Layang-layang sudah lama dikenal sebagai permainan tradisional
anak-anak di seluruh Indonesia. Mainan ini mudah dibuat. Bahan dasarnya
adalah kertas, potongan bambu kecil, dan lem. Untuk memainkannya,
layang-layang diterbangkan ke angkasa dengan segulung benang gelasan
yang bisa ditarik-ulur. Di angkasa layang-layang diadu. Siapa yang
terlebih dulu memutuskan benang lawan, dialah pemenangnya.
Layang-layang terbang ke angkasa berkat gaya-gaya aerodinamika dari
gerakan relatifnya terhadap angin. Angin relatif itu ditimbulkan oleh
aliran udara alamiah atau tarikan layang-layang lewat benang penghubung.
Karena populernya, bentuk layang-layang menjadi salah satu bagian dari
bangun datar ilmu matematika.
Layang-layang sering dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran. Yang
umum dikenal memiliki panjang diagonal 20 cm – 40 cm. Namun dalam
perkembangannya, bentuk layang-layang tidak selalu segiempat. Sesuai
kreativitas seseorang, layang-layang juga dibuat berbentuk lingkaran,
segienam, bahkan hewan, dan sebagainya dilengkapi gambar dan warna yang
semarak. Biasanya, layang-layang seperti itu merupakan daya tarik
pariwisata atau benda cendera mata.
Sejak 1970-an, bentuk layang-layang selalu dimodifikasi para seniman.
Ukurannya pun tidak lagi kecil tetapi sangat besar, yakni dalam
bilangan meter. Bahkan tidak jarang dibuat dalam bentuk tiga dimensi
sehingga harus dimainkan oleh beberapa orang sekaligus menggunakan tali
tambang sebagai pengganti benang.
Namun layang-layang demikian tidak untuk diadu, dalam arti sampai
memutuskan tali lawan. Layang-layang seperti itu biasanya dimainkan oleh
orang-orang dewasa dan dilombakan dalam suatu festival. Di Indonesia
lomba dan festival layang-layang bertaraf internasional sudah merupakan
agenda tetap di sejumlah daerah, seperti Pangandaran dan Bali.
Layang-layang festival dinilai berdasarkan bentuk, komposisi warna,
keelokan gerak, bunyi gaungan, dan lama mengudara.
Magis
Uniknya, di berbagai daerah layang-layang dikenal sebagai benda magis
religius. Di Bali, misalnya, masyarakat masih mengenal layang-layang
untuk melindungi singgasana para dewa. Dewa Layang-layang di Bali adalah
Rare Angon. Dewa itu selalu diberi sesaji dan disembah sebelum
layang-layang diterbangkan. Layang-layang yang telah disucikan itu
merupakan benda sakral dan disyaratkan tidak boleh menyentuh tanah. Bila
hal itu tidak diindahkan, konon akan terjadi kemalangan.
Layang-layang Danguang, Sumatera Barat (foto: museum-layang.com)
Lain lagi di Sumatera Barat. Masyarakat masih percaya pada
layang-layang bertuah yang bisa memikat anak gadis. Namanya
layang-layang hias dangung-dangung.
Di Pulau Jawa ada layang-layang yang digunakan untuk mengusir
serangga dan burung liar di ladang sawah. Di beberapa daerah,
layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu. Biasanya
terkait dengan proses budidaya pertanian. Layang-layang paling sederhana
terbuat dari helai daun yang diberi kerangka dari bambu dan diikat
dengan serat rotan. Layang-layang semacam ini masih dapat dijumpai di
Sulawesi.
Di Jawa Barat, Lampung, dan beberapa tempat di Indonesia ditemukan
layang-layang yang dipakai sebagai alat bantu memancing. Layang-layang
ini terbuat dari anyaman daun sejenis anggrek tertentu, dan dihubungkan
dengan mata kail. Di Pangandaran dan beberapa tempat lain, layang-layang
dipasangi jerat untuk menangkap kalong atau kelelawar.
