Dalam atribut lain yang lebih "tak terlihat", beberapa pakar keislaman juga memperkenalkan masalah "ruhiyah, jiwa, nafs" yang kemudian juga dicoba disandarkan kepada praktek di masa Rasulullah dan turun-temurun kepada umat belakangan hari, misalnya:
- · Ada yang memelihara derajat "kesambungan" (silsilah) cara atau laku beribadahnya yang diyakini mereka berasal dari dari jalur Rasulullah turun ke Ali bin Abi Thalib dan lalu diwariskan kepada mursyid-mursyid tertentu. Dari jalur Ali Bin Abi Thalib ini kemudian berkembang menjadi puluhan tarekat dengan praktek yang sedikit berbeda disana sini. Hampir 40 aliran tarikat bermuara kepada jalur Ali Bin Abi Thalib ini, misalnya Qadariyah, Rifa'iyah, Tijaniayah, dan sebagainya (termasuk dalam kategori ini adalah mahzab atau aliran Syi'ah).
- Ada juga yang kesambungan sisilah ritualnya yang diyakini pemrakteknya berasal dari jalur Rasulullah turun ke Abu Bakar dan kemudian kepada mursyid-mursyid dalam lingkaran tarekat tersebut. Untuk jalur Abu Bakar ini hanya ada satu tarikat yaitu Naqsabandi.
- Ada juga yang terpengaruh dengan praktek riyadah yang dilakukan oleh Al Ghazali yang telah menghasilkan kitab Ihya Ulumuddin yang fenomenal itu. Ulama-ulama terkini, walau kalau dilihat secara sekilas hanya sebagai pengulangan-pengulangan saja, juga banyak yang mencoba menyegarkan kembali pemikiran Al Ghazali ini, misalnya Sa'id Hawa, Sayyid Qutb. Pemikiran-pemikiran mereka cukup bagus menurut saya.
- Tapi ada juga kelompok yang mengusung dan menjalankan pemikiran yang sangat ketat untuk meniru perilaku fisik dan ketubuhan dan ibadah-ibadah Rasulullah dalam keseharian beliau. Kelompok ini mulai "barangkali" dari Ibnu Taymiah sampai dengan pecahan-pecahan pemahaman kelompok terkini seperti Salafi, Ahlusunnah, Wahabi, Hizbut Tahrir, Tarbiyah, Jama’ah Tablikh dan sebagainya. Walaupun sekilas kelompok ini hanya meniru-niru secara fisik, ketubuhan, dan ibadah-ibadah Rasulullah, tapi saya sangat yakin bahwa Insya Allah kelompok ini juga tidak kalah dalam hal ruhiyah seperti Rasulullah.
Namun sayangnya semakin berkembang kelompok-kelompok ini dengan berbagai ragam pemahaman masing-masing, ternyata TIDAK secara otomatis membuat CITRA Islam menjadi lebih bagus, baik dari sisi pandang umat Islam sendiri (terutama bagi kebanyakan umat Islam yang tidak mendapatkan informasi formal keislaman yang cukup) maupun dari sisi pandang pihak non-muslim hampir di seluruh belahan dunia. Kondisi ini adalah sebuah paradoks yang perlu dicermati oleh umat Islam agar kita bisa meningkatkan CITRA Islam itu sendiri.
<span>Yang lebih memprihatinkan kita adalah semakin ketat kita meniru "hanya" ciri ketubuhan dan perilaku "lahiriah" Rasulullah tampaknya semakin menjauhkan umat Islam dari ciri fungsi kekhalifahan umat di muka bumi ini yaitu sebagai RAHMAT bagi alam semesta. Kita menjadi serba takut, terkungkung, terlena dengan ciri-ciri yang kita usung itu. Bahkan banyak pula kita yang dininabobokkan oleh iming-iming pahala, syurga, bidadari, naungan malaikat, dsb. Berbuat sesuatu di luar pakem tidak boleh, itu harus begini, semua serba terpola ke masa lalu dengan kompleksitas yang sangat sederhana. Sehingga sekarang dan sejak lama sekalipun, negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam dan notabene sangat kaya hanya sempat menjadi penonton di tanah airnya sendiri.</span>
Akar masalahnya dimana.....?
