Monday, September 17, 2012

Koloni Makassar di Benua Selatan


Sekitar 209 tahun yang lalu, tepatnya Kamis 17 Februari 1803, Matthew Flinders seorang mualim, mencatat kehadiran 6 perahu asing di perairan Australia, yaitu pada saat ia merampungkan survey di teluk Carpentaria, Australia bagian Utara. Itulah perahu-perahu Makassar. Dan itulah pertama kalinya orang barat mencatat kehadiran perahu makassar di perairan Australia. Antara tahun 1828 – 1829, 34 buah perahu lagi tampak berkeliaran di teluk Raffles yang mengaku berpangkalan di pelabuhan Makassar dengan tujuan mencari teripang. Pada saat itu teripang merupakan barang dagangan mahal di daratan Asia. Binatang teripang senang bermukim di laut dangkal atau di laut yang kecil ombaknya. Namun, mendapatkannya dengan ukuran besar dan mutu baik tidaklah mudah. Mungkin hal itulah yang membuat pelaut Makassar menyeberang sampai ke benua selatan. Pada masa itu budidaya teripang sudah dikenal di Asia Tenggara, dan pelabuhan Makassar selalu dikaitkan dengan hal tersebut. Ada petunjuk bahwa daerah Sulawesi Selatan memiliki tradisi yang tua di bidang perdagangan dan maritim. Hal itu terlihat dari sarana angkutan perdagangan berupa perahu model Bugis dan Makassar.

Belanda mulai menerapkan monopoli dalam bidang perdagangan setelah ia menginjakan kaki di kepulauan kita pada sekitar abad ke-17. Hal itu berdampak patahnya peranan Makassar di bidang cengkeh, walaupun di bidang lainnya tidak disebabkan letaknya di pusat lalu lintas. Dalam posisi demikian, Makassar menjadi pusat pengumpulan yang dalam hubungan ini budidaya teripang di Australia Utara dipandang lumrah. Orang Makassar menyebut kawasan Utara Australia dengan sebutan Marege. Pantai Kimberley disebutnya Kayu Jawa. Keterangan pertama tentang budidaya teripang orang Makassar dinyatakan oleh surat residen Belanda di Timor tahun 1751, yang intinya menyatakan bahwa ada sejumlah pedagang dari Timor yang berlayar ke suatu tempat di selatan bertemu orang-orang yang diduga Aborijin. Atas dasar permintaan Direktur VOC di Amsterdam, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menginformasikan hal ini lewat surat tertanggal 15 Oktober 1757 yang bunyinya “Daerah selatan yang ada di tenggara Timor kerap kali dikunjungi orang, baik pendatang dari Makassar maupun dari Timor sendiri. Sepengetahuan kami, daerah itu cuma menghasilkan teripang, yaitu ikan yang dikeringkan sejenis ubur-ubur dan lilin. Laporan VOC ke sana, pada 1705, sekali lagi kami sampaikan kepada Tuan, dan Makassar serta Timor akan kami minta memberikan informasi lebih jauh”.

Setelah mendapat beberapa informasi dari residen Makassar dan residen Timor, sejumlah pelaut Belanda kemudian mengadakan perlawatan ke Australia. Tetapi nampaknya perlayaran mereka mendatangi tempat yang berbeda, yakni di wilayah pantai Australia yang lain, bukan di kawasan Arnhem. Dan mereka melakukan perlayaran hanya beberapa kali.

Pada 1760, Alexander Dalrymple peneliti yang menyelidiki kemungkinan meluaskan perdagangan Inggris ke kawasan Laut Sulu, Sulawesi Utara memberikan pernyataan bahwa “Orang Bugis menggambarkan New Holland sebagai penghasil emas. Mereka beragama Islam dan gemar berdagang”. Keislaman mereka didasarkan tradisi pengkhitanan, yang akhirnya menjadi kebiasaan sejumlah penduduk di kawasan Australia Utara. Ada cerita dari mulut ke mulut di antara orang Makassar, seperti yang didengar Macknight dari penduduk Mangngellai itu. Konon, setelah armada Makassar kalah dari Belanda pada 1667, sejumlah perahu menyelamatkan diri di Teluk Carpentaria, Australia, yakni kawasan yang mereka sebut Marege. Dan mereka memberi nama daerah tempat mereka mendarat sesuai nama sejumlah nama juragan perahu. Belakangan mereka berani pulang ke Makassar sekalian membawa teripang yang konon teripang pertama dari marege’. Macknight menyatakan ini bukan sekedar cerita dari mulut ke mulut apalagi jika dicocokkan dengan adanya pembatasan usaha orang Makassar oleh Belanda pada 1667 yang memaksa mereka mencari kegiatan bisnis baru dan bertemu dengan teripang di selatan yang kebetulan dengan permintaan dari daratan Cina Selatan pada awal abad ke-17.

