Comment