Menurut saya sih akar masalahnya kembali ke sistem pengajaran dan pembelajaran umat.
Sebenarnya sudah sejak lama, sejak matinya rasionalitas, Al Qur’an hanya diajarkan oleh AHLISASTRA ARAB kepada umatnya. Coba perhatikan di diri kita pribadi saja. Yang dipelajari dari Al Qur’an itu adalah seninya, balagah, tata bahasa, kiraat (seni baca), khat (seni tulis), keindahan bahasa Al Qur’an, dsb. Coba lihat di pesantren, yang dikupas selalu saja kitab kuning yang kadangkala masalah-masalahnya sudah kadaluarsa. Dari kecil sampai duduk di universitas itu-itu saja yang diajarkan kepada kita walau dengan intensitas masalah yang sudah mulai meningkat. Akan tetapi kalau ditanya lebih lanjut tentang ada apa dilangit, maka kita nggak bisa menjawab. Akhirnya kita hanya berpuisi "oh langit ada apakah gerangan yang berada dipelukanmu...?".
<span>Selanjutnya Al Qur’an itu hanya dihapal, dilagukan, dan diwiridkan dari menit ke menit karena doktrinnya memang bahwa membaca Al Qur’an itu akan diberi pahala sekian banyaknya dan dinaungi oleh malaikat pula. Sebuah iming-iming yang sangat menarik. Akan tetapi alasan-alasan itu lebih kepada absurditas saja sebenarnya. Ada juga yang mempraktekkan perilaku untuk menjaga bacaan Al Qur’an secara konsisten sehingga selama dalam perjalanan kita, misalnya diatas bis, kita asyik dengan bacaan Al Qur’annya kita demi tercapainya TARGET bacaan Al Qur’an kita itu. Coba perhatikan dalam pengajian-pengajian umum. Saat pembukaan yang dimulai dengan pembacaan Al Qur’an, semua kepala seakan menunduk dengan khusyu'. Tapi objek kekhusyu'annya sendiri entah kemana dan kepada apa. Setelah bacaan ayat itu, kita kembali cengengesan, seperti tak ada bekasnya. Pura-pura saja sebenarnya.</span>
Selanjutnya Islam diajarkan kepada umat hanya dalam bentuk hukum-hukum. Maka lahirlah ahli-ahli Islam yang sebenarnya mereka hanyalah ahli dalam hukum (fiqih). Maka kemudian ahli-ahli hukum ini mau menghukumi sesuai dengan pengetahuan mereka terhadap ilmu-ilmu yang BERKEMBANG DENGAN sangat PESAT, misalnya ilmu ekonomi, ilmu pengetahuan, ilmu budaya, ilmu politik, ilmu psikologi dan sebagainya. Dimana sebenarnya ilmu-ilmu itu adalah ilmu netral saja yang akan selalu berkembang sesuai dengan zamannya mengikuti SUNATULLAH. Akibatnya ilmu-ilmu yang malah sampai-sampai dikategorikan sebagai ilmu keduniaan itu akhirnya menjadi terseok-seok mengakomodir pengetahuan si hukum Islam dan si ahli sastra Arab yang nyaris tidak berkembang dari dulu sampai sekarang.
Padahal maunya Al Qur’an itu adalah agar umat manusia mempelajari kandungan Al Qur'an itu se riil mungkin, misalnya:
- Saat Al Qur’an berbicara langit dan alam semesta, maka perhatikanlah langit dan alam semesta itu dengan sungguh-sungguh, mulai dari memakai mata telanjang sampai dengan memakai teleskop tercanggih. Silahkan. Sehingga ilmu tentang keangkasaan bisa kita dapatkan seperti yang diperoleh oleh orang di Amerika sana.