Flinder pada 1803 mengumpulkan informasi dari budidayawan teripang yaitu kemampuan angkut perahu sebanyak 100 pikul (6 ton), antara 1884-1885 meningkat menjadi 145 pikul (8,5 ton), dan pada 1887-1888 menjadi 386 pikul (22,7 ton). Flinders juga menyatakan orang-orang Makassar menjadi spesialis dalam hal teripang. Teripang yang dibudidayakan orang Makassar paling tinggi harganya, seperti koro dan batu. Menurut Flinders, teripang batu berharga 40 dollar per pikul dan koro setengahnya. Harga satu pikul teripang Marege’ pada 1820, menurut Crawfurd 19 dollar. Sementara menurut pelaut bernama Vosman sekitar 14-16 dolar per pikul pada 1839.

Karena berdagang teripang saja tidak ekonomis, orang-orang Makassar juga memperdagangkan kulit penyu yang ternyata barang dagang yang lebih awal dari teripang. Ini diperoleh dari kaum Aborijin yang memanfaatkan dagingnya. Tidak hanya itu, kayu juga menjadi komoditi orang Makassar yang biasa dipakai untuk suku cadang perahu dan juga bagi keperluan bangunan termasuk dermaga.

Dalam perlawatan ke Marege, awak perahu Makassar terdiri dari berbagai suku bangsa. Dan setiap awak kapal terikat pada semacam kode etik pelayaran, yang harus memperhatikan kepentingan: pemilik perahu dan pemilik modal atau yang mencukongi perlawatan. Yang menempati posisi ini ternyata dari beragam bangsa seperti Cina, Melayu, bahkan Belanda. Dari sini dapat ditarik garis antara golongan yang melakukan budidaya teripang dan pengusaha pelayaran. Dan sang juragan yang bertanggung jawab terhadap pelayaran. Sebelum perjalanan dimulai, pemilik perahu mencari dulu pemilik modal dan seorang juragan. Tapi, biasanya pemilik perahu sekaligus cukongnya, bahkan bisa menjadi nahkodanya sekalian. Dan ada pula pemilik kapal yang menjadi nahkoda di kapal orang lain, entah mengapa. Ada dua bentuk modal yang diberikan sang cukong. Modal berupa suplai bahan makanan dan peralatan, serta modal berupa utang yang dipinjamkan kepada nahkoda serta awak kapal orang per orang. Pemotongannya bisa dari upah atau dari hasil penjualan muatan perahu sesuai dengan kontrak. Dalam kontrak disebutkan bahwa pemilik modal, nahkoda dan awak harus mencapai kesepakatan untuk melakukan penjualan, jika dua pihak yang terakhir “tidak bisa ditemui”, barulah pemilik modal melaksanakan penjualan. Dalam banyak kasus, pemilik modal menjadi pembeli barang yang dicukonginya, atau calo dengan hak komisi.

Mengenai istilah awak-awak kapal Makassar, menurut Macknight semua istilah Makassar itu dikenal oleh kaum aborijin Australia. Perahu-perahu Makassar dan Bugis tampaknya tidak memiliki model baku. Menurut laporan pelaut Australia yang memakai kapal motor Palmerston ketika berda di Muara McArthur mereka melihat kapal para pencari teripang dari Makassar. Pelaut Makassar itu sengaja memlih pantai yang terlindung untuk menghindari berbagai hembatan. Ada juga pelaut-pelaut Eropa yang bertemu dengan pelaut Makassar. Mereka kagum dengan pelaut Makassar karena peralatan yang digunakannya sangat minim dan pengetahuan tentang medan juga sangat minim bahkan tidak ada. Kemampuan navigasi pelaut Makassar tampaknya banyak ditentukan oleh keahlian nakhoda. Mengenai cara pengupulan teripang, orang-orang Makassar mempunyai berbagai cara. Budidaya teripang di pantai Australia tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Makassar. Menurut laporan yang ada, orang-orang Eropa ada yang juga mencari teripang.

Beberapa waktu sebelumnya, ada penerapan pajak yang dilakukan penguasa kawasan setempat untuk menghambat para pencari teripang. Walaupun begitu, pelaut-pelaut Makassar kurang mempedulikan. Mereka malah mengadakan barter dengan orang-orang aborijin. Pergaulan pendatang Makassar dengan orang aborijin terhitung akrab kendati pada mulanya sering terjadi perkelahian. Hubungan itu bahkan sampai pada perkawinan. Tapi persentuhan kebudayaan diantara mereka tidak besar. Hanya pengaruh bahasa saja yag cukup terlihat jelas. Unsur budaya Makassar lainnya yang tertinggl adalah bentuk perahu kecil lepa-lepa. Juga terdapat beberapa kebudayaan lain yang bersentuhan. Tetapi sejauh itu tidak ada pemaksaaan kebudayaan dan agama diantara mereka. Kontak kebudayaan itu dinilai Macknight sebagai “peristiwa luar biasa”. Dan bagi bangsa kita yang mungkin inferior dengan peradaban global kekinian, penjelajahan dan pencapaian para pelaut Makassar saat itu dapat menjadi gambaran bahwa bangsa ini sejak dulu memang memiliki potensi besar dalam penjelajahan samudera yang pada masa lampau menjadi ukuran kemajuan sebuah bangsa.

No comments:

Post a Comment