Lukisan gua
Entah sejak kapan layang-layang dikenal di Indonesia. Belum ada sumber
sejarah yang menyebutnya secara pasti. Beberapa rangkaian relief cerita
pada candi sekilas hanya menampilkan layang-layang berupa bagian dari
tumbuhan yang diterbangkan dengan seutas tali.
Penemuan sebuah lukisan gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, pada
awal abad ke-21 yang memberikan kesan orang bermain layang-layang,
menimbulkan spekulasi bahwa tradisi layang-layang sudah lama muncul di
Nusantara. Di Nusantara banyak ditemukan bentuk-bentuk primitif
layang-layang yang terbuat dari daun-daunan. Di kawasan Nusantara
sendiri catatan pertama mengenai layang-layang adalah dari Sejarah
Melayu (Sulalatus Salatin) dari abad ke-17, yang menceritakan suatu
festival layang-layang yang diikuti oleh seorang pembesar kerajaan.
Menurut sumber lain, layang-layang pertama kali dikenal sekitar 3.000
tahun yang lalu di China. Di negara itu layang-layang disebut ”rajawali
kertas”. Dari sana, layang-layang mulai disebarluaskan ke negara Asia
lain seperti Korea, Jepang, Malaysia dan India. Pendapat lain
mengatakan, layang-layang ditemukan pada abad ke-5 SM oleh ilmuwan
Yunani dari Tarentum.
Ada kisah menarik tentang layang-layang China. Pada masa pemerintahan
Dinasti Han (200 SM-200 M), militer China menempelkan potongan batang
bambu pada layang-layang mereka. Saat layang-layang melintasi pasukan
musuh, angin yang menerobos rongga bambu mengeluarkan bunyi siulan.
Barangkali karena jumlahnya banyak, siulannya menjadi gemuruh. Cukup
untuk membuat musuh panik dan lintang pukang melarikan diri.
Dalam bahasa Inggris, layang-layang dikenal dengan sebutan kite.
Nama kite itu diambil dari nama burung pemangsa yang anggun dan lemah
gemulai kepak sayapnya saat terbang.
Di Asia, layang-layang kerap kali berkaitan dengan upacara keagamaan
atau kepentingan agama. Banyak layang-layang dari China dibuat berwujud
naga dari cerita rakyat. Bentuk tradisional lainnya adalah burung,
kupu-kupu, bahkan kelabang. Di Malaysia, menerbangkan layang-layang di
atas rumah pada malam hari dipercaya dapat menjauhkan roh jahat.
Kecuali sebagai permainan, pada abad pertengahan China pernah membuat
layang-layang untuk tujuan militer, antara lain untuk mengintai musuh
dan mengukur jarak keberadaan musuh. Di Korea, ritual menerbangkan
layang-layang yang ditulisi nama dan tanggal lahir seorang bayi selalu
dilaksanakan setiap tahun. Tradisi itu dimaksudkan agar si anak selamat
sampai hari tua.
Layang-layang menyebar hingga ke Selandia Baru. Bentuk layang-layang
di Eropa mulai berkembang pada abad pertengahan (1100 – 1500). Salah
satunya dikembangakan dengan panji-panji militer serupa kantung
penangkap angin. Baru tahun 1500-an muncul bentuk jajaran genjang, yang
kemudian menjadi populer di Eropa.
Jepang
Meskipun sudah tergolong negara maju, ternyata masyarakat dan pemerintah
Jepang paling getol memopulerkan layang-layang. Di sana layang-layang
bukan sekadar permainan, tetapi menjadi karya seni bermutu tinggi.
Sejak lama banyak sekolah di Jepang mengajarkan kerajinan
layang-layang kepada para murid sebagai bagian dari ekstrakurikuler
mereka. Karena itu era layang-layang mengalami kebangkitan. Tidak heran
setiap tahun layang-layang dibuat dalam desain yang baru dan orisinal
meskipun dengan dasar-dasar motif tradisional.