- Saat Al Qur’an mengatakan intizar (meneliti), maka benar-benarlah kita melakukan penelitian itu seperti ahli-ahli di Barat sana, tentang apa saja. Jadilah ahli kimia, fisika, dokter yang piawai menangani penyakit. Kalau tidak maka kita akan sangat tergantung kepada pihak lain. Misalnya, untuk meneliti SARS saja masih harus minta bantuan ahli-ahli di Amerika sana (gimana bisa kita mau memboikot produk Amerika ya..??!!).
- Saat Al Qur’an berbicara perdagangan dan sekaligus tetap ingat kepada Allah, maka eksplorasi dan jalankanlah perdagangan itu sama seperti orang Cina berdagang. Akan tetapi Al Qur’an mengisyaratkan kita untuk mempelajari juga cara ingat kepada Allah sambil berdagang itu. Kalau orang Cina saat mereka berdagang umumnya juga percaya kepada spirit atau ruh nenek moyang mereka yang menaungi mereka. Dengan begini saja sudah sangat luar biasa hebatnya orang-orang Cina itu dalam berdagang, apalagi kalau objek fikirnya adalah Allah. Seharusnya lebih luar biasa lagi.
- Saat Al Qur’an berkata perang, maka siapkanlah peralatan perang seperti si Amerika itu, dimana dunia saat ini jadi serba takut dan "gacar (mencret)" mendengar nama Amerika. Padahal kalau sudah kuat, baru kita bisa membuat orang lain jadi takut pula untuk main-main dengan kekuatan Islam. Secara sunatullah, maka yang kuat akan menang. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan munculnya sunatullah lain yang berbicara, banyak contohnya, bahwa yang lemah bisa menghancurkan yang kuat. Masalahnya adalah bisakah kita mengguncang 'arasy Tuhan agar Dia menurunkan sunatullah lain seperti saat Musa mengalahkan Fir'aun dulu, sama seperti Rasulullah dan sahabat-sahabat dulu mengalahkan lawan-lawan Beliau yang berjumlah lebih besar..??. waman yattaqillaha yaj'al lahu makhraja.....
- Saat Al Qur’an berbicara zakat, maka berlomba-lombalah kita agar bisa menjadi kaya, sehingga zakat kita maupun infaq kita akan menjadi lebih banyak. Karena zakat ternyatasama pentingnya dengan shalat. Karena keduanya (shalat dan Zakat) ternyata hampir selalu disandingkan di dalam Al Qur’an. Betapapun rajin dan bagusnya kualitas shalat kita, akan tetapi kita tetap miskin sehingga tidak bisa bayar zakat, maka kita artinya belum ngikutin mau-Nya Allah.
- Saat Al Qur’an berbicara catat mencatat dalam perdagangan, maka matangkanlah ilmu akunting seperti yang dilakukan akuntan-akuntan terkenal. Boleh-boleh saja diberi simbol-simbol Islam, seperti yang ditekuni oleh Syafi'i Antonio misalnya, tapi jangan hanya sekedar ganti istilah saja.
- Saat Al Qur’an berkata jangan berpecah belah, maka buang tuh semua tetek bengek yang menimbulkan perpecahan umat. Karena kalau terpecah belah seperti dunia arab dan masyarakat Islam umumnya saat ini, walaupun dengan alasan yang sepele, maka tunggu saja kita hanya akan berbentuk seperti buih.
- Saat Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 membolehkan beristri 4, atau 3, atau 2, atau 1 saja (kalau tidak bisa adil). Maka silahkan saja anda coba-coba lakukan poligami itu dengan HANYA berpedoman pada surat An Nisaa' ayat 3 ini. Akan tetapi kalau anda JUGA memakai landasan surat An Nisaa' ayat 129 dengan tegas Allah mengatakan "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, ......", maka silahkan juga anda mikir-mikir dulu untuk poligami itu. Karena bolehnya poligamia adalah untuk laki-laki yang adil, sedangkan Allah sudah mensinyalir tanpa tedeng aling-aling bahwa kita tidak akan pernah dapat berlaku adil, walaupun kita ingin sekali untuk menjadi adil. Lalu apakah poligami itu boleh atau tidak...?. Jawabnya adalah "terserah anda". Sama seperti hukum-hukum lainnya, semua hanyalah berupa kesepakatan-kesepakan manusia bersama belaka. Ini akan dibahas dalam topik lain nantinya.
