Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Artikel ini berisi tentang teritori. Untuk kota, lihat
Gaza.
Jalur Gaza (
bahasa Arab:
قطاع غزة Qiṭāʿ Ġazzah,
IPA: [qɪˈtˤɑːʕ ˈɣazza]) adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur
Laut Tengah, berbatasan dengan
Mesir di sebelah barat daya (11 km), dan
Israel
di sebelah timur dan utara (51 km (32 mil)). Jalur Gaza memiliki
panjang sekitar 41 kilometer (25 mil) dan lebar antara 6 to 12
kilometers (3,7 hingga 7,5 mil), dengan luas total 365
km² (141
mil²).
[1] Populasi di Jalur Gaza berjumlah sekitar 1,7 juta jiwa.
[2] Mayoritas penduduknya besar dan lahir di Jalur Gaza, selebihnya merupakan pengungsi
Palestina[3] yang melarikan diri ke
Gaza setelah meletusnya
Perang Arab-Israel 1948. Populasi di Jalur Gaza didominasi oleh
Muslim Sunni.
Tingkat pertumbuhan penduduknya pertahun mencapai angka 3,2%,
menjadikannya sebagai wilayah dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi
ke-7 di dunia.
[2]
Jalur Gaza memperoleh batas-batasnya saat ini pada akhir perang tahun 1948, yang ditetapkan melalui
Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir pada tanggal 24 Februari 1949.
[4]
Pasal V dari perjanjian ini menyatakan bahwa garis demarkasi di Jalur
Gaza bukanlah merupakan perbatasan internasional. Jalur Gaza selanjutnya
diduduki oleh Mesir. Pada awalnya, Jalur Gaza secara resmi dikelola
oleh
Pemerintahan Seluruh Palestina, yang didirikan oleh
Liga Arab
pada bulan September 1948. Sejak pembubaran Pemerintahan Seluruh
Palestina pada tahun 1959 hingga 1967, Jalur Gaza secara langsung
dikelola oleh seorang gubernur militer Mesir.
Israel merebut dan menduduki Jalur Gaza dalam
Perang Enam Hari pada tahun 1967. Berdasarkan
Persetujuan Damai Oslo yang disahkan pada tahun 1993,
Otoritas Palestina
ditetapkan sebagai badan administratif yang mengelola pusat
kependudukan Palestina. Israel mempertahankan kontrolnya terhadap Jalur
Gaza di wilayah udara,
wilayah perairan, dan lintas perbatasan darat dengan Mesir. Israel
secara sepihak menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005.
Jalur Gaza merupakan bagian dari
teritori Palestina.
[5][6][7][8] Sejak bulan Juli 2007, setelah
pemilihan umum legislatif Palestina 2006 dan setelah
Pertempuran Gaza,
Hamas menjadi penguasa
de facto di Jalur Gaza, yang kemudian membentuk
Pemerintahan Hamas di Gaza.
Sejarah
Mandat Britania (1923–1948)
World War I military cemetery, Gaza
Mandat Palestina didirikan dengan didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 22 dari
Perjanjian Liga Bangsa-Bangsa dan
Resolusi San Remo pada tanggal 25 April 1920 oleh
Sekutu dan kekuatan terkait setelah
Perang Dunia I.
[9] Mandat ini menetapkan bahwa
Britania Raya menguasai wilayah bagian selatan
Suriah Utsmaniyah sejak tahun 1923 hingga 1948.
Pemerintahan Seluruh Palestina
Pada tanggal 22 September 1948, menjelang akhir
Perang Arab-Israel 1948, Pemerintahan Seluruh Palestina diproklamasikan oleh
Liga Arab di Kota
Gaza yang diduduki Mesir. Pemerintahan ini didirikan oleh Liga Arab untuk membatasi pengaruh
Transyordania di Palestina. Pembentukan Pemerintahan Seluruh Palestina ini diakui oleh enam dari tujuh negara anggota Liga Arab, yaitu:
Mesir,
Suriah,
Lebanon,
Irak,
Arab Saudi, dan
Yaman, sedangkan negara Liga Arab yang tidak mengakui adalah
Transyordania. Di luar Liga Arab, tidak satupun negara yang mengakui pembentukan pemerintahan tersebut.
[10]
Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Mesir
yang disahkan pada tanggal 24 Februari 1949 mengakhiri permusuhan
antara kedua belah pihak, sekaligus menetapkan garis perbatasan antara
pasukan Mesir dan Israel. Perjanjian ini juga menetapkan perbatasan
antara Jalur Gaza dengan Israel yang tetap berlaku hingga saat ini.