Langkah inovatif lainnya adalah melestarikan seniman pembuat
layang-layang tradisional, yakni dengan memberikan subsidi dan tunjangan
kepada mereka. Sampai kini terlihat dampak positifnya bahwa permainan
dan kerajinan membuat layang-layang tak pernah (akan) mati.
Di Jepang layang-layang mulai dikenal pada zaman Heian (794-1185).
Pada masa itu layang-layang sering digunakan sebagai alat komunikasi
pembawa pesan rahasia di istana. Karena harus melewati parit-parit
besar, maka layang-layang dinilai mampu menjalankan misi itu. Masa
keemasan pembuatan layang-layang terjadi pada zaman Edo (1630-1868).
Namun waktu itu karena harga kertas sangat mahal, hanya kalangan
bangsawan yang mampu menerbangkan layang-layang.
Berkembangnya seni cetak cukilan kayu dan penggunaan warna dalam seni
cetak tradisional Jepang, membawa perubahan baru pada layang-layang.
Teknik-teknik seni itu mulai diterapkan pada layang-layang sehingga
warna-warna yang dihasilkan sangat indah.
Setiap 5 Mei permainan layang-layang di Jepang menjadi acara tahunan
yang semarak sebagai festival anak laki-laki. Pada hari itu para orang
tua beramai-ramai menuliskan nama bayi mereka pada layang-layang yang
dihiasi gambar prajurit legendaris atau pahlawan dalam cerita anak-anak.
Hal itu dimaksudkan agar anaknya tumbuh sehat dan kuat. Motif lain yang
disukai adalah kura-kura dan burung bangau (lambang panjang umur) dan
ikan gurame (lambang keuletan). Semakin tinggi layang-layang terbang,
konon nasib seseorang semakin baik.
Menurut penilaian para pakar pariwisata, festival 5 Mei merupakan
pesta layang-layang terbesar di dunia. Lebih dari seribu layang-layang
berpartisipasi selama tiga hari penyelenggaraan. Sekitar lima juta
pengunjung tercatat menyaksikan festival tersebut, termasuk wisatawan
mancanegara.
Meskipun kini tanah lapang di Jepang semakin sempit, bahkan anak-anak
keranjingan berbagai jenis games modern, ternyata permainan tradisional
layang-layang masih tetap hidup.
Di Indonesia, kecuali seniman-seniman Bali, jarang sekali yang mau
menekuni seni membuat layang-layang. Padahal, Indonesia memiliki aneka
ragam budaya yang memesona, jauh lebih banyak daripada budaya di Jepang.
Ya, kita memang selalu mengabaikan warisan budaya masa lalu. Mungkin
kita akan menyesal di kemudian hari karena tidak melestarikan
layang-layang.
Alat Bantu Ilmu Pengetahuan
Selain di Asia, layang-layang juga sudah merambah Eropa. Di sana model
layang-layang selalu dikembangkan. Karena bahan kertas dan plastik
dianggap kurang kuat, mereka membuat layang-layang dari bahan
fibreglass. Bahan ini memang cukup ringan dan kuat. Bentuknya pun
dipermodern, seperti bentuk geometris lengkap dengan gambar-gambar
memikat. Selain itu mereka membuat layang-layang dari kain layar dan
bahan-bahan sintetis sebagaimana yang dikembangkan oleh perusahaan kimia
raksasa Du Pont.
Di Jerman layang-layang mendapat tempat tersendiri dalam bidang
olahraga. Penggemar layang-layang di sana sudah menjadi komunitas yang
aktif dan peduli. Secara periodik mereka merancang dan menemukan bentuk
layang-layang yang unik dan semarak. Di Jerman layang-layang disebut
“drache” (naga), yakni hewan mitologi yang amat populer di China.
Banyak ilmuwan Eropa terangsang daya pikirnya oleh layang-layang.