- Saat Al Qur’an berkata ADIL, maka lihatlah adil itu dalam perspektif hukum Tuhan (fitrah, sunatullah), karena kalau dilihat dalam perspektif manusia, maka dunia ini penuh dengan ketidakadilan. Akan tetapi kalau dilihat dalam perspektif hukum Tuhan, maka keadilan adalah segala fasilitas yang disediakan Allah bagi tegaknya keamanan, keseimbangan, baik pada level nasional maupun dunia. Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
inna AlLâh yuqîmud daulatal ‘âdilah wain kânat kâfirah, walâ yuqîmud daulatadz dzâlimah wain kânat muslimah. Allah akan tetap mendukung negara yang adil sekalipun kafir, dan tidak mendukung negara yang zalim, sekalipun berislam.
ad-dunyâ tadûm ma‘al ‘adl wal kufr, walâ tadûm ma‘adz dzulm wal Islâm.Dunia akan bertahan asal adil, meskipun berada dalam kekafiran, dan tidak akan bertahan salam kezaliman meskipun disertai Islam.
Jadi hukum Tuhan mengenai keadilan itu hanya berupa hukum-hukum yang betul-betul objektifdansederhana saja sebenarnya.
Sungguh banyak aktualitas Al Qur’an ini yang harus diwujudkan oleh umat Islam ini sebenarnya. Bukan hanya terpaku kepada tekstual Al Qur’an dan hadist yang lumrah dan umum dipahami selama ini. Wake up-lah semua.
Hasil memahami Al Qur’an tadi apa.........?
Hasilnya adalah pengetahuan yang akan membuat kita bertasbih dan bersyukur kepada ALLAH. Sehingga semua praktek Islam itu menjadi RAHMATAN LIL ALAMIN. Gabungan semua keahlian-keahlian diataslah yang diminta oleh Allah dipunyai oleh sebuah bangsa atau umat sehingga mereka bisa menjalankan fungsi <span>kekhalifahan di dunia ini. Tapi khalifah bukan konsep khilafah menurut konsep Hizbut Tahrir, NII, dan sejenisnya lho yang saya maksudkan disini (lihat juga nanti artikel tentang kekinian daulah). Kalau semua sudah dipunyai dan diamalkan, maka baru kita bisa berkoar-koar untuk memboikot produk Amerika dan konco-konconya. Kalau belumweleh-weleh...... itu namanya cuma ngomong doang.</span>
Jadi AHLI Al Qur'an itu adalah ahli fisika, ahli kimia, dokter, ahli akunting, ahli psikologi, ahli politik, ahli sosial, ahli budaya, ahli managemen, ahli SDM, ahli perang, dsb. Lalu ahli-ahli ini mewarnai kepiawaiannya dengan "tuntunan dan bimbingan" ALLAH. Ini sebenarnya yang terpenting. Sehingga dia dengan keahliannya itu tidak berani menganiaya orang lain, dia hanya ingin menjadi bermanfaat bagi orang lain.
Jadi ahli Al Qur’an itu bukanlah hanya sekedar seorang ahli satra Arab dan ahli fikih, yang dalam istilah kita sekarang lalu disebut ULAMA. Lalu dengan titel ulama ini dia ingin membatasi dan mengatur gerak maju ahli-ahli ilmu realitas diatas dengan pengetahuan sastra arab dan fiqihnya. Sudahlah begitu dia begitu mudah menjatuhkan hukum sesuai dengan pemahaman dia yang sumbernya juga masih berupa literatur masa lalu. Masih mending kalau literaturnya keluaran tahun-tahun terakhir. Tapi kebanyakannya walau keluaran terakhir, tetapi usungannya masih sesederhana zaman dahulu kala itu.