Kedua belah pihak menyatakan bahwa batas tersebut bukanlah perbatasan
internasional, sedangkan perbatasan selatan dengan Mesir tetap menjadi
perbatasan internasional yang telah ditetapkan pada tahun 1906 antara
Kekaisaran Utsmaniyah dan
Imperium Britania.
[11]
Populasi di Jalur Gaza terus meningkat seiring dengan masuknya gelombang besar-besaran
pengungsi Palestina
yang keluar dari israel sebelum dan selama terjadinya peperangan. Warga
palestina yang tinggal di Jalur Gaza atau Mesir menerbitkan paspor
Seluruh Palestina. Mesir tidak menawarkan untuk memberikan
kewarganegaraan kepada pengungsi Palestina. Sejak akhir 1949, para
pengungsi ini menerima bantuan langsung dari badan
PBB UNRWA. Selama berlangsungnya
Kampanye Sinai November 1956, Jalur Gaza dan
Semenanjung Sinai
diduduki oleh tentara Israel. Adanya tekanan internasional membuat
Israel akhirnya menarik diri dari Jalur Gaza. Pemerintahan Seluruh
Palestina dibubarkan oleh Presiden Mesir
Gamal Abdul Nasser pada tahun 1959.
Pendudukan Mesir (1959–1967)
Setelah pembubaran Pemerintahan Seluruh Palestina pada tahun 1959,
dengan dalih pan-Arabisme, Mesir terus menduduki Jalur Gaza hingga tahun
1967. Pada kenyataannya, Mesir tidak pernah menganeksasi Jalur Gaza,
melainkan memperlakukannya sebagai teritori dan mengelolanya melalui
seorang gubernur militer
[12]
Pendudukan Israel
Israel kembali menguasai Jalur Gaza pada bulan Juni 1967 setelah berakhirnya
Perang Enam Hari. Selama periode ini, Israel mendirikan sebuah blok pemukiman bernama
Gush Katif di sudut barat daya, di dekat
Rafah dan perbatasan Mesir. Secara total Israel menciptakan 21 pemukiman di Jalur Gaza, yang terdiri dari 20% dari luas wilayah.
Pada bulan Maret 1979, Israel dan Mesir menandatangani
Perjanjian Damai Israel-Mesir.
Perjanjian ini antara lain menyatakan bahwa Israel harus menarik warga
sipil dan tentaranya dari Semenanjung Sinai yang telah diduduki oleh
Israel selama Perang Enam Hari, ke perbatasan internasional yang
ditetapkan pada tahun 1906.
[rujukan?]
Mesir sepakat untuk men-demiliterisasi Semenanjung Sinai. Status akhir
dari Jalur Gaza dan hubungan lainnya antara Israel dan Palestina tidak
diatur dalam perjanjian ini. Mesir menolak klaim teritorial Israel atas
wilayah di sebelah utara perbatasan internasional. Jalur Gaza tetap
berada di bawah kendali militer Israel hingga tahun 1994.
Intifada Kedua
pecah pada bulan September 2000, ditandai dengan terjadinya berbagai
gelombang protes, kerusuhan sipil, dan pemboman terhadap militer Israel
dan warga sipil, kebanyakan dilakukan oleh pembom bunuh diri, peluncuran
roket dan bom ke daerah perbatasan Israel oleh gerilyawan Palestina
dari Jalur Gaza, terutama oleh gerakan
Hamas dan Jihad Islam. Pada bulan Februari 2005, pemerintah Israel memutuskan untuk
menerapkan rencana penarikan diri sepihak dari Jalur Gaza.
Rencana ini mulai diterapkan pada tanggal 15 Agustus 2005, dan selesai
pada tanggal 12 September 2005. Berdasarkan rencana tersebut, semua
permukiman dan pangkalan militer Israel di Jalur Gaza (empat di
Tepi Barat)
dan Zona Industri Bersama Israel-Palestina dibongkar. Pada tanggal 12
September 2005, kabinet Israel secara resmi menyatakan bahwa Israel
secara resmi mengakhiri pendudukan militernya di Jalur Gaza. Israel juga
menarik diri dari
Rute Philadelphi,
jalur sempit yang berdekatan dengan jalur perbatasan dengan Mesir.
Namun, Israel tetap mempertahankan kontrolnya atas jalur perlintasan
masuk dan keluar dari Gaza. Perlintasan Rafah antara Mesir dan Gaza
dipantau oleh tentara Israel melalui kamera pengawasan khusus.