Pada 1749 ilmuwan Skotlandia, Alexander Wilson, menggunakan beberapa
rangkaian layang-layang untuk mengukur temperatur udara pada ketinggian
yang berbeda. Benjamin Franklin, berhasil meneliti unsur listrik karena
jasa layang-layang. Pada 1752 dia menaikkan layang-layang di saat hari
hujan badai. Pada layang-layang tersebut digantungkan sebuah kunci.
Ternyata ketika petir menyambar, terlihat loncatan api listrik dari
kunci tersebut. Itulah dasar alat penangkal petir yang sekarang banyak
digunakan orang.
Pada abad ke-19, Sir George Cayley menguji coba prinsip terbang
dengan layang-layang bersayap. George Pocook dengan publikasinya “Seni
mengarungi udara dengan bantuan layang-layang” membuat gempar dunia ilmu
pengetahuan. Alexander Graham Bell, penemu telepon, pada awalnya
bereksperimen dengan layang-layangnya untuk mengetahui gelombang suara
lewat udara. Francis Melvin Rogallo, mendapatkan gagasan temuan pesawat
terbang layangnya dari layang-layang.
Di Belanda layang-layang buatan Gerard van der Loo banyak membantu
kegiatan SAR laut. Ketika helikopter tidak bisa bertahan lama di udara
dan perahu penyelamat tidak bisa mendekati kapal karam, maka
layang-layang besar yang diterbangkan di atas geladak kapal berfungsi
sebagai alat bantu awak kapal untuk meluncur ke kapal penolong.
Perusahaan minyak Inggris, British Petroleum, pernah membuat
eksperimen luar biasa dengan layang-layang. Kapal tanker perusahaannya
waktu menempuh perjalanan jauh, ditarik dengan layang-layang. Setelah
dikalkulasi ternyata perusahaan itu berhasil menghemat energi sekitar
sepuluh persen dari jumlah energi yang biasa dihabiskannya.
Manfaat praktis layang-layang pun cukup banyak. Di antaranya tahun
1847, membantu merentang kawat melintasi sungai Niagara antara AS dan
Kanada, untuk membangun jembatan gantung pertama. Sedangkan tahun 1800
hingga awal 1900-an, meteorolog memanfaatkan layang-layang kotak yang
dilengkapi alat pengukur cuaca. Khusus pada militer, selama “Perang
Dunia II” (1939-1945) sekoci penyelamat dilengkapi layang-layang
berantena radio untuk mengirim pesan SOS.
Layang-layang juga menjadi ilham bagi terciptanya balon udara dan
pesawat terbang yang paling sederhana. Begitulah, sebenarnya kalau kita
kreatif, benda-benda yang dianggap sepele mampu menjadi alat bantu ilmu
pengetahuan, bukan sekadar permainan anak-anak.
Tertua
Layang-layang yang terdokumentasi diketahui memiliki beragam bentuk
unik. Ada layang-layang yang terbuat dari daun. Ada layang-layang
berukuran demikian besar sehingga untuk menaikkannya harus dilakukan
oleh beberapa orang. Ada juga layang-layang yang amat kecil, terbuat
dari kain sutera buatan China.
Menurut dasarnya layang-layang dikelompokan menjadi lima jenis. Yang
tertua, rata berbentuk jajaran genjang. Jenis ini memerlukan ekor untuk
menimbulkan tahanan dan merpertahankan tegaknya arah terbang. Makin
kencang angin, harus makin panjang pula ekornya. Panjang ekor paling
tidak tujuh kali diagonal.
Sedangkan lengkung pada layang-layang sengaja dibuat untuk
menciptakan sudut terhadap arah angin, sehingga layang-layang dapat
terbang stabil tanpa bantuan ekor. Layang-layang melengkung ini
dipatenkan pada 1891 oleh William A. Eddy asal Amerika.