Akan tetapi kalau perjalanan ahli-ahli ilmu pengetahuan diatas tidak bertemu atau bermuara dengan tahap bersyukur kepada Allah, maka yangmuncul ternyata juga PETAKA. Londo Amerika dan Inggris sekarang adalah contoh aktual petaka itu. Mereka biadab disatu sisi, yaitu sisi kemanusian dan penghargaan terhadap bangsa lain, walau disisi lain mereka seperti menjadi rahmat bagi bangsa lainnya juga. Disamping itu contoh lain adalah Emir-Emir Arab yang sangat kaya raya itu, sebenarnya mereka hanyalah kambing congeknya Amerika saja demi kelanggengan DAULAH mereka sendiri. Kekakayaan negara emir-emir dan raja-raja arab sana ternyata tidak serta membuat mereka menjadi menjadi bangsa fenomenal yang mengguncang dunia.
Sebaliknya kalau hanya berdoa, bersyukur, wiridan (zikir...?), berpuisi menghiba terus, tanpa menemukan kebahagia, kekayaan dan kekuatan apa-apa seperti jamaknya umat Islam saat ini, maka yang muncul juga hanyalah KEDUNGUAN belaka. Huh saya malas memberi contoh untuk yang satu ini, karena begitu menyedihkan.
Hal-hal dan problematika diatas baru dilihat dari segi yang paling fundamental dalam keislaman, yaitu dalam memahami Alqur'an. Kalau diteruskan untuk melihat pemahaman HADIST pada umat Islam, maka akan lebih menyedihkan lagi. Intinya adalah bahwa semakin banyak kita tahu tentang hadist maka semakin mudahlah kita menjadi terpecah belah. Dan semakin sulit pula kita untuk memahami mana yang paling benar diantara semua pemahaman hadist walau textnya sama sekalipun. Karena pada aktualnya sangat sedikit orang yang sesuai dengan bunyi hadist-hadist tersebut, misalnya hadis tentang bid'ah, keistimewaan ahlul bait, iming-iming pahala dan syorga, bahkan kedamaian sekalipun. Kalau bagi saya sih hadist-hadist yang menyulut pertentang itu sudah saya tutup dengan spidol merah untuk kemudian hanya menjadi kenangan sejarah saya saja, atau paling tidak untuk jadi bahan bacaan sejarah saja .
Begitu juga dalam pengajaran melalui kitab-kitab tua, misalnya riyadus shalihin, buku-buku tasawuf yang banyak beredar dipasaran, Risalah Qusayriyah, dsb. Semua buku-buku itu memuat begitu banyak hadist dan bahasan ulama-ulama terdahulu yang indah-indah. Dari pengajian ke pengajian, dari peringatan ini keperingatan itu, materi yang diberikan nyaris sama dengan materi ratusan tahun yang lalu. Itu- itu saja yang diulang-ulang. Tapi disitulah......sedihnya, sifatnya hanya teori saja, semua hanya wacana saja. Prakteknya sungguh tertatih-tatih. Karena sekedar wacana memang sangat jauh beda dengan sebuah praktek.
Akan tetapi pengetahuan tentang hadist itu lewat bacaan itu tidak mampu membuat orang lalu menjadi sabar, takwa, khusyu, beriman yang sesungguhnya. Oleh sebab itu sebagai jalan keluarnya saya mohon pertolongan saja kepada Allah untuk diajarkan-Nya menjadi orang yang sabar, takwa, rendah hati, khusyu', dan berbagai kondisi kerohanian yang di beritahu oleh Al Qur’an. Begitu Allah mengajarkan HAL diatas kepada kita, karena DIA memang RABBI (PENGAJAR) 'ALAMIN (alam semesta), maka insyaallah kita akan senyum-senyum saja mengiyakan bahan bacaan atau pengajian mengenai sabar itu, takwa itu, tawakal itu, khusyu' itu. Karena ternyata aktualitas itu memang indah sekali.