Penarikan diri sepihak Israel (2005)
Angkatan Pertahanan Israel
meninggalkan Jalur Gaza pada tanggal 1 September 2005 sebagai bagian
dari rencana penarikan diri sepihak Israel, dan semua warga negara
Israel diusir dari daerah tersebut. Sebuah perjanjian antara Israel dan
Otoritas Palestina yang ditengahi oleh
Condoleezza Rice
disahkan pada bulan November 2005. Perjanjian ini bertujuan untuk
meningkatkan kebebasan warga Palestina untuk melakukan kegiatan ekonomi
di Jalur Gaza. Berdasarkan ketentuan perjanjian tersebut, perlintasan
Rafah dengan Mesir harus dibuka kembali, dan lalu lintasnya dipantau oleh
Otoritas Nasional Palestina dan
Uni Eropa.
Hanya orang-orang dengan ID Palestina, atau warga negara asing dalam
kategori tertentu yang tunduk pada pengawasan Israel, yang diizinkan
untuk memasuki dan keluar dari Jalur Gaza. Semua barang, kendaraan dan
truk yang berasal atau menuju Mesir yang melewati
Perlintasan Kerem Shalom, juga berada di bawah pengawasan penuh militer Israel.
[13]
Otoritas Palestina
Pagar pembatas Jalur Gaza
Pada bulan Mei 1994, setelah perjanjian Palestina-Israel, atau yang dikenal sebagai
Persetujuan Damai Oslo
disahkan, transfer pemerintahan dari Israel ke Palestina mulai
dilakukan secara bertahap. Sebagian Jalur Gaza (kecuali untuk blok
permukiman dan pangkalan militer) berada di bawah kendali Palestina.
Tentara Israel meninggalkan
Gaza dan daerah perkotaan lainnya.
Otoritas Palestina, yang dipimpin oleh
Yasser Arafat, memilih Kota Gaza sebagai pusat administrasi. Pada bulan September 1995, Israel dan
OPP menandatangani
perjanjian damai kedua yang memperluas kewenangan Otoritas Palestina terhadap kota-kota di
Tepi Barat. Perjanjian tersebut juga membentuk 88 anggota
Dewan Nasional Palestina terpilih, yang menggelar sidang perdananya di Gaza pada bulan Maret 1996.
Antara tahun 1994 dan 1996, Israel membangun
pembatas Jalur Gaza Israel untuk meningkatkan keamanan di Israel. Sebagian besar pembatas ini dirobohkan oleh Palestina pada awal
Intifada Al-Aqsa bulan September 2000.
[14] Pada bulan Desember 2000 hingga Juni 2001, pembatas antara Gaza dan Israel dibangun kembali.
[15]
Selain itu, Israel juga masih memiliki hak untuk mengontrol perbatasan
utara Jalur Gaza, serta wilayah perairan dan udara, sedangkan Mesir
mengontrol perbatasan selatan Jalur Gaza.
[16]
Status hukum
PBB,
Human Rights Watch,
dan organisasi serta LSM internasional lainnya menganggap bahwa Israel
masih menduduki Jalur Gaza karena Israel-lah yang menguasai wilayah
udara dan perairan Gaza dan tidak memungkinkan dilakukannya pergerakan
barang ke dalam atau keluar Gaza lewat udara atau laut (hanya melalui
darat).
[17][18][19]
Namun, lintas perbatasan dengan Mesir tidak dikontrol oleh Israel.
Seperti halnya Israel, Mesir juga membatasi lalu lintas barang dan orang
yang melintasi perbatasan. Israel menyatakan bahwa Gaza tidak lagi
didudukinya, karena Israel tidak memiliki hak kontrol efektif atau
kewenangan atas daratan di Jalur Gaza.
[20][21] Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni
menyatakan pada tahun 2008: "Israel hengkang dari Gaza. Membongkar
permukimannya disana. Tak ada lagi tentara Israel yang tersisa disana
setelah penarikan diri dari wilayah itu."
[22] Setelah Israel mundur pada tahun 2005, Pemimpin
Otoritas Palestina,
Mahmoud Abbas, menyatakan bahwa status hukum dari Jalur Gaza tidak mengalami perubahan,
[20] dan status Gaza masih tidak jelas setelah Operasi Cast Lead dan invasi Israel di Gaza pada bulan Januari 2009.
[23] Pada tahun 2012, pendiri
Hamas, Mahmoud Zahar, menyatakan bahwa Gaza tidak lagi diduduki.
[24]