Layang-layang kotak berbentuk tiga dimensi ditemukan oleh Lawrence
Hargrave dari Australia tahun 1893. Untuk menerbangkannya perlu angin
yang cukup kuat dan stabil. Lain lagi dengan dengan layang-layang delta
hasil temuan Francis M. Rogallo dari AS tahun 1941 yang bisa
diterbangkan dengan angin sepoi-sepoi. Nenek moyang alat terbang layang
ini bentuknya berupa dua permukaan segitiga yang bertemu di satu sisi
dengan membentuk sudut. Pada garis pertemuan ini dipasang sirip vertikal
di sebelah bawahnya. Sirip sekaligus lunas penyeimbang ini berfungsi
sebagai kekang kendali yang langsung tersambung dengan benang.
Sedangkan layang-layang flexible ditemukan oleh Domina C. Jalbert
dari AS tahun 1963. Jenis ini tanpa rangka, sehingga tiap bagian
disambung dengan cara dijahit atau dilem sampai bentuk bisa melayang.
Salah satunya parafoil kain yang serupa parasut.
Di Inggris layang-layang hanya boleh mencapai ketinggian 60 M, minimal 5 km di luar wilayah bandara.
Layang-layang kotak berperan penting dalam pengembangan pesawat,
karena Orville dan Wilbur Wright menggunakan jenis ini untuk menguji
teori mereka tentang pemelintiran sayap, sebelum akhirnya berhasil
menemukan pesawat terbang pertama tahun 1903.
Sumber:
museum-layang.com
id.wikipedia.org
djuliantosusantio.blogspot.com
Ensiklopedia Indonesia
BOX
Layang-layang Tiongkok
Layang-layang
adalah salah satu penemuan nenek moyang bangsa Tionghoa. Mainan
layang-layang tidak hanya semacam seni yang penuh estetika, tapi juga
merupakan sarana olahraga yang dapat membugarkan jasmani.
Layang-layang Tiongkok mempunyai sejarah yang lama. Jauh pada tahun
400 SM, pemikir besar Tiongkok Mozi dan sesepuh tukang kayu Tiongkok,
Luban, pernah membuat burung kayu atau bambu. Burung yang diberi nama
“Muyuan” itu bisa terbang selama tiga hari di udara tanpa jatuh. Itulah
layang-layang yang paling awal dalam sejarah dunia. Selanjutnya Muyuan
dibuat dari kain sutra dan kemudian dibuat dari kertas. Namanya pun
diganti menjadi “zhiyuan”, artinya burung kertas. Pada akhir masa
Dinasti Tang (618—907 Masehi), pada Zhiyuan atau layang-layang kertas
dipasang kain sutra atau seruling yang dapat berbunyi. Setelah itu,
Zhiyuan mendapat nama baru, Fengzheng atau layang-layang, yang terus
dipakai sampai zaman sekarang.
Layang-layang pada zaman kuno sering dipakai sebagai alat militer,
misalnya dilayangkan di udara untuk menghitung jarak antara dua tentara
atau digunakan untuk menyampaikan informasi militer. Pada masa Dinasti
Tang, layang-layang berangsur-angsur berubah menjadi mainan yang
semata-mata digunakan untuk rekreasi rakyat. Pada masa Dinasti Song abad
ke-10, layang-layang disebarkan ke lebih banyak daerah, antara lain,
Korea, Jepang dan Malaysia. Kemudian layang-layang pun tersebar ke Eropa
dan Benua Amerika. Di Eropa dan Benua Amerika, layang-layang berkembang
ke arah wahana terbang. Pada akhirnya, dua pria bersaudara Wright
berhasil membuat pesawat terbang pertama di dunia yang dapat terbang
dengan awak. Di Museum Antariksa dan Penerbangan Washington Amerika
terpasang sebuah layang-layang Tiongkok. Kata-kata di atasnya berbunyi:
wahana terbang paling awal manusia adalah layang-layang dan roket buatan
Tiongkok.