Jadi menurut analisa saya, selama ini umat Islam belum belajar tentang Al Qur’an dan keislaman yang sesungguhnya. Kita baru belajar dan diajar tentang seni SASTRA arab, dan hukum-hukum (Fikih) yang berbau Islam. Cilakanya ini malah sudah berlangsung dari ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dan pelajaran-pelajaran itu sayangnya malah menjauhkan kita dari pengertian INSAN KAMIL yang sesungguhnya.
Insan Kamil itu apa....?
Menurut pengertian bahasa, insan kamil adalah lupa sempurna, tidak tahu sempurna, blank sempurna.
Untuk pengertian insan "nis yan" (tidak tahu, lupa) dulu sudah saya bawakan kepada pengertian yang akan membawa kita kekesadaran penelusuran sejarah keberadaan manusia, bahwa pada hakikatnya manusia itu adalah tidak tahu apa-apa, tidak pintar apa-apa, tidak bergerak apa-apa. Hal ini dalam artikel "tidak tahu" sudah dikupas tuntas. Tetapi dalam istilah "insan kamil" Allah mensyaratkan sesuatu yang lebih dari hanya sekedar insan yang lupa, blank, tidak tahu. Allah mensyaratkan agar manusia kembali kepada kesejatian dirinya seperti saat penciptaan permulaan, setelah itu baru dia KEMBALI (menghadap) kepada-Nya.
Dalam Al A'raf 29: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta`atanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya)".
Rasulullah sendiri dalam atribut insan kamil ini disebut sebagai seorang "ummi". Sayangnya kita selama ini diajarkan bahwa arti "ummi" ini adalah Rasul yang tidak tahu tulis dan baca. Itu saja. Padahal pengertiannya lebih dari itu. Ummi itu, Insan Kamil itu adalah suatu keadaan atau suasana dimana semua pengakuan Nabi telah luruh ketitik NOL. Luruh semua ilmu Beliau, luruh semua keangkuhan Beliau, luruh semua atribut Beliau menjadi "yang blank sempurna, yang tidak tahu sempurna". Ya…, seperti kita baru lahir itulah. Seperti Bayi. Kalau sudah begitu, maka YANG ADA hanyalah Yang Maha Sempurna, Yang Maha Tahu, Yang Maha Cerdas, Yang Maha Bergerak. Dan Dialah Yang membimbing Rasulullah setiap saat. Sehingga Al Qur’an menyatakan:
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), (an Najm 4)
Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. , (Al Haaqqah 44-47)
Kemudian untuk mencapai titik Insam Kamil ini, Allah berfirman dalam Thahaa 12 "Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa".
Tafsiran ayat mengenai "kedua terompahmu ini" sungguh beragam, karena ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Ada yang mengartikan "kedua terompah" itu dengan menyiksan badan (tubuh) dan jiwa. Silahkan saja tafsirkan menurut kemampuan kita masing-masing. Akan tetapi menurut saya pribadi, pengertian kedua terompah diatas adalah segala atribut yang mengganduli dan mengganggu proses kembalinya kita ke kondisi awal penciptaan, kondisi tidak tahu, kondisi tidak meng-aku, kondisi blank, kondisi bayi, dalam MENGHADAP (kembali) kepada Tuhan.
>Artinya, posisi insan kamil disini adalah memenuhi tanda-tanda sebagai berikut:
Si lupa sempurna menghadap kepada Yang Ingat Sempurna,
Si tidak tahu sempurna menghadap kepada Yang TAHU Sempurna,
Si mati sempurna menghadap kepada Yang Hidup Sempurna,
Si bodoh sempurna menghadap kepada Yang Cerdas Sempurna,
Si blank sempurna menghadap kepada Yang MAHA Sempurna................
Karena sudah tidak ada pengakuan diri yang tersisa, tidak ada pengklaiman ini aku…, ini aku…, maka denga PASTI Sang Insan Kamil akan DIALIRI oleh Rasa Tahu yang HAKIKI, Rasa Ingat HAKIKI, Rasa Hidup HAKIKI, Rasa Cerdas yang HAKIKI, dan rasa-rasa HAKIKI lainnya oleh Yang Maha Sempurna itu. Dia akan menjadi orang yang tidak tahu, tapi tahu, Dia akan mejadi orang yang ummi, tapi cerdas, Sehingga kalau sudah begitu maka kita akan punya "kesadaran" ikut apa mau-Nya Allah tanpa reserve:
Hadist Qudsi mengusyaratkan posisi ini sebagai (terjemahan bebas):
"......Kalau dia berbicara maka dia berbicara dengan lidah Allah,
kalau dia berjalan maka dia berjalan dengan kaki Allah...."
Dan Al Qur’an mengisyaratkan pula:
"... bukan engkau yang membunuh saat engkau membunuh, tapi Allahlah yang membunuh. Bukan engkau yang melempar SAAT engkau melempar, tapi Allahlah yang melempar...".
Akan tetapi, tatkala si INSAN (si kopong) mencoba "mengaku" sedikit saja, maka:
- Saat si kosong mengaku pintar, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya dilewati aliran pintar sebesar yang dia tahu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang lain yang mengaku lebih pintar dari dia.
- Saat si kopong mengaku paling benar sendiri, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya dilewati aliran benar sebesar yang dia benar itu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang lain yang mengaku lebih benar dari dia.
- Saat si bodoh mengaku tahu, maka dia akan terhijab, akibatnya dia hanya dilewati aliran tahu sebesar yang dia tahu, sehingga dia akan tersiksa kalau ada orang lain yang mengaku lebih tahu dari dia
- Yang sangat dahsyat siksanya adalah saat si "tiada" mengaku "ada" (eksis), maka dia akan terhijab, lalu dia INGIN bersatu (melebur, wihdatul wujud) dengan YANG ADA. Artinya ada dua entity yang melebur menjadi satu. Bahkan ada yang sampai mengaku bahwa YANG ADA itu beremanasi kepada yang "tiada", duh tersiksanya.......... !!!. Padahal wayangngak mungkin bersatu dengan sang dalang. Hancur tuh wayang kalau coba-coba untuk itu, seperti hancurnya bukit thursina dan pingsannya nabi Musa saat Musa hanya sekedar mau "melihat" Yang Ada itu dengan mata dan persepsinya sendiri. But believe me, bahwa disini juga adalah daerah enak dan nikmat yang luar biasa......!!!. Yang membuat "seorang pejalan" tersangkut dan terbelenggu, sulit untuk melepaskan diri.
Insan Kamil, memang sebuah realitas (haqqul yakin) idaman.......
Caranya mendapatkannya.......????
Ya praktek......!. Just do it....!. Jangan hanya berteori dan berwacana terus, atau jangan juga merasa bingung terus......!.
Realitas insan kamil inilah sebenarnya yang selalu kita dengung-dengungkan dalam setiap shalat:
Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatarassamawati wal ardhihanifammusliman wama ana minal musyrikin Inna shalati wanusiki wamahyaya wamamati lillahirabbil 'alamin.
Pertama hadapkan dulu fokus dan objek fikir kita kepada "wajah-Nya". Luruskan fokus dan objek fikir itu hanya kepada wajah-Nya, tidak melenceng (tidak syirik) sedikitpun. Lalu ikrar bahwa shalatku ini, ibadahku ini, hidupku ini, matiku ini untuk ALLAH. Berserah TOTAL kepada Allah, hilangnya semua peng-aku-an kita.
Lalu plakkkk......., berserahlah mengikuti "mau-Nya" ALLAH....!!
Maka shalat kita akan menjadi sarana istirahat, sarana menyembah dan dialog dengan-Nya, sarana "kembali" (mi'raj) kepada-Nya, innalillahi wa inna ilaihi raji'uun, belajar mati. Andaikan saat itu "nyawa" dicabutpun ya relakan saja.......!!!
Subhanallah....
No comments:
Post a Comment