Perkembangan layang-layang Tiongkok mencapai masa emasnya pada masa
Dinasti Ming dan Dinasti Qing, dua dinasti terakhir dalam sejarah
Tiongkok yang berkuasa antara tahun 1368 dan 1911. Pada waktu itu,
layang-layang baik dari bentuknya, maupun dari teknik pembuatan dan
dekorasinya tampaknya cukup matang. Kerajinan tangan dan teknik
pembuatan layang-layang pada masa itu berpadu sehingga dekorasi
layang-layang menjadi semakin variasi. Alat pembuat bunyi di
layang-layang juga mengalami perkembangan yang cukup besar. Peluit
terbuat dari labu kendi dan buah ginko yang dipasang pada layang-layang
dapat berbunyi nyaring dan didengar sejauh beberapa kilometer. Waktu itu
kaum intelektual berkebiasaan membuat layang-layang sendiri untuk
diberikan kepada sahabat sebagai hadiah atau cendera mata. Karya sajak
dan gambar yang bertopik layang-layang pun bermunculan pada masa itu.
Pengarang terkenal Cao Xueqin adalah salah seorang tokoh representatif
pada waktu itu. Cao Xueqin dalam novelnya Impian Wisma Merah melukiskan
dengan teliti bagaimana menerbangkan layang-layang. Selain itu, ia juga
menulis buku tentang layang-layang. Dalam buku itu Cao Xueqin
memperkenalkan 40 lebih cara pembuatan layang-layang.
Sejalan dengan perkembangan zaman, layang-layang Tiongkok
berangsur-angsur membentuk gayanya sendiri. Dilihat dari topiknya,
layang-layang terbagi dalam tiga kategori. Pertama, binatang, misalnya
burung elang, phoeniks, kupu-kupu, ikan emas, naga, halipan dan belibis.
Kedua, tokoh dongeng legendaris, karya sastera atau opera tradisional.
Misalnya Raja Monyet Sun Wukong, dewi langit, dan bocah gemuk membopong
ikan besar. Ketiga, barang-barang keperluan sehari-hari, misalnya kipas,
keranjang dan lampion bundar.
Dilihat dari gaya pembuatannya, layang-layang Tiongkok bermacam-macam
dan sulit dihitung satu per satu. Tempat-tempat yang terkenal dengan
pembuatan layang-layang, antara lain, Beijing dan Tianjin di Tiongkok
Utara, Sichuan di Tiongkok Barat Daya serta Shandong di Tiongkok Timur.
Layang-layang yang dihasilkannya mempunyai ciri khas sendiri. Misalnya
Tianjin terkenal dengan layang-layang kawanan belibis, sedangkan
Shandong terkenal dengan layang-layang “kepala naga tubuh halipan”.
Layang-layang itu bisa kecil sekali sehingga bisa dimasukkan dalam kotak
mini, tapi juga bisa sebesar ratusan meter panjangnya dengan warna dan
bentuknya berlainan. Pada 1984, di Pekan Raya Layang-layang
Internasional Weifang Shandong Pertama diterbangkan satu layang-layang
“kepala naga dan tubuh halipan” yang mengagumkan, tinggi kepalanya 4
meter dan lebarnya 4 meter dengan diameter tubuhnya 1,2 meter. Panjang
layang-layang itu tercatat 320 meter, merupakan layang-layang yang
paling panjang di Tiongkok pada waktu itu.
Layang-layang Tiongkok adalah perpaduan teknik kerajinan dan
kesenian. Sekarang semakin banyak orang di dunia yang tertarik oleh
keindahan dan pesona yang dimanifestasikan layang-layang Tiongkok.
Sekarang Pekan Raya Layang-layang Internasional Weifang telah menjadi
pesta layang-layang internasional yang diadakan setahun sekali. Pada
April setiap tahun, banyak pemain elit layang-layang baik dalam maupun
luar negeri berkumpul di Weifang, Shandong Tiongkok Timur untuk saling
bertukar pengalaman dan berkompetisi. Dengan demikian, Weifang pun
menjadi museum layang-layang terbesar di dunia. Di sana tersimpan dan
diperagakan layang-layang terbaik dunia, baik dulu maupun sekarang.
(sumber: china radio internasional)